(sambungan terdahulu)
Mencari "dukun beranak".
Setelah beristirahat sepuluh hari di Kampung Aek Pisang perjalanan dilanjutkan lagi menuju Kampung Sibio-bio yang terletak di sebelah barat dan tidak terlalu jauh dari Kampung Aek Pisang. Masih jalan setapak tetapi jalannya mendatar.
Meskipun demikian untuk sampai ke Kampung Sibio-bio itu terpaksa ditempuh juga perjalanan hampir lima jam lamanya. Bagi lelaki dewasa tiga jam sudah sampai. Wajar ! Dalam rombongan ada anak-anak dan wanita hamil. Â
Di Kampung Sibio-bio ini kami diberi tempat tinggal di sebuah rumah kosong dan berdampingan dengan Surau atau Musholla. Dari informasi yang diberikan oleh Kepala Kampung bahwa di Sibio-bio ini tidak ada lagi "dukun beranak", apalagi seorang bidan padahal, kampung ini cukup besar dan penduduknya banyak.
Terpancar lagi di wajah ayah saya rasa kecewa tetapi bagaimana lagi mau dibuat kalau yang diharapkan itu memang tidak ada. Meskipun demikian kami tetap saja bertahan di kampung ini beberapa hari lamanya sambil menunggu kalau masih ada harapan untuk mendapatkan informasi tentang seorang "dukun beranak".
Terlintas juga di dalam pikiran untuk melanjutkan perjalanan lagi menuju Kampung Sipangimbar, yang berada di Kecamatan Sipirok Dolok Hole, yang sudah dekat ke Kota Sipirok yang masih dikuasai tentara kita dibawah pimpinan Mayor Bejo.
Tetapi, sepertinya ibu saya sudah tidak kuat lagi berjalan kaki dan tanda-tanda akan melahirkan sudah nampak sehingga niat tersebut terpaksa dibatalkan. Akankah terulang lagi melahirkan tanpa bantuan "dukun beranak" seperti yang dialami isteri dari staff ayah saya dahulu?Â
Pertolongan itu datang juga.
Akhirnya pertolongan Allah Yang Maha Kuasa datang juga. Ada serombongan tentara kita yang datang dari Padang Matinggi dan langsung ke Kota Sipirok lewat Sipangimbar untuk bergabung dengan Mayor Bejo di sana, karena mereka ini adalah anak buahnya Mayor Bejo.
Dua hari lamanya mereka istirahat di Kampung Sibio-bio karena merasa lelah setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh. Kebetulan dan sangat kebetulan sekali dalam rombongan tentara ini terdapat seorang perawat perempuan yang ikut bertugas dalam rombongan tentara ini sebagai perawat medis. Sayang sekali nama si perawat itu tidak saya ingat lagi.
Setelah melihat keadaan ibu saya seperti itu si perawat tadi langsung meminta izin kepada komandannya untuk tinggal di Sibio-bio beberapa hari lagi untuk menolong ibu saya.
Permintaannya itu dikabulkan karena komandan mereka pun sempat juga melihat ibu saya yang lagi mengandung itu yang sudah dekat waktunya akan melahirkan. Kemudian rombongan tentara ini melanjutkan perjalanannya setelah sebelumnya meninggalkan dua tentara untuk menemani si perawat tersebut dalam menyusul rombongan ke Sipirok.
Ibu saya melahirkan. Â
Memang, benarlah ! Sesudah dua hari dia memperpanjang waktunya di Kampung Sibio-bio itu apa yang dinanti-nantikan akhirnya tiba juga. Ibu kandung saya melahirkan seorang bayi perempuan tepat tengah hari, di hari Kamis pada bulan Maret 1949 berkat pertolongan si perawat tersebut.
Semua alat yang digunakan untuk persalinan itu sederhana sekali, tidak lengkap dan jauh dari persyaratan medis. Namun, berkat pertolongan Tuhan semua yang dikhawatirkan itu akhirnya terhindar juga. Hanya seorang perawat tetapi pada saat itu berhasil juga dia bertindak sebagai seorang bidan. Luar biasa ! Â
Ayah saya sendiri kebetulan pada waktu itu tidak berada ditempat. Pada waktu adik saya itu lahir saya sendiri pun tidak pula ada di tempat, lagi pergi ke hutan menemani Bang Ismet, staff ayah saya, mencari sayur-sayuran dengan membawa seekor kuda beban.
Sesampai di hutan kuda beban tadi tidak mau jalan, ditarik-tarik dia tetap mogok. Tak biasanya seperti itu, mengapa dia begitu. Akhirnya diambil keputusan pulang saja ke rumah, tak jadi mencari sayur-sayuran. Rupanya kuda itu mogok jalan yang mungkin sebagai "sinyal" pemberitahuan bahwa ibu saya sudah melahirkan. ( Instink hewan !)Â Â
Alangkah gembiranya hati saya melihat ibu saya sudah melahirkan dan adik saya yang baru lahir itu saya dekati untuk melihat bagaimana wajahnya. Saya cium pipi kiri dan pipi kanannya menunjukkan begitu sayangnya saya kepada adik saya itu.
Tetapi, sekarang ini setelah dia dewasa dan sudah punya anak pula malah dia menjadi warga negara Belanda dan bermukim di Deventer, Belanda. Sungguh tak disangka, dahulu dia lahir selagi kita bergerilya dikejar-kejar Belanda tetapi sekarang ini dia sendiri malah tinggal di Negeri Belanda. (Busyet !)
Bertolak kembali ke Aek Pisang.
Setelah menetap dua puluh hari lagi di Kampung Sibio-bio barulah kami menarik diri meninggalkan Kampung Sibio-bio itu untuk selama-lamanya. Kami kembali lagi ke Kampung Aek Pisang dan menetap di sana lebih lama lagi untuk memulihkan  kondisi badan ibu saya dan mencukupkan umur adik saya itu sampai tiga bulan.
Selama di Aek Pisang itu perasaan kami cukup tenang. Mungkin dikarenakan apa yang selama ini merisaukan hati sudah terlewati ditambah pula dengan suasana di kampung itu yang begitu tenang dengan panorama alamnya yang begitu indah, semuanya itu mendukung sekali selama beristirahat di kampung itu. Â
Berburu burung puyuh itu cukup dengan menggunakan jeratan, tidak memakai panah atau katapel. Di dekat jeratan tadi ditambatkan pula seekor burung puyuh lain untuk memancing burung puyuh yang mau diburu. Sehari terkadang kita bisa mendapatkan dua-tiga ekor, lumayan untuk digulai atau dipanggang.
Menggoreng ikan dan daging hampir tak pernah dilakukan karena minyak makan tidak ada di sana. Mendapatkan minyak makan haruslah buat sendiri dari kelapa.
Meninggalkan Kampung Aek Pisang.
Setelah cukup umur tiga bulan adik saya barulah kami meninggalkan Kampung Aek Pisang tersebut dan rencana akan kembali ke Kampung Sunut. Pastilah sudah dalam perjalanan akan melewati lagi Gunung Siatubang itu tetapi kali ini tidak lagi mendaki melainkan menurun.
Meskipun menurun tetap saja kita harus hati-hati karena dengan jalan menurun itu biasanya mudah terpeleset. Kalau terpeleset di tempat masih mendingan tetapi kalau sempat meluncur sampai ke tepi jurang risikonya fatal.Â
Ibu saya yang lagi menggendong bayi itu terpaksa dituntun juga jalannya jangan sampai dia jatuh terpeleset. Dengan jalan menurun itu waktu tempuh menjadi lebih singkat lagi dibandingkan waktu mendaki.
Setelah sampai di Kampung Gunting Bange kami sudah merasa lega dan setelah melepaskan lelah sebentar, perjalanan dilanjutkan lagi ke Kampung Sipahonek yang jaraknya tidak terlalu jauh. Akan tetapi di kampung ini terpaksa bermalam sebab, hari sudah senja.
Sepanjang perjalanan dari Aek Pisang ke Sipahonek boleh dikatakan si bayi itu menyusu hanya beberapa kali saja. Kebanyakan dia tidur dalam gendongan ibu saya, sekali-sekali digendong oleh kakak saya. Tuahnya perjalanan, begitulah !
Keesokan harinya diambil keputusan menuju Kampung Siarop, yang juga tidak jauh dari situ karena didapat kabar rumah yang ada di Kampung Sunut tempat kami tinggal dahulu sudah dihuni kembali oleh yang empunya.
Sebenarnya Kampung Sipahonek dan Kampung Siarop itu berada di tepi Sei. Bilah juga dan ke dua kampung itu berseberangan dengan Kampung Sunut. Tiga kampung ini berdekatan letaknya jadi, masih mudah dicapai dalam waktu singkat.Â
Rumah tempat yang kami tunggui itu cukup menyeramkan juga karena di tempat itu terdapat jalur pelintasan harimau, terlebih di malam hari. Asal sudah masuk waktu senja kami semua harus berada di dalam rumah, tidak boleh lagi main-main di luar.
Di rumah itu Mang Saliman, orang kita Jawa yang menetap di kampung itu sudah lama menyuruh kami sekeluarga tinggal di rumahnya. Kebetulan rumahnya besar dan dia berdua saja dengan isterinya di rumah itu.
Lega juga hati kami melihat kemurahan hati beliau mengajak tinggal bersama dia di rumahnya itu. Dalam kehidupannya sehari-hari dia berladang saja. Mulai dari ubi kayu, ubi jalar, kacang kedele, jagung, padi gogo (huma), itulah tanaman yang ditanam di ladangnya itu.
Rumah Mang Saliman terletak tidak jauh dari tepi Sei. Bilah dan bila kita ingin menyeberang, dari tempat inilah kita naik perahu. Di seberang sungai terletak jalan setapak yang menghubungkan Kampung Sunut dengan Padang Matinggi, pusat pertahanan gerilyawan kita.
Jalan setapak itu persis berada di bawah pohon-pohon besar sebagai markasnya monyet-monyet yang jumlahnya cukup banyak. Kita tidak tahu berapa populasinya karena tak pernah ada sensus.
Belajar dari monyet.
Apa keistimewaan monyet-monyet itu sampai perlu diceritakan di sini? Memang, ada keistimewaannya dan ini merupakan satu keunikan tersendiri. Siang hari mereka tidak ada di markasnya, semuanya pergi ke hutan yang ada dibelakangnya. Cari mamamlah !
Setelah sore hari barulah mereka itu pulang dan setelah kumpul semuanya bukan main pula ributnya. Entah apa yang dibicarakannya kita tak tahu. Waktu itu saya belum tahu, teori Charles Darwin mengatakan, bahwa manusia itu berasal dari monyet.
Kalau saya sudah tahu teori Darwin ini mungkin saya panjat pohon-pohon kayu itu untuk berjumpa dengan mereka. Sekurang-kurangnya "bersilaturrahmilah". Kan, tak ada salahnya ! Mereka juga makhluk Tuhan yang kebetulan tak punya bahasa resmi seperti kita. Tapi, jiwanya masih luhur dan patuh pada atasannya.
Di komunitas monyet itu ada seekor monyet yang dinobatkan sebagai  "The King of Monkey", si Raja Monyet. Waktu penobatannya saya tak hadir karena tak diundang oleh mareka. (HP-nya rusak barangkali -Hehehe....)
Si Raja Monyet tadi tegak berdiri di sebuah pohon yang besar lalu, mengambil dahan kayu yang agak besar yang sudah tersedia di situ dan kemudian memukulkannya ke batang kayu yang kebetulan berlubang ditengahnya. Berulang-ulang dia memukul batang kayu yang berlubang itu sehingga terdengar suara seperti kentongan.
Keras pula suaranya sampai terdengar ke rumah Mang Saliman. Dan apa yang terjadi sesudah itu? Suara monyet-monyet yang tadinya ribut tiba-tiba saja senyap tak terdengar lagi. Tandanya mereka harus tidur semuanya, tak boleh lagi ada yang bersuara. Hari sudah malam, silahkan saja bermimpi yang indah. Â
Kalau sore hari si Raja Monyet itu memukul kentong tandanya hari sudah jam 6.00 sore dan kalau pagi memukul kentong menunjukkan hari sudah jam 6.00 pagi. Yang membuat saya bingung, kok kira-kira bisa tepat waktunya ketika si Raja Monyet itu  memukul kentong.
Saya sendiri tidak tahu apa rahasianya. Dimana dahulu si Raja Monyet itu sekolah sampai bisa begitu tepat saatnya sewaktu memukul kentong. Monyet saja bisa disiplin, kenapa manusia tidak bisa. Kita saja sewaktu berjanji selalu molor, tak pernah tepat waktu. Lalu, rakyat monyet itu patuh sekali kepada pimpinannya tetapi kita banyak yang membangkang pada atasan. Bingung juga saya ! Â
Kalau begitu saya anjurkan kepada Anda semua, terutama yang mengaku dirinya sebagai wakil dan pemimpin rakyat, belajarlah berorganisasi pada monyet-monyet itu agar lembaga yang Anda pimpin itu berjalan lancar.  Bukan berjalan seperti monyet, berjalan lancarlah sesuai peraturan yang ada.Â
Hikmah yang bisa kami petik dari monyet-monyet itu ialah ketika datangnya bulan puasa Ramadhan. Untuk sahur bisalah bangun sembarangan waktu dimalam hari tetapi untuk buka puasa, itulah yang agak sulit karena kami tak punya jam untuk melihat waktu.
Untunglah ada monyet-monyet itu, ketika sore hari si Raja Monyet itu memukul kentong berarti hari sudah jam 6.00 sore. Kita lewatkan waktu beberapa saat barulah disitu kita berbuka puasa. Begitulah kami berpuasa sebulan lamanya dan selalu berpedoman pada kentongan si Raja Monyet itu untuk berbuka puasa.
Semoga saja pahala kami yang berpuasa itu sebahagian mungkin bisalah diberikan kepada monyet-monyet tadi yang telah berjasa menolong kami dalam berbuka puasa. Tuhan pasti tahu akan hal itu dan Dia Maha Adil.
Penutup.
Itulah sekelumit pengalaman kami di Kampung Siarop selama kami tinggal di sana hampir dua bulan lamanya. Setelah meninggalkan Kampung Siarop yang penuh kesan dan kenangan itu kami sekeluarga menetap pula di Padang Matinggi untuk beberapa waktu lamanya sebelum kembali ke Kota Rantau Perapat. Â
Setelah meninggalkan Kampung Siarop saya tidak bisa melupakan teman-teman saya disana "Monyet Siarop" karena dari mereka itu saya banyak belajar. Sampai kini monyet-monyet itu masih ada, entah sudah berganti generasi yang ke berapa, saya sendiri kurang tahu. "Salute for monkeys !" Â
Tidak ada sama sekali niat saya untuk mendapatkan apresiasi penghargaan yang setinggi-tingginya dari para pembaca dan tidak pula saya ini primordialisme dengan menceritakan pengalaman saya selama bergerilya di hutan belantara Hulu Sungai Bilah pada tahun 1949 itu.
Semata-mata hanyalah ingin melengkapi sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam menegakkan dan mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia yang sudah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Khazanah perjuangan ini masih banyak lagi tetapi tak mungkin untuk diceritakan di sini mengingat ruangannya sudah tidak ada lagi. Kisah Gerilya 1949 ini saja sudah mengambil tempat sampai tiga seri.
Hanya yang perlu saya tekankan, di sini ada perbedaan antara Gerilya dan Perang Gerilya. Kalau Gerilya, seperti yang diungkapkan dalam naskah ini, semata-mata gerilyanya orang-orang pemerintahan sipil yang setia kepada Republik Indonesia.Â
Sementara Perang Gerilya itu adalah perang sewaktu bergerilya melawan tentara Belanda yang dilakukan oleh laskar/tentara kita yang memang sering terjadi kontak senjata dengan tentara Belanda. Pertempuran-pertempuran terjadi tetapi belum bisa saya ceritakan di sini. Lain kali saja ! Terima kasih banyak atas perhatiannya membaca tulisan saya ini.***
Â
Wassalam.
Noerwahid
Notebook ; semua foto-foto dokumentasi diambil tahun 1995 saat saya kembali Napak Tilas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H