[caption caption="Sumber Gambar: wordpress.com"][/caption]
Entahlah, tapi kehilangan teman berbincang sepertimu merupakan hal yang menyakitkan. Baiklah, karena aku hanya teman minum kopi.
Di pojok cafe ini, biasanya kamu duduk. Selalu di tempat dan jam sama. Lalu kamu tersenyum menyapaku, "Hai, bagaimana kabarmu hari ini?"
"Baik, kamu?"
"Aku juga baik." Lalu setelahnya kita berbincangan seru, hingga saatnya pulang. Kita pulang dalam arah berlawanan.
Tak pernah ada perjanjian khusus, bahwa akan bertemu esok hari. Semua mengalir. Bahkan tak pernah bertukar nomer telepon. Hingga, aku merasa kehilangan, ketika dua kali kamu tak datang. Aku menanyakan pada pramusaji cafe, mereka hanya menggelengkan kepala.Â
Apakah kamu sakit? Memang saat pertemuan terakhir, dirimu tampak tak sehat. Tapi kurasa tak berat.
Hari ketiga, kembali tak kulihat dirimu. Aku membatalkan niat memasuki cafe. Aku menuju taman. Aku ingin suasana lain, karena cafe mengingatmu dan membuat perih. Entahlah, apa yang terjadi. Aku bahagia, saat bisa berbincang denganmu dan terasa sakit saat kehilangan teman berbincang sepertimu.Â
Aku duduk di kursi taman dekat kolam. Saat tiba, hari masih terang. Begitu mengasyikkan, memandang ikan berenang, saling berurutan seakan berbaris. Ikan berenang sangat konstan, rapi dan berputar seperti arus. Tiba-tiba bunga jatuh di pangkuan, berwarna kuning. Bunga Tabebueya. Kucium. Wangi, meski tak terlalu harum. Aku menengok ke atas, masih banyak bunga bertengger. Semua dalam sepi, tak ada perbincangan. Hanya menatap indahnya ikan dan bunga Tabebueya.Â
Matahari meredup, tanda segera tenggelam. Aku beranjak, ketika seseorang menyapaku.
"Jadi, sekarang pindah ke taman? Kenapa tak bilang ?" Aku kaget, hingga membisu.
"Harusnya kita saling bertukar nomor telepon. Aku kemarin sakit." Aku masih terdiam.
"Namaku Sena, kamu Lamira kan? Aku sudah tahu sejak dulu, sempat mencuri dengar saat temanmu menelpon dan memanggilmu Lamira." Aku masih terpaku.
"Lamira, aku tadi ke cafe, saat mobilmu tak belok. Kuikuti mobilmu, ternyata berhenti di sini. Aku sengaja mengamati dari jauh. Aku merasa bersalah. Entahlah, aku merasa kehilangan." Aku memandangmu, tajam. Mengapa berperasaan sama?Â
"Lamira? Kenapa memandangku seperti itu?"
"Tak papa, terusik ya?"Â
"Lamira, pipimu merah!" Aku tersipu malu.
"Jadi?" tanyamu.
"Apa?"Â
"Maukah kau menjadi bidadariku?"
Aku tersipu, terlalu cepat jika mengatakannya. Aku belum siap.
"Sena, aku baru tahu namamu, bahkan saat ini aku belum tahu nomer teleponmu, bagaimana bisa menjawab?"
"Baiklah, ini nomer teleponku. Sudah kan? Jadi, bagaimana jawabanmu?" Kamu mendesak.
"Sena, need time okey?" jawabku.
"Baik, aku sabar menunggu." Aku tertawa berderai.
"Sena, wajahmu memerah!"
Aku berlari meninggalkannya dan segera berlalu, karena mendadak hujan. Biarlah cinta mengalir. Karena cinta, bila saatnya tiba, akan mengalir bagai hujan.
Â
***selesai***
Â
Semarang 17 Oktober 2016.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H