Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hei, Aku? Namaku Jil!

23 Agustus 2016   07:41 Diperbarui: 23 Agustus 2016   08:18 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="http://pernikdunia.com/bunga/gambar-taman-bunga-menakjubkan/"][/caption]

Namaku Sajila Enggar Kusuma, orang-orang memanggilku Jil. Kadang mereka memanggilku dengan embel-embel mbak. Mbak Jil! Bukannya aku tak suka panggilan itu, tapi aku lebih suka dipanggil Jil saja, tanpa mbak. 

"Jiiiill..." seru ibu dari dalam ruang tengah. "Kamu selalu begitu, kenapa rumah ini berantakan? Ayo, diberesi lagi...!" 

Dan pasti aku akan bersembunyi di balik pintu kamar, bila ibu sedang marah. Aku paling malas, bila ibu mulai berteriak. Akhirnya yang menjadi korban pasti Mak Tun pembantu ibu, berusia paruh baya, dan telah ikut ibu selama puluhan tahun. Mak Tun akan memberesi semua hasil berantakanku, sedang aku akan pura-pura sakit perut atau pusing mendadak. Mak Tun hafal sekali alasanku. Dia tak pernah marah apalagi memprotesnya. Mungkin ia hanya bisa membatin, mbak Jil bikin ulah lagi. 

Begitulah, mereka selalu memanjakanku, hingga aku kadang menjadi jenuh. Menurutku, tak ada tantangan hidup, bila semua harus dilayani. Oh, mbak Jil mau kemana? Ayo kuantar! Atau,  mbak Jil mau makan ya, sini kuambilkan! Nah, memang aku nggak bisa jalan sendiri hingga butuh bantuan? Bila sudah begitu, maka aku akan bilang, sudahlah, makasih, aku bisa sendiri. Tapi mereka tetap mengawasiku, hingga aku mengatakan sesuatu untuk meminta bantuan mereka. 

Sering aku keluar rumah tanpa sepengetahuan ibu. Aku memberosot dari celah pintu pagar tinggi, yang kubuka pelan-pelan tanpa seorangpun mendengar. Aku ingin bermain dengan teman sebayaku, yang letaknya di belakang rumah. 

Mereka tak bakalan ke rumah, karena rumah selalu tertutup, pagar tinggi dan jarang membuka. Mereka takut untuk bermain ke rumah, yang selalu dijaga oleh pak Ali. Pernah mereka mencoba bermain ke rumah, karena aku yang memintanya. Apa yang terjadi? Mereka disuruh pulang oleh pak Ali, ia bilang, mbak Jil tak ada di rumah. Padahal aku ada, sedang melihat mereka dari jendela kamar. Aku ingin berteriak, bahwa aku ada, tapi apa daya, kamarku jauh, jaraknya belasan meter dari pintu pagar. Akhirnya hanya bisa kecewa. Sejak itu kuputuskan, aku saja yang bermain ke rumah mereka, meski aku harus memberosot pintu pagar secara diam-diam. Temanku memakluminya.

Mereka senang padaku, karena kata mereka, aku orang baik. Ya, ya, itu kan karena aku butuh teman, sehingga aku berbuat baik pada mereka. Tetapi memang, mereka juga baik padaku, sehingga akupun baik pada mereka. 

"Jil, kenapa sih kau tak boleh keluar sama ibumu? Apakah karena kau anak orang kaya, dan orang kaya selalu begitu?" tanya Nadine. Aku terjengah. Aku sendiri sebenarnya tak mengerti, kenapa ibu selalu melarangku bermain keluar. Alasannya, nanti baju menjadi kotor, di luar banyak penyakit, nanti bisa tertular. Sejauh ini, selama aku sering bermain tanpa sepengetahuan ibu, aku tak apa-apa. Aku sehat dan tak sakit seperti ibu bilang. 

"Entahlah Nadine, aku nggak ngerti. Tapi sudahlah, yang penting kita bisa bermain bersama, kan," jawabku pada Nadine sambil tersenyum.

Sejak itu, kami tak pernah mempermasalahkan. Kami suka dengan persahabatan ini. 

"Sudah ya teman, aku pamit pulang dulu, aku takut ibu curiga, karena ibu mengira aku tidur siang," kataku. Mereka biasanya akan membiarkanku pulang, toh esok harinya akan datang lagi dan bermain bersama. 

Hal itu berlangsung hingga beranjak remaja. Sejak aku SMA, ibu agak melunak, membolehkanku bermain dengan teman, meski dibatasi oleh waktu dan tak boleh lama. 

Suatu hari, tiba-tiba kepalaku pusing. Hampir tak tertahankan, lalu sempoyongan. Dan.... entahlah! Yang aku tahu, aku membuka mata telah berada di tempat tidur di kamarku yang luas. Beberapa orang menunggu. Ibu, Mak Tun dan satu orang lagi, berbaju putih, yang selalu aku panggil oom Danu.Ia adalah dokter pribadi.

Aku tak suka dengan oom Danu, karena ia selalu memberikan tusukan jarum bila sakitku kambuh. Telah beberapa minggu ini, aku suka pusing dan selalu berujung bangun di tempat tidur. 

"Mbak Jil harus banyak istirahat, jangan banyak gerak dulu," kata oom Danu. Huh, aku tak suka kata oom Danu.

Ibu mendekati, lalu ibu bilang, "Jil, inilah yang selalu ibu khawatirkan selama ini. Kamu sakit nak, maka ibu terlalu melindungimu berlebihan." 

"Sebenarnya Jil sakit apa?" tanyaku. Tapi ibu tak pernah memberikan keterangan yang lebih. Dibiarkannya pertanyaan itu berlalu. 

"Tak usah kau pikirkan Jil, yang penting adalah kesembuhanmu." kata ibu dengan lembut.

Akhirnya, aku tak mempermasalahkan sakitku. Ah, aku mengantuk sekali, hingga aku tertidur. 

**

Aku membuka mata pelan. Kulihat di sekeliling, hamparan rumput hijau. Aku segera bangkit. Tubuhku terasa ringan. Ketika aku berdiri, kulihat ada sebuah taman indah. Berbagai bunga warna warni ada di sana. Lalu di sebelah sana, ada semacam sungai kecil yang jernih, air mengalir di sela bebatuan. Indah sekali! Entah tempat apa ini, tapi aku merasa nyaman. 

Aku mencoba berjalan menuju sungai, suara gemericik air kian kentara. Oh, ada suara tertawa riang, dari arah sana. Sepertinya suara anak-anak bermain. Segera aku menuju ke sana. Tujuh anak perempuan, berbaju warna-warni, indah dan ceria. Berambut panjang hitam legam, beberapa anak berkepang dua. Mereka manis dan cantik. 

Hei, bermain petak umpet, asyik sekali, hingga mereka tak melihat kedatanganku. Salah satu dari mereka, seperti tak asing bagiku. Berambut panjang terurai, agak bergelombang, parasnya manis. Memang tidak terlalu putih wajahnya, tapi manis. Aku mendekatinya, lalu menyapanya. 

"Hai, adik, boleh aku tahu namamu?" 

Dia menengok ke arahku. Bulat matanya polos, indah sekali. Ia tersenyum, hanya tersenyum, tanpa menjawab pertanyaanku. Lalu ia menggandeng tanganku, mengajak bermain bersama. Aku mengikuti langkahnya, menuju teman-temannya berada. Tak kuduga, mereka menyambut dengan riang gembira dan mengajak bergabung. Aku tentu saja suka sekali. Mereka teman kecilku, aku yang menyebutnya begitu. 

Permain beralih. Permainan ular naga. Aku berada diurutan paling belakang. Wah, bisa jadi, nanti aku tertangkap, dan harus masuk dalam barisan salah satu penjaga. Duh, asyik sekali. Aku larut dalam permainan. Setelah puas bermain ular naga, mereka bermain kejar-kejaran. 

Aku sangat gembira, hingga tak terasa menjadi lelah. Nafasku tersengal dan mulai batuk-batuk. Salah satu teman kecilku yang wajahnya tidak asing tadi menghentikan permainan, lalu bertanya, "Kakak kenapa? Capek ya? Ayo teman-teman, kita berhenti dulu, kita beristirahat. Kakak capek." 

Berdelapan istirahat, duduk nyaman di hamparan rumput hijau. Di sini ada bunga berwarna-warni, berbagai pohon buah sedang berbuah lebat. Aku merasa nyaman. 

Teman kecilku, yang kuberi nama Sonia, bertanya, "Kenapa kakak di sini? Harusnya kakak tak boleh berada di sini," 

"Memangnya ini tempat apa? Indah dan nyaman. Aku suka tempat ini. Boleh kan aku menetap di sini?" 

"Kakak tak boleh di sini, belum saatnya. Kakak harus pulang, ibu kakak sedang menunggu dengan hati yang resah. Kakak tidak sayang pada ibu?" 

"Kakak sayang pada ibu, tapi kakak merasa nyaman di sini. Boleh kan, aku tinggal di sini untuk beberapa saat lagi?" tanyaku kembali. 

"Kakak pulanglah! Nanti bila telah tiba waktunya, kakak juga akan kembali ke sini," 

Teman kecil bertujuh menjauh, mereka melambaikan tangan. Aku menangis, memanggil mereka. Tapi mereka tetap pergi, semakin jauh dan kian jauh, hingga tak bisa menjangkaunya.

Tinggallah aku seorang diri, di hamparan rumput hijau dengan bunga warna-warni. Aku mendengar suara lembut memanggil namaku, disertai sesegukan kecil. Aku mengenal suara itu. Suara ibu! Tapi aku bingung, darimana arah suara itu. 

Aku mencari suara ibu. Suara yang terdengar sayup, kemudian terdengar jelas. Oh, sayup lagi, lalu jelas kembali. Tiba-tiba tampak lorong cahaya. Aku segera bergegas mendekati lorong cahaya. Suara ibu semakin jelas, dan aku seperti terpental dalam suatu tempat yang tidak aku mengerti. Entahlah!

"Jil, bangun nak, ibu sayang kamu. Jil, ayo bangun nak..." 

Suara ibu, jelas di telinga, diiringi suara doa-doa, surat Al-Fathihah dan surat Yasin. 

"Ibu..." suaraku serak memanggil ibu. Ibu kaget, wajahnya tampak bahagia, saat aku memanggil namanya. 

"Jil, kau bangun nak, Alhamdulillah..." 

"Aku dimana ibu?" 

"Kamu di ruang ICU nak." 

Kupandang atap ruang ICU yang putih, asing sekali. Sekelebat wajah Sonia tampak tersenyum, seakan menanyakan sesuatu. Aku membalas senyumannya. 

"Aku? Namaku Jil! Makasih Sonia," jawabku padanya amat lirih.

Aku berjanji, suatu saat nanti, akan bertemu dengannya, juga menemui teman-temannya. 

Aku melambaikan tangan pelan, hingga ia menghilang bagai sebuah bayangan.

*

●selesai●

 

^_^ ^_^

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun