Â
#Kesatu#
Â
"Berhenti! Menetaplah di situ, jangan bergerak." Aku mendengar suaramu serta merta berhenti, sambil membetulkan letak gaun panjang agar tak mengumpul di satu sisi.
 "Mengapa? Ada apa?"
 "Tak papa, aku hanya ingin melukismu di posisi itu." Oke, fine, aku tak berani bergerak.
 "Sudah belum?" aku bertanya padamu, "aku mulai capek nih."
 "Sebentar, sabar dulu. Sebentar lagi juga kelar." sahutmu sambil corat coret di kanvas.
 "Sejak kapan kau suka melukis?"
 "Nggak tahu, tapi yang jelas aku semakin menggila melukis sejak bertemu denganmu."
 "Gombal, apakah kau selalu menggombali model-model yang kau lukis?"
 "Tak selalu. Percayalah padaku." Aku diam saja. Mana percaya aku padanya. Seniman keren seperti dia, mana pernah setia pada satu perempuan. Pasti banyak perempuan yang terpikat padanya, meski ia tak harus merayu.Â
 "Okey, finish, kau sudah boleh bergerak. Thanks ya cantik. Sempurna!"
 Aku segera berjalan ke arahnya untuk melihat hasil lukisannya di kanvas. Aku terbengong. Dahsyat. Begitu hidup dan bagai memiliki roh. Meski bentuk lukisan itu surealis, tapi bagai memiliki jiwa.
 "Dahsyat! Ilmu apa yang kau pakai? Hingga mampu membuat lukisan sedahsyat itu?"
 "Ilmu pikat!"sahutmu asal-asalan.
 "Kok ilmu pikat? Ngaco deh kamu."
 "Iya, serius, ilmu pikat, karena aku terpikat padamu." Aku melambung demi mendengar perkataanmu.
 "Sudah ah, aku mau pulang. Bilang pada Tiar, aku pulang sendiri, tak usah diantar."
 "Tunggu! Cium aku dulu."
 "Ogah, cium aja lukisan itu. Hahaha.." aku tertawa lebar sambil berlalu dari hadapannya.
***
 Setelah kejadian itu, hampir aku tak bisa tidur. Aku teringat selalu wajahnya. Bagaimana cara ia melukis, gaya manyunnya, juga gaya sok-sokannya itu. Semua melekat di kepala. Tak mau hilang. Mana mungkin aku jatuh cinta pada seniman keren itu? Duh, bagai simalakama. Aku seorang model, tak boleh sembarangan jatuh cinta, apalagi pada seniman keren, sang pelukis itu. Auk ah. Aku malas memikirkannya.
***
Tiar menelpon, aku diminta datang ke Yosi. Segera ku iyakan. Yosi, seniman keren, ia mau melukisku kembali. Ini kali ke tujuh, ia memintaku untuk menjadi modelnya. Tak mau ganti, begitu katanya. Aku sih okey saja, asal bayaran yang ia kasih sesuai. Tapi lama-lama aku tak tega. Baiklah kali ini bonus tak apa. Tiar kusuruh bilang padanya. Tapi Yosi bilang, jangan, karena itu berarti tak profesional. Baiklah, bila itu maunya. Aku sebenarnya senang bila ia mengiyakan mauku.
***
"Kamu tak bosan melukisku?"
 "Siapa bilang aku bosan?"
 "Bukan, aku menanyakan itu padamu."
 "Oh, nggak, aku tak pernah bosan. Bahkan kamu bagai soulmate buat kanvasku. Tanganku menari-nari dengan sendirinya tanpa harus kusuruh. Ia bagai mengikuti arus jiwamu. Kau sempurna. Baiklah, finish. Terimakasih ya cantik, kau boleh pulang."
 Aku tersenyum lega, sudah boleh bergerak.
 "Yosi, aku pulang."
 "Kau tak menciumku?"
 "Baiklah, sedikit saja ya." Aku mencium pipi Yosi sekilas. Saat aku bertatapan mata dengannya, mata itu redup. Entah apa, aku melihat sesuatu kesedihan di sana. Tapi ah, biar saja, bukan urusanku.
***
**Bersambung...
(24/7/15)
Sumber Gambar: www.lukisan.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H