Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sihir Sang Tali di Awan Hitam yang Menggulung

20 Agustus 2017   10:47 Diperbarui: 22 Agustus 2017   08:42 1632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: Blogger Extra

Awan hitam menggulung, pekat. Tapi mengapa tak hujan? Tiba-tiba ada tali coklat tebal yang terangkai bagai sebuah wadah besar menjulur keluar dari awan hitam tadi. Tali itu menyentuh tanah. Dekat di kaki Flo.

Bruuuk... Bagai bersihir, tali yang berbentuk mirip wadah besar seperti mengajak Flo untuk naik ke dirinya. Flo tersihir! Tak sadar ia mengikuti alunannya. Lalu tali tersebut terseret naik, ke atas, untuk kembali ke awan hitam pekat yang menggulung. Ia membawa Flo!

***

Sepanjang Agustus, cuaca panas terik seperti melukai kulit. Bagai tersayat sembilu. Perihnya hingga menyentuh pori-pori. Flo mengamati langit. Hanya ada langit membiru dan awan putih berarak.

"Hujan akan segera turun," katanya pada mereka. Mereka adalah teman-teman Flo. Sedangkan mereka hanya saling pandang. "Percayalah padaku, hujan akan turun deras. Hingga kau butuh mantel untuk menutupi diri dari sentuhan air hujan!"

Flo peramal hebat. Dua jam kemudian, awan hitam berdatangan, menggulung pekat di atas. Tak lama, lalu turun hujan deras, hingga tanah menjadi basah. Aroma tanah yang terguyur hujan berbau menyengat, lalu hilang ditelan derai hujan yang menderas. 

Sungai-sungai teraliri air, ikan bergembira, menimbulkan gelombang bundar kecil-kecil. Katak bernyanyi merdu, menyambut hujan yang datang tak disangka.

"Flo, kau hebat!" seru Oliv. Lalu diikuti teman yang lain. Kasak-kusukpun terjadi. Mereka mengagumi kelebihan yang dimiliki Flo. Sedangkan Flo hanya tersenyum.

Sekilas mata Flo berkilat, lalu senyumnya menyerigai. Teman-temannya tak ada yang tahu. 

***

Oliv menghirup wangi yang akrab. Ia hafal betul, elemen wangi itu berasal dari Flo, sahabatnya. Tidak salah lagi. Perpaduan wangi aroma madu dan aroma bunga mawar, pertanda bahwa Flo menuju kepadanya. 

"Hai, Flo. Dari mana kamu? Padahal aku sudah menunggumu dari tadi. Jadi tidak menuju bukit?"

Flo mengangguk. Hatinya sedang tak bersemangat. Ia merasakan suatu suasana kepedihan, tetapi ia tak tahu apa. "Mengapa aku berharap ada angin topan?" tanyanya dalam hati. "Tidak, jangan berharap begitu. Topan akan meratakan segalanya. Aku tak menginginkannya. Baiklah, topan dan angin itu berbeda. Bagaimana jika aku mengharapkan angin saja?" sambungnya.

"Oliv, pamitkan aku pada teman semua. Sampaikan maafku pada mereka,"

"Hei, mengapa kau berkata begitu? Kau seperti mau pergi jauh saja," Oliv tak mau menerima kata-kata Flo. 

Sesampai mereka di bukit, hanya ada mereka berdua.

"Kau serius mau membantuku?"

"Serius, Flo. Bukankah aku telah berada di sini? Kau sahabatku yang terbaik dari kecil. Aku tak mau kehilanganmu!"

Tiba-tiba di tengah kesunyian, terdengar gemuruh membahana dari kejauhan. Dengan sangat jelas angin datang membawa gulungan-gulungan awan hitam pekat. Gelap coklat beraroma abu, berselimut kabut. Angin menderu tinggi di atas kepala mereka.

"Mereka datang," desis Flo.

Kemudian jatuh tali coklat tebal yang terangkai bagai sebuah wadah besar menjulur keluar dari awan hitam. Ia seakan mengajak Flo untuk menaikinya. Kali ini bersama Oliv.

"Bertahanlah, Flo!" Entahlah apa yang telah terjadi, awan hitam menggulung pekat tadi, serentak memecah, berubah warna menjadi putih berkilau.

Blaaaaar.... ! Seketika suasana menjadi terang benderang. Bukit yang dulunya gelap coklat beraroma abu, menjadi hijau rumput.

"Flo, kau tak apa-apa, kan?"

"Tak apa-apa!" Flo sedikit mengerjap-ngerjap matanya. "Kita pulang," serunya.

Sepanjang perjalanan, hanya ada kesunyian. Flo dan Oliv terpaku pada detak jantungnya masing-masing yang masih tak beraturan.

Sesampai di rumah mereka, sebuah kampung dekat perbukitan, mereka bertemu dengan teman-teman yang lain. 

"Aku tadi melihat sebuah sinar dari arah perbukitan, apakah kalian tahu?" tanya salah seorang teman mereka. Keduanya menggelengkan kepala.

Tiba-tiba Oliv berkata, "Hujan akan segera turun. Disertai angin topan. Percayalah padaku!"

Flo menengok ke arah Oliv. "Oh, tidak!" serunya. Flo melihat mata Oliv mengkilat dan senyumnya yang menyerigai. 

Semarang, 20 Agustus 2017.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun