Surat Mandat itu dikirim dengan telegram pada pagi hari sebelum tentara Belanda memasuki Kota Yogyakarta. Tetapi, masih ada satu lagi Surat Mandat yang dikirim kepada Dr. Sudarsono, L.N. Palar dan Mr. A.A. Maramis, yang kebetulan sedang berada di New Delhi, India untuk segera membentuk Exil Government Republik Indonesia atau Pemerintahan Pengasingan RI di India, seandainya Mr. Syafrudin Prawiranegara gagal membentuk Pemerintahan Darurat RI di Bukittinggi.
Pada waktu itu Kota Bukittinggi belum diduduki Belanda, hanya baru Kota Padang saja yang dapat diduduki pada waktu Belanda melakukan Agresi Militernya yang pertamadi tahun 1947. Pertahanan tentara kita saat itu berada di Kayutanam dekat Kota Padang Panjang.
Setelah diterima telegram itu maka di hari itu juga Mr. Syafrudin Prawiranegara membentuk PDRI dan sekaligus menyusun Kabinetnya hanya dengan 7 personil saja. Dalam Kabinet ini Ketuanya adalah Mr. Syafrudin sendiri dan sekaligus juga menjadi Presiden ad interim (untuk sementara) PDRI.
Jadi, Pemerintah Republik Indonesia (RI) tidak vakum, roda pemerintahan jalan terus walau dalam keadaan darurat. Semua Menteri berada di Sumatera, kecuali Mr. A.A. Maramis selaku Menteri Luar Negeri, yang berada di Luar Negeri, di India.
Mengapa para Pemimpin Negara kita rela ditangkap Belanda dan diasingkan ke Menumbin, Muntok -Pulau Bangka? Tiada lain hal itu merupakan suatu diplomasi internasional, suatu strategi untuk memaksa reaksi dunia mendesak Belanda agar segera kembali ke status quo dan memulangkan para Pemimpin Negara kembali ke Yogyakarta. Memang, strategi itu tepat dan berhasil.
Setelah Yogyakarta diduduki Belanda dan para Pemimpin Negara diasingkan ke P. Bangka maka Pemerintah RI vakum di Jawa. Kekosongan ini segera diisi dengan dibentuknya Pemerintahan Militer pada tanggal 22 Desember 1948 oleh Kolonel Abdul Haris Nasution, yang pada waktu itu beliau menjadi Panglima Tentara dan Teritorium Jawa, tiga hari sesudah PDRI terbentuk.
Berarti disini ada dua Pemerintahan, yang satu Pemerintahan Sipil di Sumatera dan yang satu lagi Pemerintahan Militer di Jawa tanpa ada susunan Kabinetnya dan siapa Kepala Negaranya. Didalam pemerintahannya juga terdapat perbedaan dari yang ada di Sumatera.
Oleh karena Kabinet PDRI itu disebut pula Kabinet Darurat Perang maka hampir seluruh pejabat sipilnya dimiliterkan. Berbeda dengan di Jawa, banyak dikalangan militer yang disipilkan karena pemerintahan sipil dianggap sudah vakum. Sifatnya pemerintahan militer yang ada di Jawa hanya mengisi jabatan-jabatan sipil yang kosong belaka.
Namun, Pulau Jawa mengalami double pemerintahan militer. Di daerah-daerah pendudukan Belanda, rakyat disitu dibawah kekuasaan pemerintahan militer Belanda dan bagi daerah-daerah yang masih dikuasai RI, rakyat seluruhnya total dibawah pemerintahan militer tentara kita.
Memang, tidak lama tetapi suasananya pada masa itu mencengkam sekali karena benar-benar dalam suasana perang yang setiap saat bisa saja terjadi kontak senjata dimana-mana. Ingat saja Serangan 1 Maret 1949 yang menyerbu dan menduduki Kota Yogyakarta selama enam jam yang dipimpin Letkol. Soeharto.
Serangan 1 Maret 1949 itu dapat juga dianggap sebagai diplomasi internasional untuk menunjukkan kepada dunia bahwa RI masih eksis. Tidak benar seperti apa yang dikatakan Belanda bahwa RI sudah mati, sudah terkubur sehingga di dalam kancah internasional RI tidak mungkin lagi berkiprah.