Mohon tunggu...
Wahyu Zaenudin
Wahyu Zaenudin Mohon Tunggu... karyawan swasta -

So Complicated! Nuff said!

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kurir

24 Agustus 2015   15:42 Diperbarui: 24 Agustus 2015   15:42 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bagaimana, Cak Pin?" tanyaku pada Cak Aripin, seorang tabib di kampung ini yang baru selesai memeriksa kondisi suamiku.
"Sulit."
"Sulit? Sulit kenapa, Cak?" tanyaku lagi, tidak sabar.
"Begini, Bu Yanti."
Pelan-pelan, aku mulai mampu menahan kesabaran untuk menunggu penjelasan lebih lanjut dari Cak Aripin.
"Apa yang menimpa Pak Rahmat ini bukan soal medis."
"Lantas?" Kesabaranku pelan-pelan hilang lagi.
"Ini ...."
"Ini apa, Cak?" Kesabaranku semakin kabur.
"Sebenarnya Pak Rahmat, suami Ibu, kena teluh. Saya menemukan beberapa potongan paku di muntahannya tadi."
Aku memang tidak begitu kaget mendengarnya. Kenyataan yang baru saja diungkapkan Cak Aripin memang sesuai dengan perkiraanku. Persaingan untuk mendapatkan posisi bergengsi, dan tentunya basah oleh uang, sebagai Lurah di kampung ini memang sudah sangat sering melibatkan hal-hal mistis seperti itu. Tapi, sekarang semua itu sudah tidak penting lagi. Aku hanya ingin suamiku sembuh seperti sedia kala.
"Lalu, saya harus bagaimana, Cak?"
"Hmmm ...."

Cak Aripin berpikir sejenak. Dari raut mukanya yang serius dan terkesan putus asa, sepertinya dia tidak punya solusi untuk mengatasi permasalahan ini.
"Bagaimana, Cak?"
"Hmmm. Begini saja ....."
Belum sempat Cak Aripin menyelesaikan satu kalimat, tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu. Penasaran, aku menghampiri jendela, membuka tirai dan melihat keluar. Rupanya, Pak Anwar, salah seorang tokoh masyarakat di kampung ini sudah menunggu di luar bersama serombongan warga. Hatiku mengaduk-aduk tak menentu. Gusti, ada apa lagi ini? Tanyaku dalam hati. Dengan perasaan yang semakin dibekap cemas, aku membuka pintu.

"Iya, Pak Anwar? Ada apa?" tanyaku. Aku berusaha untuk tetap tenang.
"Apa Pak Rahmat sudah membaik, Bu?"
"Masih belum, Pak. Tapi sudah diurus Cak Aripin."
"Begini, Bu. saya mendapatkan laporan dari warga. Katanya mereka menemukan sesuatu yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit Pak Rahmat. Besar kemungkinan Pak Rahmat terkena ilmu santet, Bu."
"Bbb ..." Tiba-tiba, aku merasa gugup. "Barusan tadi, Cak Aripin juga bilang begitu. Bapak-bapak ini tau darimana?"
"Begini, Bu. Saat maghrib tadi beberapa warga melihat sesuatu benda yang aneh. Seperti bola api terbang ke arah sini. Para warga meyakini bahwa bola api seperti itu adalah sejenis makhluk halus yang dipekerjakan oleh para dukun untuk mengantarkan benda-benda santet. Semacam kurir begitu, Bu."
"Lalu bagaimana, Pak?" tuturku, menyela penjelasan Pak Anwar.
"Beberapa warga lalu mengejar bola api itu dan akhirnya mereka berhasil mengepung, menangkap dan melumpuhkannya dengan menggunakan jaring. Setelah dilumpuhkan, bola api itu tiba-tiba padam dan berubah menjadi sebuah benda misterius."
"Benda apa, Pak? Lalu, apa itu bisa membantu menyembuhkan suami saya, Pak?"
"Entahlah. Tapi, sepertinya Ibu perlu melihat benda misterius itu."
Pak Anwar lalu memanggil seorang pemuda yang membawa sebuah bungkusan.
"Buka!" perintah Pak Anwar. Pemuda itu mengangguk dan mulai membuka bungkusan yang dibawanya. Penasaran, aku mendekat. Cak Aripin yang sejak tadi mendengar percakapanku dengan Pak Anwar juga tak kalah penasaran dan ikut bergabung bersamaku untuk melihat apa gerangan sesuatu di dalam bungkusan tersebut. Dan, apa yang ku lihat di depan mataku ini benar-benar membuatku bergidik.

Bungkusan tadi ternyata berisi seonggok kepala manusia. Ya, kepala manusia yang sudah mengering.
"Apa Ibu mengenali wajah orang ini?"
Walaupun agak bergidik juga rasanya, perlahan-lahan aku mengamati bentuk mata, hidung dan mulutnya. Ya, rasa-rasanya aku mengenalinya. Tiba-tiba, aku teringat peristiwa tiga tahun silam. Sebuah kecelakaan lalu lintas yang menimpa keluargaku. Dimana almarhum suamiku yang pertama tewas di tempat kejadian. Dan, wajah itu mengingatkanku pada .....
"Bagaimana, Bu?"

Aku masih tidak bisa berkomentar. Keringat dingin mengalir di pelipis kananku. Semakin mengamati wajah itu, aku justru semakin yakin. Apa yang sebenarnya terjadi? Almarhum suamiku yang telah lama tiada, kini muncul kembali di hadapanku dalam wujud seperti ini. Perlahan, kesadaranku memudar.
"Bu? Bu Yanti?"

Ku dengar samar-samar Pak Anwar, atau mungkin Cak Aripin, memanggil-manggil namaku. Tapi, pandanganku semakin kabur. Sementara di luar pagar rumah, samar-samar mataku menangkap bayangan sesosok kakek tua mengenakan topi bundar. Seberkas senyum tersungging di bibirnya mengantarkan kesadaranku berangsur-angsur ke titik yang paling lemah.

  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun