Keputusan Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menunda revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas mendapat sambutan beragam.
Bagi pengusul revisi UU KPK, terutama Fraksi PDI Perjuangan yang menginginkan adanya revisi UU KPK dengan maksud dan tujuan yang baik, tidak untuk melemahkan KPK tetap akan bersabar dan membahas revisi UU KPK ini pada kemudian hari.
Sementara bagi yang menentang adanya revisi UU KPK tentu saja sedikit berlega lantaran upaya yang dianggap sebagai serangan balik para koruptor (corruptors fight back) terhadap anti korupsi dengan melakukan upaya pelemahan KPK melalui revisi UU KPK belum jadi dilaksanakan.
Bagaimana kita menjelaskan semua permasalahan korupsi di Indonesia sebagai suatu kejahatan luar biasa (extraordinary crime), penanganan pencegahan dan pemberantasan korupsi melalui KPK serta berbagai peraturan perundang-undangan yang dibuat dari jiwa, cita rasa dan pikiran yang keseluruhannya sakit, akibat pikiran para pembuatnya yang sudah diracuni oleh korupsi yang menimbulkan moral hazard dalam mengkajinya membutuhkan kejernihan pemikiran, hati dan jiwa kita.
Tentang Moral Hazard
Secara etimologis ‘moral hazard’ berarti ‘jebakan moral’. Dalam kamus bahasa Inggris ‘moral hazard’ dijelaskan sebagai ‘the hazard arising form the uncertainty or honesty of the insured’, jadi ‘moral hazard’ dipakai sebagai ketidak jujuran atau kejahatan di bidang asuransi. Dalam istilah lain dijelaskan sebagai ‘the lack of any incentive to guard againts a risk when you are protected againts it (as by insurance), insurance companies are exposed to a moral hazard if the insured party is not honest.”
Untuk menjelaskan ‘moral hazard’ dalam istilah ekonomi dan asuransi, M. Sadli mengambarkan ‘moral hazard’ seperti bagaimana kalau pengusaha ambil asuransi resiko kebakaran untuk gudangnya, maka kalau ia kejepit hutang dan tidak jujur, ia membakarnya sendiri dan mengantongi ganti ruginya.
Semua warga bangsa Indonesia tentu saja memiliki kesepahaman bahwa korupsi sebagai suatu kejahatan luar biasa (extraordinary crime) adalah merupakan kejahatan moral hazard. Tetapi kita musti pula bersepakat bahwa peraturan perundang-undangan yang dibuat penuh dengan cita rasa korupsi juga merupakan moral hazard, juga upaya pemberantasan korupsi yang menimbulkan terjadinya kejahatan atau ketidak adilan terhadap tersangka korupsi juga merupakan moral hazard.
Pada titik ini bisa jadi kita akan bersepakat bahwa revisi UU KPK yang hendak dilakukan jika berpegang pada semangat untuk tetap anti terhadap tindakan korupsi dan menghindari upaya pemberantasan korupsi (kejahatan) dengan kebencian dan dendam (agenda dan seting politik) dan dengan cara-cara yang jahat, sehingga muncul istilah tebang pilih, diharapkan menjadi maslahat bagi masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Disisi lain semua potensi anak bangsa musti segera mendorong agar bangsa Indonesia segera terlepas dari bahaya korupsi dan bangsa Indonesia tidak terus dalam situasi darurat korupsi dengan tetap eksisinya KPK sepanjang masa, sebagai lembaga adhoc dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Penguatan terhadap institusi kepolisian, kejaksaan, lembaga peradilan dan lembaga advokat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi musti terus dikedepankan yang sesuai dengan UUD 1945 dan perundang-undangan.
Karenanya, fokus utama kehadiran KPK yang dilahirkan untuk melakukan upaya pencegahan tindak pidana korupsi musti lebih dominan dan lebih terlihat nyata, sementara upaya KPK dalam hal penindakan melalui pemberantasan tindak pidana korupsi musti segera menimbulkan efek jera. Inilah yang menjadi ukuran keberhasilan kita dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Pendek kata, tekad kita adalah agar KPK segera kita bubarkan karena Indonesia sudah tidak berada dalam situasi darurat korupsi.
Menghindari Moral Hazard
Benarkah para penggagas revisi UU KPK dan kelompok yang anti terhadap revisi UU KPK sebenarnya memiliki semangat yang sama terhadap upaya gerakan anti korupsi di Indonesia? Bagaimana mengatasi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang oleh Kwik Kian Gie disebut sebagai KKN is the roots of all evils. KKN tidak terbatas pada mencuri uang, tetapi lambat laun juga merasuk ke dalam mental, moral, tata nilai dan cara berpikir. Sejak zaman Yunani kuno sudah dikenali adanya pikiran yang sudah teracuni oleh korupsi, sehingga sering kita baca istilah corrupted mind dapat kita atasi untuk menghindari terjadinya moral hazard.
Hal-hal penting dalam upaya menghindari terjadinya moral hazard di seluruh sendi kehidupan kita berbangsa dan bernegara yang terpenting adalah menyangkut hal-hal berikut: Pertama, sudah saatnya kita memberikan porsi dalam pikiran, jiwa dan hati kita untuk terbuka terhadap upaya perbaikan terhadap semua peraturan perundang-undangan yang memiliki ketidak tegasan di dalam pengaturannya, UU yang menimbulkan penafsiran atau interpretasi yang pro dan kontra di dalam pelaksanaannya harus segera direvisi agar tidak membuka celah terjadinya moral hazard dalam penerapannya.