Mohon tunggu...
Wahyu Zaenudin
Wahyu Zaenudin Mohon Tunggu... karyawan swasta -

So Complicated! Nuff said!

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kurir

24 Agustus 2015   15:42 Diperbarui: 24 Agustus 2015   15:42 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari mulai gelap. Rumah yang ku tuju itu sudah nampak atapnya dari posisiku mengendarai sepeda saat ini. Tugasku adalah meletakkan barang kiriman ini di depan rumah itu dan bergegas pulang. Itu saja yang biasa aku lakukan.
Sreeekk! Ban sepedaku bergesekan dengan tanah di depan rumah yang aku tuju. Badanku sudah berdiri untuk masuk pekarangan rumah, namun baru saja aku melangkah tiba-tiba saja terdengar suara geraman yang lumayan nyaring. Sontak, jantungku berdesir. Jangan-jangan pemilik rumah ini memelihara anjing galak, pikirku.

"Grrrrrr ! Grrrrrrr !" Suara geraman itu semakin nyaring, tapi sepertinya bukan dari dalam pekarangan. Aku membalikkan badan. Benar saja. Mataku menangkap pemandangan yang membuat jantungku lari cepat. Sekerumunan anjing liar, entah darimana datangnya, tengah menatapku dengan beringas di seberang pekarangan sana. Sepertinya mereka kelaparan dan sudah mengincarku sedari tadi.

Darahku berdesir kencang diiringi dengan hentakan jantung yang meledak-ledak. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam. Ya, enam anjing liar saat ini berada di depanku. Menggeram-geram ke arahku bagaikan serigala lapar. Atau, mungkin sebenarnya mereka adalah serigala? Ah, apa pentingnya? Lagipula apa bedanya anjing dan serigala?

Perlahan-lahan, ku regangkan kakiku, mengambil ancang-ancang untuk menaiki Si Kumbang. Rencanaku adalah berputar arah dan kabur dengan cara menerobos pagar. Dalam hati, aku bersepakat dengan diri sendiri. Dalam hitungan ketiga, putar arah lalu kabur. 1, 2, 3!

Melihatku berusaha kabur, mereka pun berlarian memburuku. Aku mengayuh Si Kumbang seperti berlari kencang. Harus kencang karena keenam anjing yang sedang mengejarku di belakang sana juga berlari kencang. Aku tidak peduli lagi pada kotak paket kirimanku. Barangkali ku jatuhkan sebelum lari tadi. Ah, biarkan. Aku lebih memilih diomeli Juragan daripada mati konyol disini, dimangsa anjing-anjing lapar. Tapi, ngomong-ngomong, jangan ragukan kemampuan mengendaraiku ya. Kerjasamaku dengan Si Kumbang selama 3 tahun terakhir ini membuat kami berdua menjadi saling kompak. Si Kumbang sudah tahu kalau aku jago kebut-kebutan. Dan, dia juga sudah paham kalau gaya ngebut yang paling aku sukai adalah gaya ngepotnya Valentino Rossi. Dan, barangkali boleh juga gaya itu aku peragakan barang sebentar saja saat ini. Di saat-saat genting seperti ini? Ya, mengapa tidak? Tapi anjing-anjing itu? Sudahlah. Lagipula, tugas dari Juragan sudah selesai semua. Saat ini aku sudah bebas tugas. Lagipula, kapan lagi aku dapat momen sebaik ini?

Kepercayaan diriku sebagai jago balapan muncul kembali setelah, barangkali, beberapa tahun ini sempat terkubur dalam-dalam. Dengan pikiran yang merasa di atas angin, aku berbelok ke gang-gang sempit yang sebenarnya bukan jalan utamaku menuju ke rumah. Mataku semakin berbinar ketika di depan sana aku melihat sebuah persimpangan berbentuk letter T. Aku memang harus memilih apakah aku akan berbelok ke kiri atau ke kanan, tapi aku punya rencana lain yang lebih spektakuler : aku akan berpura-pura menikung ke arah kiri dan setelah anjing-anjing di belakangku itu mengikuti arah tikunganku, aku akan banting kemudi ke arah sebaliknya. Rencana yang brilian. Pelan-pelan, senyum licikku tersungging. Sudah lama aku tidak merasakan adrenalin seperti ini.

Srekkk! Karet rem Si Kumbang benar-benar masih bisa bekerja dengan sempurna. Secepat kilat aku memutar arah dan dalam hitungan sepersekian detik ku ayunkan kembali kakiku ke arah sebaliknya. Setelah kayuhanku kembali stabil, aku menoleh ke belakang. Anjing-anjing itu berjatuhan setelah bertabrakan satu sama lain. Mereka habis kena tipu muslihatku. Aku bangga setengah mati. Tapi, tiba-tiba ..... BRUUKK! Aku merasa tubuhku terkena lemparan benda berbulu lebat. Si Kumbang terhuyung-huyung. Dan, ..... BRAAKK! Aku terjatuh bersamanya. Tubuhku terguling beberapa kali lalu kemudian tertelungkup di pinggir gang. Menyadari aku baru saja terjatuh, tubuhku bangkit seketika. Ku lihat Si Kumbang sudah tergeletak beberapa meter di belakangku. Aku bergegas menghampirinya. Tapi, baru beberapa langkah aku berhenti. Di dekat Si Kumbang, seekor anjing sudah berdiri menyeringaiku.
Grrrrr! Grrrrrr! Grrrrrrr!

Sepertinya bukan hanya suara seekor anjing. Benar saja. Di ujung gang di depan sana, puluhan ekor lain sudah menghadang. Dan, rombongan enam anjing di belakang tadi sudah tiba menyusul rekan-rekannya. Badanku tiba-tiba gelagapan. Si Kumbang sudah dikuasai gerombolan anjing-anjing. Rencanaku rupanya tidak berjalan dengan mulus. Malah gagal total dan membuat diriku sendiri terjebak dalam situasi genting seperti ini. Bodoh! Seharusnya aku lupakan saja kegemaranku bermain balapan. Lagipula, terakhir kali adrenalinku itu muncul beberapa tahun yang lalu, aku juga mengalami nahas. Entah kenapa aku tidak pernah belajar dari kesalahan.

Aku semakin pasrah ketika salah satu di antara puluhan anjing liar itu mulai menyergapku. Kemudian, diikuti dengan yang lainnya. Aku semakin pasrah ketika tubuhku jadi bulan-bulanan para makhluk jalanan yang lapar setengah mati ini. Biar ku tanggung kebodohan yang baru saja aku lakukan tadi. Dan, juga kebodohan yang sama yang dahulu kala juga pernah aku lakukan.

----------------------------

Tubuh suamiku gemetaran sejak maghrib tadi. Darah segar tak berhenti keluar dari lubang mulut, hidung dan telinganya. Sesekali dia muntah darah. Kedua matanya membelalak seakan-akan hendak keluar dari pelupuknya. Aku benar-benar tak kuasa melihat pemandangan itu. Aku merasa semua ini memang gara-gara pencalonannya untuk menjadi Lurah di kampung ini. Sudah berulang kali aku menasehatinya untuk mundur saja dari pencalonan, tetapi dia tetap ngotot. Alasannya, tidak ada kandidat yang pro warga lah. Inilah. Itulah. Begitulah suamiku. Kemauannya begitu keras hingga tidak ada seorangpun yang bisa melarangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun