Mohon tunggu...
Noer Wahid
Noer Wahid Mohon Tunggu... Penulis lepas di usia senja - Wakil Ketua Persatuan Perintis Kemerdekaan Indonesia Cabang Sumut - Ketua Lembaga Pusaka Bangsa -

Seorang sepuh yang menikmati usia senja dengan aksara. E-mail ; nurwahid1940@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Kami yang Bergerilya di Tapanuli Selatan [Bagian Ketiga-Tamat]

30 November 2017   00:21 Diperbarui: 1 Desember 2017   22:18 1821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Disini terletak Kampung Siarop. Kampung itu sekarang sudah tidak ada lagi karena penghuninya sudah lama pindah ke tempat lain. (dok. pribadi)

Kalau saya sudah tahu teori Darwin ini mungkin saya panjat pohon-pohon kayu itu untuk berjumpa dengan mereka. Sekurang-kurangnya "bersilaturrahmilah". Kan, tak ada salahnya ! Mereka juga makhluk Tuhan yang kebetulan tak punya bahasa resmi seperti kita. Tapi, jiwanya masih luhur dan patuh pada atasannya.

Di komunitas monyet itu ada seekor monyet yang dinobatkan sebagai  "The King of Monkey", si Raja Monyet. Waktu penobatannya saya tak hadir karena tak diundang oleh mareka. (HP-nya rusak barangkali -Hehehe....)

Si Raja Monyet tadi tegak berdiri di sebuah pohon yang besar lalu, mengambil dahan kayu yang agak besar yang sudah tersedia di situ dan kemudian memukulkannya ke batang kayu yang kebetulan berlubang ditengahnya. Berulang-ulang dia memukul batang kayu yang berlubang itu sehingga terdengar suara seperti kentongan.

Keras pula suaranya sampai terdengar ke rumah Mang Saliman. Dan apa yang terjadi sesudah itu? Suara monyet-monyet yang tadinya ribut tiba-tiba saja senyap tak terdengar lagi. Tandanya mereka harus tidur semuanya, tak boleh lagi ada yang bersuara. Hari sudah malam, silahkan saja bermimpi yang indah.  

Di pohon-pohon inilah markas monyet-monyet Siarop itu bermukim. Terletak di seberang Kampung Siarop. (dok. pribadi)
Di pohon-pohon inilah markas monyet-monyet Siarop itu bermukim. Terletak di seberang Kampung Siarop. (dok. pribadi)
Besok paginya sebelum matahari terbit si Raja Monyet itu memukul kentongan lagi dan bangunlah rakyat monyet itu semuanya. Suara mereka ribut lagi, tandanya mereka harus siap-siap kembali ke hutan mengikuti rajanya mencari makan.

Kalau sore hari si Raja Monyet itu memukul kentong tandanya hari sudah jam 6.00 sore dan kalau pagi memukul kentong menunjukkan hari sudah jam 6.00 pagi. Yang membuat saya bingung, kok kira-kira bisa tepat waktunya ketika si Raja Monyet itu  memukul kentong.

Saya sendiri tidak tahu apa rahasianya. Dimana dahulu si Raja Monyet itu sekolah sampai bisa begitu tepat saatnya sewaktu memukul kentong. Monyet saja bisa disiplin, kenapa manusia tidak bisa. Kita saja sewaktu berjanji selalu molor, tak pernah tepat waktu. Lalu, rakyat monyet itu patuh sekali kepada pimpinannya tetapi kita banyak yang membangkang pada atasan. Bingung juga saya !  

Kalau begitu saya anjurkan kepada Anda semua, terutama yang mengaku dirinya sebagai wakil dan pemimpin rakyat, belajarlah berorganisasi pada monyet-monyet itu agar lembaga yang Anda pimpin itu berjalan lancar.   Bukan berjalan seperti monyet, berjalan lancarlah sesuai peraturan yang ada. 

Hikmah yang bisa kami petik dari monyet-monyet itu ialah ketika datangnya bulan puasa Ramadhan. Untuk sahur bisalah bangun sembarangan waktu dimalam hari tetapi untuk buka puasa, itulah yang agak sulit karena kami tak punya jam untuk melihat waktu.

Untunglah ada monyet-monyet itu, ketika sore hari si Raja Monyet itu memukul kentong berarti hari sudah jam 6.00 sore. Kita lewatkan waktu beberapa saat barulah disitu kita berbuka puasa. Begitulah kami berpuasa sebulan lamanya dan selalu berpedoman pada kentongan si Raja Monyet itu untuk berbuka puasa.

Semoga saja pahala kami yang berpuasa itu sebahagian mungkin bisalah diberikan kepada monyet-monyet tadi yang telah berjasa menolong kami dalam berbuka puasa. Tuhan pasti tahu akan hal itu dan Dia Maha Adil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun