Malam itu, suatu jawaban muncul darimu, meski aku tak begitu mengerti. Kau sebenarnya hadir, tapi dalam keadaan yang berbeda. Aku mengerti, mengerti sekali. Aku tahu, dibalik keraguanmu, kau seperti aku. Kau mengenalku, kau tahu namaku, kau tahu kesukaanku, kau tahu segalanya tentangku, kau mencintaiku dan kau juga merinduiku.
Entah mengapa, hatimu selalu tersekat oleh sebuah dinding yang tebal.
Aku mengerti, dan akan selalu mengertimu!
Dalam suatu masa, di mana dirimu telah terburaikan asmara oleh cinta yang tak asli dan kau terluka, oleh cinta dia. Entah mengapa kau demikian tersakiti, hingga membuatmu tak bisa lumer oleh cintaku. Aku tahu kau mencintaiku, aku tahu kau merinduiku, tapi dirimu tak bisa dan belum bisa meraih hatiku, meski hatiku demikian dekat denganku.
Aku mengerti, dan akan selalu mengertimu!
***
Â
Pagi ini, larut dalam dinginnya embun, yang tersisa dari hujan tadi malam. Mentari masih malu-malu. Agak gelap bersemu abu, lalu putih terang segera datang. Mentari tertutup awan, hingga semu orange tak nampak. Kegiatan kota mulai berdenyut, meski mendung masih menggelayut. Kendaraan mulai lalu lalang, membunyikan klaksonnya dan hampir semua orang bergerak cepat. Hari ini hari ke sepuluh aku datang di kota ini.
Di sisi jalan itu, aku melihatmu. Itu kamu, itu kamu! Berkemeja kotak biru, membisu menunggu di halte bus. Hanya saja, aku tak bisa menemuimu.
Maafkan aku Dens, langkahku terhenti, demi melihat seorang gadis cantik di sebelahmu, sungguh teduh dan indah, begitu syahdu, tak bisa aku merebutmu, karena begitu teduh paras wajahnya.
Dia adalah kekasihmu yang baru.