Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bola Udara di Langit Malam Itu

24 Desember 2014   00:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:37 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di depanku telah nampak sebuah taman yang indah dengan berbagai bunga dan dataran rumput yang rapi. Aku memperlambat langkah, menuju sebuah kursi yang memanjang hampir dua meter berwarna putih. Aku duduk disini.

"Duduklah Louis, duduk di sampingku kemari," lalu Louis duduk di sampingku.

"Kau tahu Louis, aku suka di dunia ini. Dunia langit. Di sini aku biasa sendiri, kecuali hari ini. Hari ini aku bersamamu. Itu cukup melegakan dan menyenangkan. Aku berteman denganmu." Louis memandangku, sekali lagi ia hanya bisa tersenyum.

"Louis, bicaralah, sungguh sepi di sini. Hanya suaraku yang menggemuruh. Selebihnya hanya suara angin yang melangkah pelan." Louis masih saja terdiam. Oh, aku benar-benar berbicara seorang diri, sementara Louis hanya menganggukkan kepala dan tersenyum mendengarkan ceritaku.

"Louis, kata mama, aku anak yang tak pandai. Aku sering tak mengerti apa yang mereka maui. Mereka menyuruhku melakukan apa yang menurutku aku tak tahu. Tapi aneh, saat aku berada di alam langit, semua yang tak kumengerti dulu, aku memahaminya. Aku mengerti bahwa itu pohon, itu bola, itu kursi, itu taman yang indah. Semua aku mengerti. Aku menyatu dengan mereka di alam langit. Aku bahagia di sini. Louis, kamu mengerti kan apa yang aku bicarakan?" Louis mengangguk. Kali ini ia mengernyitkan dahi. Ia menunjuk sesuatu. Oh, aku mengerti apa yang ia maksud.

"Itu bintang Louis. Aku juga sangat suka bintang. Mereka telah hafal padaku dan mengerti bila aku sedang berada disini. Bahkan merekalah yang menggelarkan taman yang indah disini dengan berbagai bunga dan wewangian. Harum sekali. Beberapa kali aku berkunjung kemari, maka itu mereka hafal padaku. Mereka baik padaku." Louis tersenyum dan mengangguk tanda mengerti.

"Louis, kita ke sana yuk, itu tempat favoritku. Air terjun dengan air yang berwarna kuning keemasan. Di sana bisa kau temui angsa pemurung. Aku yang menjulukinya begitu, karena angsa itu selalu murung dan tak mau bila kudekati."

Louis mengikutiku menuju tempat air terjun berwarna kuning keemasan berada.

"Oya, Louis, satu hal aku beritahukan kepadamu, bila sedang berada ditempat itu, kamu tak boleh menghadap ke sisi kiri air terjun. Disana ada sebuah lobang besar, bila kau memandangnya maka kamu akan terhisap tanpa ampun. Kamu mengerti Louis?"

"Heem.." Aku menengok ke arah Louis, akhirnya ia mau bersuara, meski hanya sebuah jawaban pendek. Aku yakin, ia akan menjadi teman baik bagiku.

Tiba-tiba aku mendengar suara mama. Merintih pelan, terdengar syahdu, sayu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun