[caption caption="Kau, Aku, Ada"][/caption]
Â
"Berhenti!" serumu.
Aku menengok ke arahmu. Wajahmu seperti orang ketakutan, menatap nanar ke arahku. Seketika langkahku terhenti demi mendengar teriakanmu itu. Aku melihatmu, menatap tanya.
"Mengapa kau menghentikan langkahku? Aku hampir saja sampai ke arahmu. Aku rindu padamu, bukankah kau juga merinduku?"
Kau bergeming, tetap dalam posisimu, mencoba menghentikan langkahku.
"Berhentilah! Aku tak merindumu, aku membencimu!"
Wajahku seketika memucat, kaget mendengar perkataanmu. Meskipun aku sering tersekat-sekat oleh rasa hancurnya hati, ketika betapa seringnya kau mengatakan itu, tetapi tetap saja aku selalu kaget.
Aku merindumu, aku mencintaimu, entah berapa kali aku mengatakan itu padamu. Aku mengenalmu, aku tahu namamu, aku tahu kesukaanmu, aku tahu segalanya tentangmu. Aku... aku sangat mencintaimu. Aku mengagumimu! Ayolah, berpalinglah padaku, sekali saja!
Gerakan tubuhmu mulai menjauhiku. Kulihat ragu-ragu dari sorot matamu. Kau tak seperti biasanya, tampak berbeda. Bahkan nada suaramupun serak agak berat, tak sama seperti hari-hari sebelumnya. Entah apa yang ada dalam pikiranmu.
***
Â
Hari itu, ingin sekali aku menyapamu. Kuberanikan diri untuk menyapamu, dengan berbagai cara. Dan seperti yang sudah-sudah, kadang kau membalasnya, kadang hening.
Saat ceria hatimu sedang membuka, kau hangat bagai matahari pagi. Ramah dan berderai bagai pelangi. Bahkan aku tak mengerti, mengapa seperti itu. Kau seolah menjebakku dalam imajinasi yang tak logis. Kau membuatku merasakan bagai dalam dunia penuh warna, berbunga-bunga tak berhenti. Tapi...
Lalu tiba-tiba seketika berhenti menjadi hening. Kau menghilang, entah kemana. Mendiamkanku. Oh, dunia runtuh seketika, saat ceria itupun berubah seperti dunia biasanya, ramai dan berjejalan, banyak orang, lalu lalang dan membosankan!
Aku bertanya, mengapa selalu saja ini terjadi dan aku mau saja menerimanya dengan hati yang tak marah, bahkan aku memakluminya? Apakah ini cinta? Cinta itu hanya teruntukmu. Seorang bernama: Dens.
Dens, kau yang mengajari aku cinta, lalu rindu, kau benar-benar hadir dalam benakku setiap waktu. Cukup dengan sekali pandangmu, kau membuatku jatuh hati, membiarkan diriku bergejolak meraih hatimu. Perasaan timbul tenggelam yang disebabkan oleh cintamu selalu muncul dan membuatku seperti menggila.
***
Â
Aku di sini, menunggumu, berpuluh-puluh kali menunggumu, di sini, meski kau tak nampak dan menghilang. Tapi itu tak meruntuhkan keinginanku untuk bisa bertemu denganmu. Hanya saja aku sering merasakan bahwa separuh hatiku terambil olehmu dan kau mengambilnya tanpa pernah bilang. Aku mencarinya, aku mencarinya. Aku tak akan menyerah, demi hatiku yang terbawa olehmu. Aku ada, Dens. Aku ada di sisi lain hatimu, memelukmu, meski tak nampak olehmu. Aku merasa nyaman, karena separuh hatiku menghuni ruang hatimu. Lalu mengapa kau tak cepat menemuiku? Mengapa ragu dan selalu menghalangiku untuk bisa bertemu denganmu?
***
Â
Malam itu, suatu jawaban muncul darimu, meski aku tak begitu mengerti. Kau sebenarnya hadir, tapi dalam keadaan yang berbeda. Aku mengerti, mengerti sekali. Aku tahu, dibalik keraguanmu, kau seperti aku. Kau mengenalku, kau tahu namaku, kau tahu kesukaanku, kau tahu segalanya tentangku, kau mencintaiku dan kau juga merinduiku.
Entah mengapa, hatimu selalu tersekat oleh sebuah dinding yang tebal.
Aku mengerti, dan akan selalu mengertimu!
Dalam suatu masa, di mana dirimu telah terburaikan asmara oleh cinta yang tak asli dan kau terluka, oleh cinta dia. Entah mengapa kau demikian tersakiti, hingga membuatmu tak bisa lumer oleh cintaku. Aku tahu kau mencintaiku, aku tahu kau merinduiku, tapi dirimu tak bisa dan belum bisa meraih hatiku, meski hatiku demikian dekat denganku.
Aku mengerti, dan akan selalu mengertimu!
***
Â
Pagi ini, larut dalam dinginnya embun, yang tersisa dari hujan tadi malam. Mentari masih malu-malu. Agak gelap bersemu abu, lalu putih terang segera datang. Mentari tertutup awan, hingga semu orange tak nampak. Kegiatan kota mulai berdenyut, meski mendung masih menggelayut. Kendaraan mulai lalu lalang, membunyikan klaksonnya dan hampir semua orang bergerak cepat. Hari ini hari ke sepuluh aku datang di kota ini.
Di sisi jalan itu, aku melihatmu. Itu kamu, itu kamu! Berkemeja kotak biru, membisu menunggu di halte bus. Hanya saja, aku tak bisa menemuimu.
Maafkan aku Dens, langkahku terhenti, demi melihat seorang gadis cantik di sebelahmu, sungguh teduh dan indah, begitu syahdu, tak bisa aku merebutmu, karena begitu teduh paras wajahnya.
Dia adalah kekasihmu yang baru.
Aku hanya bisa bilang, mengapa bukan aku, yang telah lebih dulu menghuni hatimu? Mengapa dia? Mengapa dia yang datang belakangan, bahkan aku tak pernah sekalipun melihatnya bersamamu?
Dens, hatiku telah terkoyak, tapi aku tak bisa mengambil hatiku yang telah terambil olehmu, kau menyimpannya, kau menguncinya, hingga aku hanya memiliki separuh hati yang tertinggal. Aku terluka, aku terkoyak.
Â
Dan akhirnya, aku ada, kamu ada, dalam ruang yang berbeda dan dunia yang berbeda, meski aku bisa melihatmu, kau bisa melihatku, tapi tak bisa mendekat.
***
Â
Semarang, 17 Februari 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H