Sebagai negara yang baru belajar berdemokrasi, menemui hal-hal yang seperti itu tentu biasa saja, tetapi yang lebih esensi yang mesti kita rekomendasikan adalah soal tata aturan tentang bagaimana praktik para konsultan dan surveyor itu diatur sedemikian rupa agar tidak menjadi lembaga yang bebas melakukan apa saja dengan dalih keterbukaan informasi.
Praktik-praktik yang mengkhawatirkan adalah apa yang dilakukan oleh para lembaga survey yang menjadikan hasil survey menjadi alat dan media kampanye kandidat yang mempengaruhi para pemilih, padahal kegunaan survey politik esensinya bukan untuk itu.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah semestinya memberi aturan yang jelas dan tegas tentang praktik konsultan dan surveyor, tentang mekanisme dan persyaratan kelembagaan, lembaga survey harus independen dalam melakukan survey dan dari sisi pendanaan, berapa kali boleh melakukan survey, perizinan termasuk pada kandidat yang akan disurvey dan kapan boleh dipubilkasikan dan memiliki tanggungjawab akademik bila terjadi kesalahan yang disengaja atas publikasi hasil survey akibat pesanan politik dan aturan yang lainnya.
Harus disadari bahwa preferensi demokrasi dengan lahirnya industri politik bisa membawa berkah bagi tumbuhnya kesejahteraan rakyat yang terlibat dalam pesta demokrasi, akan tetapi juga bisa membawa musibah dan malapetaka ketika demokrasi semacam ini membiarkan berbagai kesenjangan antara apa yang menjadi kebutuhan dan harapan masyarakat pemilih dengan apa yang sejatinya dipraktikkan oleh para kandidat, bila pada kenyataannya hanya politik pencitraan belaka.
Preferensi Pemilih
Demokrasi modern dengan pemilihan langsung tidak bisa dilepaskan dari preferensi pemilih. Begitu masyarakat pemilih dijadikan arena pertarungan maka preferensi atau apa yang menjadi acuan bagi para pemilih menjadi fokus dan kajian utama.
Teori kebutuhan Abraham H. Moslow dapat dijadikan sebagai analisis untuk melihat preferensi para pemilih dan melakukan pendekatan agar memberi suara pada kandidat.
Dengan menggunakan teori kebutuhan Moslow maka praktik-praktik dalam melakukan pendekatan kepada para pemilih disesuaikan berdasarkan tingkat kebutuhannya.
Bagi para pemilih yang preferensi atau acuannya memilih berdasarkan dipenuhinya kebutuhan dasar atau physiological needs, berupa kebutuhan biologis seperti kebutuhan makan, minum, perlindungan, fisik, bernafas dan sexual maka seorang kandidat dan tim pemenangan harus memenuhinya, sehingga tidak jarang kita menemukan praktik-praktik money politic atau politik uang dengan pemberian sembako dan uang bagi para pemilih dilakukan.
Termasuk jual beli suara (money buy voters) yang melibatkan penyelenggara pemilu dari pusat sampai dengan daerah dan kecamatan sudah sering terjadi dan dilakukan. Isu rekruitmen penyelenggara pemilu yang tidak bisa bebas dari intervensi bukan rahasia umum lagi, bahkan kasak-kusuk dan titipan kelompok tertentu seperti biasa dan wajar saja dilakukan.
Bagi para pemilih yang preferensi atau acuannya dalam memilih berdasarkan dipenuhinya kebutuhan rasa aman (safety needs), maka kandidat dan tim pemenangan akan memberikan jaminan terhadap kebutuhan perlindungan dari ancaman, bahaya, dan lingkungan kerja.