Tulisan ini menjadi studi yang difokuskan pada lokus utama yaitu: Pertama, perjuangan dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan, terutama kemiskinan struktural dan jaminan sosial (social security) sebagai dasar utama dan penopang bangsa Indonesia berdikari.Kedua, kajian demokrasi dan politik Indonesia pasca reformasi 1998 tentu saja tidak bisa dipisahkan dari Gus Dur yang pernah menjadi tokoh sentral politik Indonesia dan bagiamana kita membaca demokrasi kesejahteraan dan konteks politik Indonesia kontemporer.
Kemiskinan dan Jaminan Sosial
"Kemiskinan adalah kekerasaan dalam bentuk yang paling buruk." Mohammad Chatib Basri (2011) menguraikan bahwa, kalimat Gandhi tentang kemiskinan seperti mengingatkan kita pada satu hari dalam hidup Amartya Kumar Sen, warga India pemenang Hadiah Nobel Ekonomi tahun 1998. Di satu siang yang penuh konflik antara umat Hindu dan Islam, Sen, yang ketika itu berumur 10 tahun, bermain di halaman rumahnya di Dhaka. Tak jelas benar dari mana datangnya, tiba-tiba ia melihat seorang lelaki masuk ke halaman dengan rintih kesakitan dan darah yang mengalir. Di punggungnya menancap sebuah pisau. Lelaki itu bernama Kader Mia, seorang buruh miskin yang beragama Islam. Ayah Sen kemudian membawa Mia ke rumah sakit, tempat Mia akhirnya harus melepas nyawanya.
Di hari yang nahas itu, Mia pergi bekerja untuk mencari uang. Sebenarnya istri Mia telah mengingatkan agar tak pergi ke daerah yang rusuh itu. Tetapi Mia tak punya pilihan. Keluarganya harus makan. Maka, kemiskinannya harus dibayar dengan kematian. Kemiskinan memang punya banyak kematian dan air mata.
Kejadian siang itu begitu membekas dalam hidup Amartya Sen. Ia mencatatnya: ketidakbebasan ekonomi (economic unfreedom), dalam bentuk kemiskinan yang ekstrem, bisa membawa orang pada kematian. Di siang yang malang itu, Mia sebenarnya tak perlu pergi mencari uang seandainya keluarganya tak kekurangan makan. Orang miskin memang seperti sebuah representasi nasib buruk. Mungkin karena itu, Sen begitu terobsesi dengan kebebasan.
Bila meniliki ke belakang saat awal mula reformasi di Indonesia sedang dimulai sekitar tahun 1998, saat itu Royal Swedish Academy of Sciences memberikan hadiah Nobel kepada Amartya Kumar Sen, seorang ekonom India yang menjadi terkenal karena karyanya tentang kelaparan, teori perkembangan manusia, ekonomi kesejahteraan, mekanisme dasar dari kemiskinan, dan liberalisme politik.
Dalam bukunya, Profesor Amartya Kumar Sen menyajikan konsepnya mengenai pembangunan, yakni sebagai upaya untuk memperluas kebebasan riil yang dapat dinikmati oleh rakyat. Dalam konsepnya tersebut, kebebasan dipandang sebagai tujuan utama pembangunan. Nilai intrinsik kebebasan manusia didukung oleh berbagai kebebasan ini bersifat empiris dan kausal, tidak berdiri sendiri dan saling menjadi bagian. Dapat kita lihat bahwa pandangan Profesor Sen yang luas ini kontras dengan pandangan konvensional bahwa pembangunan tergantung pada pertumbuhan ekonomi, seperti pertumbuhan PDB, pendapatan nasional, serta kemajuan teknologi dan modernisasi sosial.
Untuk memenuhi perluasan kebebasan tersebut yang dikemukakan di atas, diharuskan untuk menyingkirkan kemiskinan dan tirani, minimnya peluang ekonomi dan kemiskinan sosial sistematis, penelantaran sarana umum, dan intoleransi, atau campr tangan rezim refresif yang berlebihan.
Kendati mengalami peningkatan kesejahteraan material, termasuk banyak negara berkembang, tetapi sebagian besar umat manusia tidak memiliki berbagai kebebasan dasar. Seringkali ketidakbebasan ini disebabkan oleh kemiskinan absolut yang berwujud bencana kelaparan yang menyebabkan orang-orang sulit memperoleh kebaebasan dasar untuk bertahan hidup.
Profesor Sen mengkritik pandangan tradisional dalam bukunya Poverty and Famines-An Essay on Entitlement and Deprivation bahwa bencana kelaparan disebabkan oleh turunnya persediaan pangan (Pandangan FAO). Menurut studi empiris, bencana tersebut bisa saja terjadi tanpa adanya penurunan persediaan pangan. Ia juga menyatakan bahwa perhatian harus dipusatkan pada Entitlement (hak) yang dimiliki oleh setiap orang. Pada kasus lain, tiadanya kebebasan disebabkan langsung oleh tiadanya fasilitas umum dan sosial seperti, program pendidikan dan kesehatan yang memadai.
Ketika Gus Dur diamanahi dan dipercaya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) komitmennya untuk membela kaum miskin dan mengentaskan kemiskinan semakin terstruktur dengan baik dengan berbagai program pembangunan, termasuk memperbaiki sistem pemerintahan Indonesia sebagai negara kesejahteraan (welfare state).