Setelah melihat keadaan ibu saya seperti itu si perawat tadi langsung meminta izin kepada komandannya untuk tinggal di Sibio-bio beberapa hari lagi untuk menolong ibu saya.
Permintaannya itu dikabulkan karena komandan mereka pun sempat juga melihat ibu saya yang lagi mengandung itu yang sudah dekat waktunya akan melahirkan. Kemudian rombongan tentara ini melanjutkan perjalanannya setelah sebelumnya meninggalkan dua tentara untuk menemani si perawat tersebut dalam menyusul rombongan ke Sipirok.
Ibu saya melahirkan. Â
Memang, benarlah ! Sesudah dua hari dia memperpanjang waktunya di Kampung Sibio-bio itu apa yang dinanti-nantikan akhirnya tiba juga. Ibu kandung saya melahirkan seorang bayi perempuan tepat tengah hari, di hari Kamis pada bulan Maret 1949 berkat pertolongan si perawat tersebut.
Semua alat yang digunakan untuk persalinan itu sederhana sekali, tidak lengkap dan jauh dari persyaratan medis. Namun, berkat pertolongan Tuhan semua yang dikhawatirkan itu akhirnya terhindar juga. Hanya seorang perawat tetapi pada saat itu berhasil juga dia bertindak sebagai seorang bidan. Luar biasa ! Â
Ayah saya sendiri kebetulan pada waktu itu tidak berada ditempat. Pada waktu adik saya itu lahir saya sendiri pun tidak pula ada di tempat, lagi pergi ke hutan menemani Bang Ismet, staff ayah saya, mencari sayur-sayuran dengan membawa seekor kuda beban.
Sesampai di hutan kuda beban tadi tidak mau jalan, ditarik-tarik dia tetap mogok. Tak biasanya seperti itu, mengapa dia begitu. Akhirnya diambil keputusan pulang saja ke rumah, tak jadi mencari sayur-sayuran. Rupanya kuda itu mogok jalan yang mungkin sebagai "sinyal" pemberitahuan bahwa ibu saya sudah melahirkan. ( Instink hewan !)Â Â
Alangkah gembiranya hati saya melihat ibu saya sudah melahirkan dan adik saya yang baru lahir itu saya dekati untuk melihat bagaimana wajahnya. Saya cium pipi kiri dan pipi kanannya menunjukkan begitu sayangnya saya kepada adik saya itu.
Tetapi, sekarang ini setelah dia dewasa dan sudah punya anak pula malah dia menjadi warga negara Belanda dan bermukim di Deventer, Belanda. Sungguh tak disangka, dahulu dia lahir selagi kita bergerilya dikejar-kejar Belanda tetapi sekarang ini dia sendiri malah tinggal di Negeri Belanda. (Busyet !)
Bertolak kembali ke Aek Pisang.
Setelah menetap dua puluh hari lagi di Kampung Sibio-bio barulah kami menarik diri meninggalkan Kampung Sibio-bio itu untuk selama-lamanya. Kami kembali lagi ke Kampung Aek Pisang dan menetap di sana lebih lama lagi untuk memulihkan  kondisi badan ibu saya dan mencukupkan umur adik saya itu sampai tiga bulan.