Mohon tunggu...
Wahyu Zaenudin
Wahyu Zaenudin Mohon Tunggu... karyawan swasta -

So Complicated! Nuff said!

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kurir

24 Agustus 2015   15:42 Diperbarui: 24 Agustus 2015   15:42 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sumber : peripirsandi.blogspot.com"][/caption]

 

Kriiit! Kriit! Kriit!
Sepeda onthel yang ku naiki ini memang cerewet. Sepanjang jalan ini dia tak mau berhenti bicara dengan bahasa yang sama sekali tidak aku pahami. Kesal, akhirnya aku mempercepat kayuhanku. Tapi, dia malah makin bersemangat sambil berteriak-teriak meronta-ronta. Eh, tapi setelah aku pikir-pikir lagi, biarkan saja lah. Toh, selama ini ocehan-ocehannya sudah banyak membantu. Utamanya, saat aku ditugaskan oleh Juragan Sardi mengirim paket-paket ke wilayah yang letaknya lumayan jauh. Kesepian yang biasanya menyelinap di sepanjang perjalanan jauh bisa terobati dengan mendengarkan celoteh sepeda sialan ini. Seolah-olah dia ini mengajakku ngobrol, barangkali curhat. Kadang-kadang juga aku menanggapinya dengan manggut-manggut sambil mengayuh santai. Yah, mulai sekarang sebut saja dia Si Kumbang.

Si Kumbang ini pemberian Juragan Sardi, majikan tempat aku bekerja. Sebagai perangkat operasional, katanya, untuk digunakan saat bertugas mengantar-antar paket kiriman. Juragan memberikan sepeda itu cuma-cuma, seperti yang juragan lakukan juga pada Dudung, Tukul dan Pujo. Juragan memang orang baik. Meskipun kami bekerja untuk beliau, juragan juga memberikan penghidupan yang layak bagi pemuda-pemuda seperti kami. Juragan menyediakan kamar-kamar yang besarnya lumayan untuk ditinggali, juga kasur-kasur empuk yang nyaman untuk ditiduri. Aku betah hidup bersama juragan, meski sebenarnya aku tidak cocok juga dengan gaya berpakaiannya yang nyentrik dengan topi bundar ala sherif di kepalanya.

Aku yakin Dudung, Tukul dan Pujo pasti juga berpikiran sama. Bukan soal penampilan nyentriknya, tapi soal kenyataan bahwa Juragan itu orang baik. Dudung, bahkan, pernah bercerita tentang masa kecilnya yang menjadi gelandangan di pasar sebelum bekerja dengan Juragan Sardi.
"Kalau tidak dipungut Juragan waktu itu, pasti sampai sekarang aku masih jadi gelandangan. Bahkan, entah apa aku masih bisa hidup atau tidak," kenangnya.
Kesannya memang terlalu berlebihan, tapi aku tidak bisa menyangkal apa yang diceritakan Dudung. Aku pun juga merasakan hal yang sama. Dahulu kala, bahkan, juragan menyelamatkanku dari kecelakaan maut. Konon, saat itu aku tengah sekarat di sekitar sungai. Mobil yang aku dan keluargaku tumpangi terjun ke sungai itu dan semua anggota keluargaku tewas di tempat. Beruntung sekali, Juragan berhasil melarikanku ke rumahnya dan merawatku hingga pulih sampai sekarang.

-----------------------------------

Aku tidak mengerti kenapa akhir-akhir ini pekerjaanku di jasa pengiriman barang milik Juragan Sardi menjadi super sibuk. Memasuki bulan ini, jumlah orang yang minta kirim paket semakin banyak. Juragan pun mau tidak mau juga dibuat kalang kabut melayani pesanan. Juragan memang mengurus bisnisnya ini sendirian tanpa bantuan pelayan atau kasir. Semua pelanggan dilayani dengan bertatap muka langsung dengan Juragan sendiri.

Sore ini, tepat pukul 05.00, setelah melewati hari-hari yang melelahkan, akhirnya aku mendapatkan tugas pengiriman terakhir. Kali ini aku bertugas mengantarkan paket berukuran agak mini : kotak persegi berukuran 11x12 cm kira-kira. Aku tersenyum lega setelah melihat bentuknya. Tugas terakhir yang super ringan untuk hari ini. Karena aku pikir benda itu masih bisa masuk kantong saku, aku memutuskan untuk tidak membawa tali pengikat. Toh, selain itu semua paket juga sudah selesai ku kirim. Maka, dengan begitu saat ini jadilah aku pesepeda bahagia, seperti orang-orang yang mengunjungi alun-alun tiap hari Minggu pagi sambil menggenjot sepeda mahal.

Ku tenteng Si Kumbang menuju ke halaman depan. Saat hendak melewati pagar, aku teringat sesuatu. Aku tiba-tiba ingin mengecek kembali alamat detail tujuan paket kiriman terakhir. Ku rogoh saku celanaku, mengeluarkan kembali kotak kecil itu.
"Jalan Raja Lele Gang Delanggu No. 19,"
Mulutku membaca sambil merapal.
"Jalan Raja Lele Gang Delanggu No. 19,"
Mulutku lagi-lagi merapalnya.
"Jalan Raja Lele Gang Delanggu No. 19?"

Rapalan kali ini disertai dengan nada penasaran. Alamat ini sepertinya tidak asing. Seingatku mungkin aku pernah beberapa kali mengirim barang ke alamat ini. Rasa-rasanya sih begitu, pikirku sembari memelintir jenggot kecilku sambil manggut-manggut. Entahlah. Aku memang pelupa. Daripada buang-buang waktu memikirkan ingatanku yang buruk, lebih baik segera menyelesaikan tugas hari ini untuk kemudian pulang dan beristirahat.

Kriit! Kriit! Kriit! Kriit!
Si Kumbang mencoba berkomunikasi denganku lagi. Ocehannya memang tak habis-habis selama seharian tadi tapi kelihatannya kali ini dia berbicara tentang hal yang lebih serius. Seperti yang sudah-sudah aku memang tak mengerti bahasa yang digunakannya, tapi kali ini aku bisa merasakan bahwa Si Kumbang tampaknya sedang gelisah. Ah, mungkin lebih tepatnya menangis. Atau mungkin dia sedang ketakutan. Ah, entahlah. Yang jelas kali ini dia agak berbeda. Aku bisa merasakannya karena sudah bekerjasama dengannya selama tiga tahun.

Hari mulai gelap. Rumah yang ku tuju itu sudah nampak atapnya dari posisiku mengendarai sepeda saat ini. Tugasku adalah meletakkan barang kiriman ini di depan rumah itu dan bergegas pulang. Itu saja yang biasa aku lakukan.
Sreeekk! Ban sepedaku bergesekan dengan tanah di depan rumah yang aku tuju. Badanku sudah berdiri untuk masuk pekarangan rumah, namun baru saja aku melangkah tiba-tiba saja terdengar suara geraman yang lumayan nyaring. Sontak, jantungku berdesir. Jangan-jangan pemilik rumah ini memelihara anjing galak, pikirku.

"Grrrrrr ! Grrrrrrr !" Suara geraman itu semakin nyaring, tapi sepertinya bukan dari dalam pekarangan. Aku membalikkan badan. Benar saja. Mataku menangkap pemandangan yang membuat jantungku lari cepat. Sekerumunan anjing liar, entah darimana datangnya, tengah menatapku dengan beringas di seberang pekarangan sana. Sepertinya mereka kelaparan dan sudah mengincarku sedari tadi.

Darahku berdesir kencang diiringi dengan hentakan jantung yang meledak-ledak. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam. Ya, enam anjing liar saat ini berada di depanku. Menggeram-geram ke arahku bagaikan serigala lapar. Atau, mungkin sebenarnya mereka adalah serigala? Ah, apa pentingnya? Lagipula apa bedanya anjing dan serigala?

Perlahan-lahan, ku regangkan kakiku, mengambil ancang-ancang untuk menaiki Si Kumbang. Rencanaku adalah berputar arah dan kabur dengan cara menerobos pagar. Dalam hati, aku bersepakat dengan diri sendiri. Dalam hitungan ketiga, putar arah lalu kabur. 1, 2, 3!

Melihatku berusaha kabur, mereka pun berlarian memburuku. Aku mengayuh Si Kumbang seperti berlari kencang. Harus kencang karena keenam anjing yang sedang mengejarku di belakang sana juga berlari kencang. Aku tidak peduli lagi pada kotak paket kirimanku. Barangkali ku jatuhkan sebelum lari tadi. Ah, biarkan. Aku lebih memilih diomeli Juragan daripada mati konyol disini, dimangsa anjing-anjing lapar. Tapi, ngomong-ngomong, jangan ragukan kemampuan mengendaraiku ya. Kerjasamaku dengan Si Kumbang selama 3 tahun terakhir ini membuat kami berdua menjadi saling kompak. Si Kumbang sudah tahu kalau aku jago kebut-kebutan. Dan, dia juga sudah paham kalau gaya ngebut yang paling aku sukai adalah gaya ngepotnya Valentino Rossi. Dan, barangkali boleh juga gaya itu aku peragakan barang sebentar saja saat ini. Di saat-saat genting seperti ini? Ya, mengapa tidak? Tapi anjing-anjing itu? Sudahlah. Lagipula, tugas dari Juragan sudah selesai semua. Saat ini aku sudah bebas tugas. Lagipula, kapan lagi aku dapat momen sebaik ini?

Kepercayaan diriku sebagai jago balapan muncul kembali setelah, barangkali, beberapa tahun ini sempat terkubur dalam-dalam. Dengan pikiran yang merasa di atas angin, aku berbelok ke gang-gang sempit yang sebenarnya bukan jalan utamaku menuju ke rumah. Mataku semakin berbinar ketika di depan sana aku melihat sebuah persimpangan berbentuk letter T. Aku memang harus memilih apakah aku akan berbelok ke kiri atau ke kanan, tapi aku punya rencana lain yang lebih spektakuler : aku akan berpura-pura menikung ke arah kiri dan setelah anjing-anjing di belakangku itu mengikuti arah tikunganku, aku akan banting kemudi ke arah sebaliknya. Rencana yang brilian. Pelan-pelan, senyum licikku tersungging. Sudah lama aku tidak merasakan adrenalin seperti ini.

Srekkk! Karet rem Si Kumbang benar-benar masih bisa bekerja dengan sempurna. Secepat kilat aku memutar arah dan dalam hitungan sepersekian detik ku ayunkan kembali kakiku ke arah sebaliknya. Setelah kayuhanku kembali stabil, aku menoleh ke belakang. Anjing-anjing itu berjatuhan setelah bertabrakan satu sama lain. Mereka habis kena tipu muslihatku. Aku bangga setengah mati. Tapi, tiba-tiba ..... BRUUKK! Aku merasa tubuhku terkena lemparan benda berbulu lebat. Si Kumbang terhuyung-huyung. Dan, ..... BRAAKK! Aku terjatuh bersamanya. Tubuhku terguling beberapa kali lalu kemudian tertelungkup di pinggir gang. Menyadari aku baru saja terjatuh, tubuhku bangkit seketika. Ku lihat Si Kumbang sudah tergeletak beberapa meter di belakangku. Aku bergegas menghampirinya. Tapi, baru beberapa langkah aku berhenti. Di dekat Si Kumbang, seekor anjing sudah berdiri menyeringaiku.
Grrrrr! Grrrrrr! Grrrrrrr!

Sepertinya bukan hanya suara seekor anjing. Benar saja. Di ujung gang di depan sana, puluhan ekor lain sudah menghadang. Dan, rombongan enam anjing di belakang tadi sudah tiba menyusul rekan-rekannya. Badanku tiba-tiba gelagapan. Si Kumbang sudah dikuasai gerombolan anjing-anjing. Rencanaku rupanya tidak berjalan dengan mulus. Malah gagal total dan membuat diriku sendiri terjebak dalam situasi genting seperti ini. Bodoh! Seharusnya aku lupakan saja kegemaranku bermain balapan. Lagipula, terakhir kali adrenalinku itu muncul beberapa tahun yang lalu, aku juga mengalami nahas. Entah kenapa aku tidak pernah belajar dari kesalahan.

Aku semakin pasrah ketika salah satu di antara puluhan anjing liar itu mulai menyergapku. Kemudian, diikuti dengan yang lainnya. Aku semakin pasrah ketika tubuhku jadi bulan-bulanan para makhluk jalanan yang lapar setengah mati ini. Biar ku tanggung kebodohan yang baru saja aku lakukan tadi. Dan, juga kebodohan yang sama yang dahulu kala juga pernah aku lakukan.

----------------------------

Tubuh suamiku gemetaran sejak maghrib tadi. Darah segar tak berhenti keluar dari lubang mulut, hidung dan telinganya. Sesekali dia muntah darah. Kedua matanya membelalak seakan-akan hendak keluar dari pelupuknya. Aku benar-benar tak kuasa melihat pemandangan itu. Aku merasa semua ini memang gara-gara pencalonannya untuk menjadi Lurah di kampung ini. Sudah berulang kali aku menasehatinya untuk mundur saja dari pencalonan, tetapi dia tetap ngotot. Alasannya, tidak ada kandidat yang pro warga lah. Inilah. Itulah. Begitulah suamiku. Kemauannya begitu keras hingga tidak ada seorangpun yang bisa melarangnya.

"Bagaimana, Cak Pin?" tanyaku pada Cak Aripin, seorang tabib di kampung ini yang baru selesai memeriksa kondisi suamiku.
"Sulit."
"Sulit? Sulit kenapa, Cak?" tanyaku lagi, tidak sabar.
"Begini, Bu Yanti."
Pelan-pelan, aku mulai mampu menahan kesabaran untuk menunggu penjelasan lebih lanjut dari Cak Aripin.
"Apa yang menimpa Pak Rahmat ini bukan soal medis."
"Lantas?" Kesabaranku pelan-pelan hilang lagi.
"Ini ...."
"Ini apa, Cak?" Kesabaranku semakin kabur.
"Sebenarnya Pak Rahmat, suami Ibu, kena teluh. Saya menemukan beberapa potongan paku di muntahannya tadi."
Aku memang tidak begitu kaget mendengarnya. Kenyataan yang baru saja diungkapkan Cak Aripin memang sesuai dengan perkiraanku. Persaingan untuk mendapatkan posisi bergengsi, dan tentunya basah oleh uang, sebagai Lurah di kampung ini memang sudah sangat sering melibatkan hal-hal mistis seperti itu. Tapi, sekarang semua itu sudah tidak penting lagi. Aku hanya ingin suamiku sembuh seperti sedia kala.
"Lalu, saya harus bagaimana, Cak?"
"Hmmm ...."

Cak Aripin berpikir sejenak. Dari raut mukanya yang serius dan terkesan putus asa, sepertinya dia tidak punya solusi untuk mengatasi permasalahan ini.
"Bagaimana, Cak?"
"Hmmm. Begini saja ....."
Belum sempat Cak Aripin menyelesaikan satu kalimat, tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu. Penasaran, aku menghampiri jendela, membuka tirai dan melihat keluar. Rupanya, Pak Anwar, salah seorang tokoh masyarakat di kampung ini sudah menunggu di luar bersama serombongan warga. Hatiku mengaduk-aduk tak menentu. Gusti, ada apa lagi ini? Tanyaku dalam hati. Dengan perasaan yang semakin dibekap cemas, aku membuka pintu.

"Iya, Pak Anwar? Ada apa?" tanyaku. Aku berusaha untuk tetap tenang.
"Apa Pak Rahmat sudah membaik, Bu?"
"Masih belum, Pak. Tapi sudah diurus Cak Aripin."
"Begini, Bu. saya mendapatkan laporan dari warga. Katanya mereka menemukan sesuatu yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit Pak Rahmat. Besar kemungkinan Pak Rahmat terkena ilmu santet, Bu."
"Bbb ..." Tiba-tiba, aku merasa gugup. "Barusan tadi, Cak Aripin juga bilang begitu. Bapak-bapak ini tau darimana?"
"Begini, Bu. Saat maghrib tadi beberapa warga melihat sesuatu benda yang aneh. Seperti bola api terbang ke arah sini. Para warga meyakini bahwa bola api seperti itu adalah sejenis makhluk halus yang dipekerjakan oleh para dukun untuk mengantarkan benda-benda santet. Semacam kurir begitu, Bu."
"Lalu bagaimana, Pak?" tuturku, menyela penjelasan Pak Anwar.
"Beberapa warga lalu mengejar bola api itu dan akhirnya mereka berhasil mengepung, menangkap dan melumpuhkannya dengan menggunakan jaring. Setelah dilumpuhkan, bola api itu tiba-tiba padam dan berubah menjadi sebuah benda misterius."
"Benda apa, Pak? Lalu, apa itu bisa membantu menyembuhkan suami saya, Pak?"
"Entahlah. Tapi, sepertinya Ibu perlu melihat benda misterius itu."
Pak Anwar lalu memanggil seorang pemuda yang membawa sebuah bungkusan.
"Buka!" perintah Pak Anwar. Pemuda itu mengangguk dan mulai membuka bungkusan yang dibawanya. Penasaran, aku mendekat. Cak Aripin yang sejak tadi mendengar percakapanku dengan Pak Anwar juga tak kalah penasaran dan ikut bergabung bersamaku untuk melihat apa gerangan sesuatu di dalam bungkusan tersebut. Dan, apa yang ku lihat di depan mataku ini benar-benar membuatku bergidik.

Bungkusan tadi ternyata berisi seonggok kepala manusia. Ya, kepala manusia yang sudah mengering.
"Apa Ibu mengenali wajah orang ini?"
Walaupun agak bergidik juga rasanya, perlahan-lahan aku mengamati bentuk mata, hidung dan mulutnya. Ya, rasa-rasanya aku mengenalinya. Tiba-tiba, aku teringat peristiwa tiga tahun silam. Sebuah kecelakaan lalu lintas yang menimpa keluargaku. Dimana almarhum suamiku yang pertama tewas di tempat kejadian. Dan, wajah itu mengingatkanku pada .....
"Bagaimana, Bu?"

Aku masih tidak bisa berkomentar. Keringat dingin mengalir di pelipis kananku. Semakin mengamati wajah itu, aku justru semakin yakin. Apa yang sebenarnya terjadi? Almarhum suamiku yang telah lama tiada, kini muncul kembali di hadapanku dalam wujud seperti ini. Perlahan, kesadaranku memudar.
"Bu? Bu Yanti?"

Ku dengar samar-samar Pak Anwar, atau mungkin Cak Aripin, memanggil-manggil namaku. Tapi, pandanganku semakin kabur. Sementara di luar pagar rumah, samar-samar mataku menangkap bayangan sesosok kakek tua mengenakan topi bundar. Seberkas senyum tersungging di bibirnya mengantarkan kesadaranku berangsur-angsur ke titik yang paling lemah.

  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun