Setelah kejadian itu, hampir aku tak bisa tidur. Aku teringat selalu wajahnya. Bagaimana cara ia melukis, gaya manyunnya, juga gaya sok-sokannya itu. Semua melekat di kepala. Tak mau hilang. Mana mungkin aku jatuh cinta pada seniman keren itu? Duh, bagai simalakama. Aku seorang model, tak boleh sembarangan jatuh cinta, apalagi pada seniman keren, sang pelukis itu. Auk ah. Aku malas memikirkannya.
***
Tiar menelpon, aku diminta datang ke Yosi. Segera ku iyakan. Yosi, seniman keren, ia mau melukisku kembali. Ini kali ke tujuh, ia memintaku untuk menjadi modelnya. Tak mau ganti, begitu katanya. Aku sih okey saja, asal bayaran yang ia kasih sesuai. Tapi lama-lama aku tak tega. Baiklah kali ini bonus tak apa. Tiar kusuruh bilang padanya. Tapi Yosi bilang, jangan, karena itu berarti tak profesional. Baiklah, bila itu maunya. Aku sebenarnya senang bila ia mengiyakan mauku.
***
"Kamu tak bosan melukisku?"
 "Siapa bilang aku bosan?"
 "Bukan, aku menanyakan itu padamu."
 "Oh, nggak, aku tak pernah bosan. Bahkan kamu bagai soulmate buat kanvasku. Tanganku menari-nari dengan sendirinya tanpa harus kusuruh. Ia bagai mengikuti arus jiwamu. Kau sempurna. Baiklah, finish. Terimakasih ya cantik, kau boleh pulang."
 Aku tersenyum lega, sudah boleh bergerak.
 "Yosi, aku pulang."
 "Kau tak menciumku?"