Kemajuan suatu bangsa tidak bisa diukur hanya dari kemajuan ekonominya dan kemajuan teknologinya. Masih ada indikator lainnya yang menyertai kemajuan bangsa tersebut. Indikator itu menyangkut bagaimana perkembangan literasinya.
Untuk saat ini sudah banyak buku-buku yang diterbitkan, apakah itu menyangkut terjemahan dari literatur asing atau merupakan hasil karya tulis anak bangsa. Akan tetapi sudah berapa ratus judul yang terbit sekarang ini kita sendiri tidak mendapat informasi yang jelas.
Dalam rangka terbit menerbitkan buku harus diakui Indonesia masih sedikit sekali menerbitkan buku-buku dengan judul baru jika dibandingkan dengan beberapa negara Asia lainnya seperti India, Thailand dan Jepang. Industri penerbitan literatur kita masih rendah.
Karena sedikitnya penerbitan buku-buku dengan judul baru maka belum lagi bisa dikatakan Indonesia itu sudah maju. Tetapi, tak bisa pula dikatakan terbelakang hanya karena rendahnya volume dunia penerbitan kita.
Kalaupun Indonesia dapat meningkatkan jumlah penerbitan literatur masih belum bisa dikatakan Indonesia sudah maju selagi literatur-literatur lama masih tetap saja tinggal di zaman lalu, artinya tidak terbit lagi di zaman kini.
Lalu, jangan menganggap buku-buku lama itu sudah usang sehingga tak perlu diterbitkan lagi. Maka pandangan seperti itu adalah pandangan komersial, hanya mencari keuntungan belaka dari dunia penerbitan.
Kalau sudah sampai pandangan seperti itu biasanya sang penerbit hanya mau mencetak ulang buku-buku yang best seller saja. Tak ada minatnya menerbitkan kembali buku-buku lama. Sementara kita mengetahui buku-buku lama itu cukup banyak jumlah judulnya tetapi sedikit sekali yang dicetak ulang pada masa kini.
Mengapa badan penerbit enggan menerbitkan kembali buku-buku lama tersebut sebabnya ada dua. Sebab pertama, gaya bahasa penulis orang-orang dahulu agak susah dipahami, terlalu banyak variasinya sehingga nyaris membosankan. Bagi anak-anak muda masa kini membaca buku-buku yang demikian tidak menarik. Namun, tidak semua buku-buku masa lalu itu begitu gaya bahasanya.
Sebab kedua, semua buku-buku produk masa lalu dianggap oleh para penguasa Orde Baru (Orba) berbau komunis dan karenanya tidak boleh lagi dicetak. Bahkan diantaranya ada yang dilarang terbit sebab, buku-buku itu menganut ajaran-ajaran komunis Karl Marx.
Tetapi, buku-buku semisal karangannya Bung Karno juga ikut dilarang terbit oleh penguasa Orba. Buku-buku Sarinah, Indonesia Menggugat, Mencapai Indonesia Merdeka, yang diterbitkan di zaman Belanda ikut pula menjadi buku terlarang. Apa lagi buku "Dibawah Bendera Revolusi" I & II tak ada lagi tempat pada masa itu.
Padahal, buku "Dibawah Bendera Revolusi"Â itu kini dicari-cari orang. Kalau ada yang mau menjual buku itu orang sunggup membelinya Rp 2 juta per jilidnya. Orang dari Malaysia saja menanyakan tentang buku tersebut, dia berani membeli seharga Rp 5 juta untuk kedua jilidnya.
Orang luar negeri saja mencari tetapi orang kita sendiri tak pernah bermimpi untuk memilikinya. Itu tandanya budaya literasi kita masih rendah sekali. Kalau ada saja penerbit yang mau mencetak ulang buku "Dibawah Bendera Revolusi" itu maka kita akan memasuki zaman masnya" dunia literasi kita karena telah "menyimpan" buku-buku lama berdampingan dengan buku-buku baru sekarang ini.
Sebenarnya kekayaan literasi kita pada masa lalu cukup banyak tetapi, sekarang ini hanya namanya saja yang dikenal orang karena bukunya entah dimana. Bagi generasi sekarang ini, apakah sudah pernah membaca buku HOS Cokroaminoto, pendiri "Sarekat Islam", yang berjudul "Nasionalisme, Islamisme, Sosialisme" yang terbit ditahun 1920-an.
Buku HOS Cokroaminoto itulah yang menjadi sumber inspirasi Soekarno sewaktu beliau menggagas NASAKOM (Nasionalisme-Agama-Komunisme) di tahun 1960-an dahulu. Tetapi, dasarnya Soeharto alergi pada semua yang berasal dari Orla (Orde Lama) maka hampir semua buku yang datang dari zaman itu dilarang terbit lagi. Pembacanya saja bisa dianggap komunis.
Sampai-sampai yang tidak ada hubungannya dengan komunis juga ikut dilarang menerbitkannya kembali seperti tulisan Dr. Sun Yat Sen berjudul "San Min Chu I" atau "The Three People's Principles", yang dahulu buku ini sudah pernah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Padahal, buku itu terbit jauh sebelum ada komunis di Tiongkok tetapi, juga masuk dalam nominasidilarang cetak ulang.
Apalagi buku yang bernama "Naga Merah"Â buah karya Jack Belden, seorang wartawan Amerika Serikat, yang terus meliput long march-nya Tentara Komunis Tiongkok selama masa revolusimelawan Jepang dan Tentara Tiongkok Nasionalis di daratan China. Sudah pasti buku yang seperti ini tidak boleh terbit lagi.
Bagaimana pula dengan buku "Madilog" Tan Malaka, buku yang mengupas soal "Materialisme-Dialektika-Logika", yang memang selama ini buku itu sudah lama tenggelam, tak pernah terbit-terbit lagi. Banyak dikalangan intelektualmuda kita yang menanyakan kepada saya tentang buku itu tetapi apa yang saya mau jawab, buku itu sendiri tidak ada lagi beredar di dunia perpustakaan kita.
Buku-buku Dr. Ruslan Abdulgani, terutama tentang "Sosialisme Indonesia", buat saat ini buku tersebut sulit untuk didapatkan walaupun kita cari ke toko buku loak. Masih ada lagi tulisan-tulisan Dr. Ruslan Abdulganiyang lain tetapi nasibnya sama saja dengan judul buku terdahulu.
Pernahkah Anda membaca suatu risalahyang menggemparkan yang ditulis oleh Soewardi Soeryaningrat, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara, pendiri "Taman Siswa", yang berjudul (dalam bahasa Belanda) "Als ik Nederlander was" yang terjemahannya dalam bahasa Indonesia "Andai kata aku seorang Belanda".
Gara-gara risalah itu tiga orang tokoh pendiri Indische Partijditangkap Belanda pada tahun 1912 yaitu Dr. Cipto Mangoenkoesoemo, Eduard Douwes Dekker, dan Soewardi Soeryaningrat sendiri, dan akhirnya mereka bertiga dibuang ke Negeri Belanda selama hampir lima tahun lamanya. Â
Tulisan Soewardi itu berupa sindiran tajam kepada Belanda yang pada saat itu akan merayakan 100 tahun kemerdekaan Belanda yang pernah dijajah Spanyol selama 100 tahun lamanya. Belanda akan merayakan kemerdekaannya dengan dana dari orang-orang pribumi Indonesia.
Seakan-akan rakyat Indonesia itu tidak dijajah Belanda pada waktu Belanda akan merayakan kemerdekaannya itu. Disitulah datangnya emosi Soewardi dengan tidak adanya kesadaran Belanda bahwa rakyat Indonesia sedang dijajah Belanda berabad-abad lamanya. Sementara Belanda merayakan hari kemerdekaannya.
Apakah risalah yang ditulis Soewardi itu pernah dibaca oleh generasi muda kita sekarang ini. Rasanya "jauh panggang dari api." Bagaimana mau datangnya rasa nasionalisme kalau perjuangan kakek buyutnya dahulu tidak diketahuinya.
Bukan hanya Soewardi saja yang membuat tulisan tetapi juga temannya Eduard Douwes Dekker menulis sebuah buku yang sangat terkenal "Max Havelaar" dan pada buku tersebut dia menggunakan nama samarannya Multatuli yang artinya "orang yang banyak menderita".   Â
Buku ini pernah dicetak dalam bahasa Indonesia tetapi, apakah sudah diulang kembali mencetaknya, tidaklah kita ketahui. Multatuli juga menulis sebuah buku lainnya tentang roman penderitaan rakyat bernama "Saidja dan Adinda". Kedua buku itu memuat lukisan penderitaan rakyat Lebak, Banten semasa penjajahan Belanda dahulu.
Dilapangan Botani ada sebuah buku yang sangat eksklusif sekali, yang mungkin sampai sekarang belum ada duanya, yaitu buku "Bunga Anggrek" yang ditulis oleh S.M. Latif, seorang praktisi pertanian pada Sekolah Kayu tanam di Sumatera Barat. Sampai sekarang buku itu tidak pernah lagi dicetak ulang.
Buku tersebut merekomendasikan bunga-bunga Aggrek yang ada di Indonesia ini yang jumlahnya ratusan species dan pulau Kalimantan merupakan satu-satunya daerah yang menyimpan perbendaharaan bunga Anggrek yang terbanyak di dunia lebih dari 700 species ada dis ana. Â
Buku itu sangat bagus sekali karena dihiasi dengan gambar-gambar berwarna yang disesuaikan dengan warna bunga-bunga Anggrek tersebut. Bukunya cukup tebal dan dicetak diatas kertas lux oleh penerbitnya Vorkink -- Van Hoeve Bandung. Kini perusahaan itu tidak ada lagi.
Belum lagi di lapangan sastra maka disana kita melihat kemajuan yang cukup besar dalam penerbitan buku-buku sastra. Beragam judul buku diterbitkan mulai dari karangan para penulis sendiri sampai kepada buku-buku terjemahan.
Begitu banyaknya buku-buku sastra masa lalu tetapi untuk mendapatkannya pada masa sekarang ini sudah agak sulit sehingga namanya saja lagi yang masih ada.
Mungkin masih banyak yang keberatan kalau seandainya diterbitkan kembali buku-buku populer tentang komunisme karena nanti bisa dianggap menyebarkan ajaran tersebut kepada masyarakat.
Seumpama dengan buku "Das Capital"karangan Karl Marx yang cukup tebal itu mungkin banyak yang menolaknya kalau diterbitkan kembali. Namun, buku Karl Marx tersebut dapat menjadi referensi dalam kajian ekonomi sosialis. Selama ini kita banyak mengambil rujukan dari buku-buku kapitalis jadi, apa bedanya dengan buku "Das Capital" tersebut kalau kedua sistem ekonomi itu ditolak oleh kita?
Kalau untuk studi perbandingan mengapa "Das Capital" tadi tidak boleh dijadikan rujukan, mengapa hanya buku-buku ekonomi kapitalis saja yang boleh. Apakah mereka yang anti "Das Capital" itu yang benar, ataukah kita yang menghendaki objektivitas yang benar?
Ingatlah, selagi kita masih mencangkok ekonomi kapitalis maka selama itu pula "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" tidak akan tercapai. Disana ada "keadilan sosial", itu berarti "lampu hijaunya" adalah Sosialisme Indonesia, tak ada lagi yang lain.
Kita jangan terlalu allergidengan sesuatu untuk kepentingan bersama. Ingatlah, sampai sekarang ini rakyat Marhaen itu masih banyak akibat kebijakan Orde Barudahulu yang menginginkan Indonesia ini menjadi sapi perahan ekonomi kapitalis.Satu- dua puluh orang saja yang menguasai ekonomi di Indonesia ini dan sebagian besar menjadi "gelandangan ekonomi" saja.
Mengapa sampai bisa begitu, tiada lain literatur kita masih berat sebelah. Lebih banyak menyintai buku-buku Barat ketimbang buku-buku Timur. Akibatnya dalam dunia literasi kita dipenuhi dengan buku-buku Barat sehingga literatur-literatur kita masa lalu tak mendapat tempat lagi dalam perpustakaan-perpustakaan kita.
Di Barat sana buku-buku dari dunia Timur tetap tersimpan baik karena satu waktu bisa digunakan untuk rujukan. Mengapa kita di sini yang ingin menjadi satu bangsa yang besar membuat diskriminasi dalam bidang literatur.
Bukankah untuk menuju satu bangsa yang besar itu terukur juga dari dunia literasi yang dimilikinya. Bahkan, dari dahulu sampai sekarang, suatu bangsa itu diukur dari budayanya dan salah satu indikatornya adalah seberapa banyak literatur yang dimiliki oleh bangsa itu.
Kalau masih sedikit berarti peradaban bangsa itu masih rendah dan belum bisa dikatakan bangsa yang maju sekalipun bangsa itu menguasai teknologi yang cukup modern. Peradaban suatu bangsa itu terukur dari bagaimana bangsa itu menyikapi dunia literasiyang ada padanya.
Semua buku-buku yang dimiliki suatu bangsa dapat dijadikan leit star membangun peradaban bangsa itu sendiri. Leit star tadi akan redup-redup cahayanya kalau buku-buku yang dimiliki sedikit sekali. Sebaliknya, leit star tersebut akan menjadi terang benderang kalau khazanah perpustakaannya sangat besar.***  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H