Mohon tunggu...
Wahyu Triono KS
Wahyu Triono KS Mohon Tunggu... Dosen - Peofesional

Founder LEADER Indonesia, Chief Executive Officer Cinta Indonesia Assosiate (CIA) Dirut CINTA Indonesia (Central Informasi Networking Transformasi dan Aspirasi Indonesia). Kolumnis, Menulis Buku 9 Alasan Memilih SBY, SBY Sekarang! Satrio Piningit Di Negeri Tuyul, JK-WIRANTO Pilihan TERHORMAT, Prabowo Subianto Sang Pemimpin Sejati, Buku Kumpulan Puisi Ibu Pertiwi dan menjadi Editor Buku: Jaminan Sosial Solusi Bangsa Indonesia Berdikari (Penulis Dr. Emir Soendoro, SpOT), Buku Reformasi Jaminan Sosial Di Indonesia, Transformasi BPJS: “Indahnya Harapan Pahitnya Kegagalan”, Buku Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah, Buku Dinamika Penye-lenggaraan Jaminan Sosial Di Era SJSN, Buku Kebijakan Publik (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan (Penulis Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc). Buku BPJS Jalan Panjang Mewujudkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (Penulis dr. Ahmad Nizar Shihab, Sp.An). Buku Kembali Ke UUD 1945 (Penulis Dr. Emir Soendoro, SpOT), Buku KNPI & Pemuda Harapan Bangsa (Penulis Robi Anugrah Marpaung, SH. MH). Menjadi Ketua Umum HMI Cabang Medan 1998-1999, Ketua PB HMI 2002-2004, Koordinator MPK PB HMI 2004-206 dan Wakil Sekretaris Jenderal DPP KNPI 2008-2011.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Korupsi, Pajak, dan Moral Hazard

22 Oktober 2015   16:38 Diperbarui: 22 Oktober 2015   17:23 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keputusan Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menunda revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas mendapat sambutan beragam.

Bagi pengusul revisi UU KPK, terutama Fraksi PDI Perjuangan yang menginginkan adanya revisi UU KPK dengan maksud dan tujuan yang baik, tidak untuk melemahkan KPK tetap akan bersabar dan membahas revisi UU KPK ini pada kemudian hari.
Sementara bagi yang menentang adanya revisi UU KPK tentu saja sedikit berlega lantaran upaya yang dianggap sebagai serangan balik para koruptor (corruptors fight back) terhadap anti korupsi dengan melakukan upaya pelemahan KPK melalui revisi UU KPK belum jadi dilaksanakan.

Bagaimana kita menjelaskan semua permasalahan korupsi di Indonesia sebagai suatu kejahatan luar biasa (extraordinary crime), penanganan pencegahan dan pemberantasan korupsi melalui KPK serta berbagai peraturan perundang-undangan yang dibuat dari jiwa, cita rasa dan pikiran yang keseluruhannya sakit, akibat pikiran para pembuatnya yang sudah diracuni oleh korupsi yang menimbulkan moral hazard dalam mengkajinya membutuhkan kejernihan pemikiran, hati dan jiwa kita.

Tentang Moral Hazard
Secara etimologis ‘moral hazard’ berarti ‘jebakan moral’. Dalam kamus bahasa Inggris ‘moral hazard’ dijelaskan sebagai ‘the hazard arising form the uncertainty or honesty of the insured’, jadi ‘moral hazard’ dipakai sebagai ketidak jujuran atau kejahatan di bidang asuransi. Dalam istilah lain dijelaskan sebagai ‘the lack of any incentive to guard againts a risk when you are protected againts it (as by insurance), insurance companies are exposed to a moral hazard if the insured party is not honest.”

Untuk menjelaskan ‘moral hazard’ dalam istilah ekonomi dan asuransi, M. Sadli mengambarkan ‘moral hazard’ seperti bagaimana kalau pengusaha ambil asuransi resiko kebakaran untuk gudangnya, maka kalau ia kejepit hutang dan tidak jujur, ia membakarnya sendiri dan mengantongi ganti ruginya.

Semua warga bangsa Indonesia tentu saja memiliki kesepahaman bahwa korupsi sebagai suatu kejahatan luar biasa (extraordinary crime) adalah merupakan kejahatan moral hazard. Tetapi kita musti pula bersepakat bahwa peraturan perundang-undangan yang dibuat penuh dengan cita rasa korupsi juga merupakan moral hazard, juga upaya pemberantasan korupsi yang menimbulkan terjadinya kejahatan atau ketidak adilan terhadap tersangka korupsi juga merupakan moral hazard.

Pada titik ini bisa jadi kita akan bersepakat bahwa revisi UU KPK yang hendak dilakukan jika berpegang pada semangat untuk tetap anti terhadap tindakan korupsi dan menghindari upaya pemberantasan korupsi (kejahatan) dengan kebencian dan dendam (agenda dan seting politik) dan dengan cara-cara yang jahat, sehingga muncul istilah tebang pilih, diharapkan menjadi maslahat bagi masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Disisi lain semua potensi anak bangsa musti segera mendorong agar bangsa Indonesia segera terlepas dari bahaya korupsi dan bangsa Indonesia tidak terus dalam situasi darurat korupsi dengan tetap eksisinya KPK sepanjang masa, sebagai lembaga adhoc dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Penguatan terhadap institusi kepolisian, kejaksaan, lembaga peradilan dan lembaga advokat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi musti terus dikedepankan yang sesuai dengan UUD 1945 dan perundang-undangan.
Karenanya, fokus utama kehadiran KPK yang dilahirkan untuk melakukan upaya pencegahan tindak pidana korupsi musti lebih dominan dan lebih terlihat nyata, sementara upaya KPK dalam hal penindakan melalui pemberantasan tindak pidana korupsi musti segera menimbulkan efek jera. Inilah yang menjadi ukuran keberhasilan kita dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Pendek kata, tekad kita adalah agar KPK segera kita bubarkan karena Indonesia sudah tidak berada dalam situasi darurat korupsi.

Menghindari Moral Hazard
Benarkah para penggagas revisi UU KPK dan kelompok yang anti terhadap revisi UU KPK sebenarnya memiliki semangat yang sama terhadap upaya gerakan anti korupsi di Indonesia? Bagaimana mengatasi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang oleh Kwik Kian Gie disebut sebagai KKN is the roots of all evils. KKN tidak terbatas pada mencuri uang, tetapi lambat laun juga merasuk ke dalam mental, moral, tata nilai dan cara berpikir. Sejak zaman Yunani kuno sudah dikenali adanya pikiran yang sudah teracuni oleh korupsi, sehingga sering kita baca istilah corrupted mind dapat kita atasi untuk menghindari terjadinya moral hazard.

Hal-hal penting dalam upaya menghindari terjadinya moral hazard di seluruh sendi kehidupan kita berbangsa dan bernegara yang terpenting adalah menyangkut hal-hal berikut: Pertama, sudah saatnya kita memberikan porsi dalam pikiran, jiwa dan hati kita untuk terbuka terhadap upaya perbaikan terhadap semua peraturan perundang-undangan yang memiliki ketidak tegasan di dalam pengaturannya, UU yang menimbulkan penafsiran atau interpretasi yang pro dan kontra di dalam pelaksanaannya harus segera direvisi agar tidak membuka celah terjadinya moral hazard dalam penerapannya.

Salah satu contoh Undang-Undang yang menimbulkan pro dan kontra serta memberi peluang terjadinya moral hazard adalah Undang-Undang Tentang Pajak Penghasilan, karena UU Pajak Penghasilan dianggap sebagai UU yang tidak demokratis (Monaf H. Regar: 2009).

Undang-undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa semua pajak harus ditetapkan dengan undang-undang. Ketentuan ini memerlukan suatu penafsiran yang jelas karena harus diketahui ketentuan yang bagaiamana yang dimaksud haus ditetapkan dengan undang-undang. Pajak menyangkut masalah yang luas sehingga perlu diketahui yang mana merupakan ketetapan yang harus dimasukkan dalam undang-undang.

Pajak mencakup berbagai masalah jenis pajak, siapa yang akan dikenakan, berapa beban yang harus dipikul, apa sangsi jika terjadi pelanggaran, bila harus dibayar dan dilaporkan, cara pembayaran, biaya yang boleh dikurangkan, pengecualian, dan banyak hal lain. Undangundang tidak akan dapat mengatur semua masalah ini.

Pada umumnya objek, subjek, tarif, sangsi ditentukan oleh undang-undang. Tanpa ada keempat unsur ini tidak ada pajak, artinya peraturan pajak menetapkan keempat unsur ini. Ternyata Undang-undang Pajak Penghasilan menganut pandangan yang lain, secara sengaja ataupun karena tidak menyadarinya. Beberapa ketentuan dalam undang-undang pajak menyerahkan wewenang yang menyangkut keempat unsur ini kepada peraturan yang lebih rendah seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Pajak.

Kebijakan seperti ini tujuannya untuk mempermudah dalam mengadakan ketentuan yang lebih rinci dan memudahkan mengadakan perubahan. Sebaliknya wewenang seperti ini tidak sesuai dengan prinsip pajak yang demokratis dan yang sehat. Pajak yang diartikan untuk menentukan objek atau sasaran pajak, subjek pajak atau yang bertanggungjawab mengenai pembayaran pajak, tarif pajak yang merupakan beban yang ditimpakan kepada pembayar pajak serta sangsi karena pelangggaran pajak harus ditentukan dengan undang-undang dan tidak diserahkan kepada peraturan yang lebih rendah. Penyimpangan ini sama dengan pelanggaran sistim demokrasi yang dianut yang dimaknakan sebagai suara rakyat.

Kedua, hal paling terpenting lain dalam menghindari upaya kejahatan moral hazard adalah soal fungsi pengawasan baik yang sifatnya internal dan eksternal yang dilakukan mulai dari inspektorat, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan KPK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), juga pengawasan oleh DPR RI serta pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat luas terutama oleh media massa.

Prinsip dan pentingnya pengawasan ini bertitik tolak dari suatu adagium Lord Acton, power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely, kekuasaan cendrung korup, dan kekuasaan yang absolut pasti korup. Dengan demikian, semua kekuasaan termasuk yang melakukan pengawasan harus diawasi, begitu juga dengan KPK, agar tidak terjadi moral hazard.

Penutup
Upaya berbaikan atau merevisi berbagai peraturan perundang-undangan seperti UU KPK, UU Pajak Penghasilan dan peraturan perundang-undangan lainnya sepanjang bertujuan mulia agar tidak terjadi kejahatan moral hazard akibat kekuasaan yang absolut atas nama undang-undang musti mendapat dukungan dari semua pihak.

Berbagai upaya perbaikan dan pembenahan sedang dilakukan oleh DPR dan pemerintah seperti UU Pengampunan Pajak yang diharapkan mendorong terjadinya perbaikan di sektor perpajakan kita dan kita berprasangka baik saja agar kiranya revisi UU KPK diperlukan untuk mendorong bangsa Indonesia segera lepas dari bahaya dan situasi darurat korupsi serta menghindari kita dari kejahatan moral hazard. Semoga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun