Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[100Puisi] Nak, Kelak Kau Masa Depan Ibu

18 Februari 2016   11:15 Diperbarui: 18 Februari 2016   11:26 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nak, kelak kau bisa mengangkat derajat orang tuamu,

gadis kecil berponi mulai menghitung kertas-kertas,demi membantu sang ibu

 

nak, ayahmu memang tak bertanggung jawab, tapi ibu mendekapmu erat,

gadis kecil berponi begitu fasih belajar abjad: a b c d

 

nak, kehidupan memang keras, tapi ibu memberikan kamu yang terbaik,

gadis kecil berponi beroleh haknya memiliki kasih sayang penuh utuh,

 

nak, bila ada yang ingin mengajakmu dengan cara paksa, ibu akan selalu berjaga untukmu,

gadis kecil berponi selalu aman dalam pelukan sang ibu,

 

 

Jika kelak kau menemui seorang gadis cantik mandiri, pandai lagi cekatan,

itu gadis berponi!

berita gembira itu telah menyebar,

dari berbagai kampung dan seantero kampung tetangga,

seorang gadis kecil berponi telah menjadi sukses,

ada seorang ibu yang telah membuatnya begitu memancar cemerlang,

seorang ibu, yang dulunya mengumpulkan kertas demi kertas, plastik demi plastik,

di tata dalam seutas tali kemudian dibawanya ke pengepul untuk di timbang,

lembar demi lembar uang dikumpulkannya, untuk sang buah hati untuk tetap bisa bersekolah,

demi seorang gadis berponi,

 

dan gadis berponi , di sore hari yang lembut, menatap binar sang ibu,

membasuh kaki sang ibu, mendekap erat sang ibu, memeluk erat sang ibu,

: ibu, jasamu tiada tara,

 

Sebab, asap tak nampak jika tak ada api,

dan cinta utuh penuh sang ibu, membuatnya bisa seperti saat ini.

***

 

Semarang, 18 Februari 2016

 

**terinspirasi ketika bertemu seorang ibu yang berprofesi sebagai pemulung dan ditinggalkan oleh suaminya, tetapi tetap bertahan dan merawat anak semata wayangnya dengan baik, mengantarkan sekolah, memberikan buku bacaan, meski sisa limbah, juga mainan edukasi, meski ia peroleh dari limbah sampah keluarga yang sudah tidak terpakai. Itu semua membuat saya terharu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun