Mohon tunggu...
Noer Wahid
Noer Wahid Mohon Tunggu... Penulis lepas di usia senja - Wakil Ketua Persatuan Perintis Kemerdekaan Indonesia Cabang Sumut - Ketua Lembaga Pusaka Bangsa -

Seorang sepuh yang menikmati usia senja dengan aksara. E-mail ; nurwahid1940@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rumusan Tri Sakti Soekarno Di Dalam Pancasila

22 Oktober 2017   23:56 Diperbarui: 23 Oktober 2017   00:42 7149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (nusantara.news)

Semenjak zaman Orde Baru (Orba) Trisakti ajaran Soekarno memang sudah dilupakan. Kini tinggal namanya saja lagi, apa isinya sudah tidak diingat lagi. Biarlah Trisakti itu terkubur dalam sejarah, tak perlu diungkit-ungkit kembali.

Yang seperti itulah yang disenangi oleh kaum neo kapitalisme bersama semua koleganya. Kesenangan itu berbuah hasil, sedikit demi sedikit dikuraslah kekayaan alam Indonesia dan rakyat harus puas jadi penonton. Bukan kebodohan rakyat, kekuasaanlah yang membuatnya begitu.

Kekuasaan Orba yang ambivalen sampai kepada kekuasaan Orde Reformasi yang selalu cenderung kehilangan format, semuanya melupakan bahwa rumusan dari Trisakti ajaran Soekarno itu ada didalam Pancasila. Sekilas orang tak percaya karena selama ini tak pernah menggalinya.

Kalau Anda tak percaya, mulailah kita menggalinya sekarang ini. Trisakti ajaran Soekarno itu hanya terdiri dari tiga butir kalimat sakti yang disampaikan Soekarno beberapa puluh tahun yang lalu.

Kalimat sakti pertama berbunyi "Berdaulat dibidang politik". Kalimat sakti kedua berbunyi "Berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari)" adalah kalimat sakti sebagai prinsip dalam ekonomi. Kalimat sakti ketiga berbunyi "Berkepribadian dibidang  kebudayaan". Masa kini ketiga kalimat sakti itu tidak ampuh lagi.

Sekilas disana tidak terlihat unsur-unsur Pancasila ada didalamnya. Atau dengan kata lain, selama ini tidak pernah terbayang bahwa kalimat-kalimat sakti itu masih dapat dirumuskan dari sila-sila Pancasila.

Sepintas orang tak percaya, memang orang tak mau percaya, karena otaknya tak sanggup percaya akan hal-hal seperti itu. Orang lebih cenderung percaya pada dollar atau petro dollar ketimbang advis dan advertensi ideologis. Selama ini statistik kekayaan lebih diminati ketimbang statistik etika berideologi.

Kalau ditanya, semua orang tahu bahwa Pancasila itu terdiri dari lima sila tetapi kalau ditanya bagaimana bunyi kalimat dari sila-sila itu maka disana ditemukanlah suatu panorama warga negara yang tidak konsekuen dengan ideologinya sendiri. Disamping salah baca, banyak pula yang tidak hafal.

Etika berideologi lemah sekali dan begitulah dengan masyarakat kita sekarang ini. Lebih rajin megang HP, nonton sinetron, dangdutan, mengunggah emosidi internet (media sosial), ketimbang merenungkan Pancasila itu barang satu menit.

Kalau sudah begitu, bagaimana rakyat mau maju. Kemajuan itu seimbang antara kemajuan materi dan kemajuan spiritual. Begitulah yang diajarkan dan yang dituntut oleh Pancasila.

Dahulu sewaktu Bung Karno menyampaikan pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 didepan sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) antara lain beliau berkata :

"Atau, barangkali ada Saudara-saudara yang tidak suka bilangan lima itu ?  Saya boleh peras sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah "perasan" yang tiga itu ?  Berpuluh-puluh tahun  sudah  saya pikirkan  dia,  ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita".

Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme -- kebangsaan dan perikemanusiaan, saya peras menjadi satu : itulah yang dahulu saya namakan sosio nasionalisme.

Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tetapi politiek economische democratie--yaitu politiek democratie dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan --saya peraskan pula menjadi satu : inilah yang dulu saya namakan sosio demokrasi.

Dari petikan pidato Bung Karno itulah kita mulai berangkat untuk merumuskan ketiga kalimat sakti Trisakti tersebut. Namun, sebelumnya kita ingin membuat rumusan singkat lebih dahulu tentang perasan-perasan sila-sila tersebut untuk memudahkan para pembaca dalam memahaminya.

Tentu disini kita merujuk kepada sila-sila yang ada didalam Pancasila sehingga kita bisa mendapatkan rumusan sosio nasionalisme dan sosio demokrasi itu secara jelas seperti berikut :

                                                               

Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab  +  Persatuan Indonesia   ===>  Sosio Nasionalisme

Kerakyatan Yang Di Pimpin  Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan /Perwakilan  +  Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia ===> Sosio Demokrasi

Perkataan sosio itu sendiri maksudnya adalah "pergaulan hidup masyarakat". Jadi, sosio nasionalisme adalah pergaulan hidup masyarakat dalam berbangsaa tau berkebangsaan. Kemudian, sosio demokrasi maksudnya adalah pergaulan hidup masyarakat dalam demokrasi atau dalam berdemokrasi.  

Semua perkataan sosio yang terdapat pada kedua substansi  itu, sosio demokrasi dan sosio nasionalisme, mendorong kita lebih sensitif lagi dalam menghadapi dan menangani masalah bangsa. Sebab, didalam dua substansiitu merangkul serta merangkum dua sila dari Pancasila.

Tinggal satu sila lagi yang tidak ikut didalam kedua substansi tadi yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila ini berdiri sendiri, tetapi bukan berarti diasingkan. Justeru tidak ikutnya sila ini didalam kedua substansi  tersebut telah memberi nafas religius yang sangat kuat sekali kepada sosio nasionalisme dan sosio demokrasi.

Pasti ada saja yang tidak percaya pada thesis tersebut karena menganggap saya, selaku penulis risalah ini, mengada-ngada dengan tuduhan untuk menakut-nakuti. Kalau memang begitu anggapan dari sebagian kalangan masyarakat berarti kita sudah jauh sekali meninggalkan Pancasila. Tanggung sajalah konsekuensinya!

Masih belum percaya juga dengan thesis tersebut, baiklah !   Kita lanjutkan saja tulisan ini untuk membukakan mata hati para pembaca semuanya karena disini saya, selaku penulis, hanya meminta kejujuran saja yang datang dari lubuk hati yang paling dalam, yaitu pengakuan sekalipun tidak mau menanggung persoalan sebagai beban pribadi yang tidak siap.

Kendatipun Soekarno telah memberikan alternatif lain, pilihan lain untuk ideologi Negara yaitu Trisila yang kemudian dirinci sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa, sosio nasionalisme dan sosio demokrasi  namun, Soekarno masih memberikan Trisakti sebagai kunci atas Trisila tersebut.

Bagaimana hubungan antara Trisakti itu dengan Trisila atau Pancasila tersebut mari kita ikuti bagan rumusan dibawah ini :     

Sosio Nasionalisme   +   Sila Ke-4 Pancasila  =  Berdaulat Di Bidang Politik

Sosio Nasionalisme   +   Sila Ke-5 Pancasila  =  Berdikari

Sosio Nasionalisme  ===================>   Berkepribadian Di Bidang Kebudayaan

Dari bagan rumusan diatas secara gamblang dapat kita pahami apa itu Trisakti dengan segala kalimat saktinya itu. Berdaulat dibidang politik, kalimat sakti yang pertama, datang dari perpaduan antara sosio nasionalisme dengan sila ke-4 Pancasila yaitu Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

Begitu pula dengan kalimat sakti yang kedua, BERDIKARI, datang dari perpaduan antara sosio nasionalisme dengan sila ke-5 Pancasila yaitu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Namun, untuk kalimat sakti ketiga, Berkepribadian dibidang kebudayaan, tidak ada sila lainnya dari Pancasila yang bisa dipadukan dengan sosio nasionalisme karena sudah diambil untuk meramu dua kalimat sakti terdahulu. Kalimat sakti yang ke tiga ini langsung sosio nasionalisme itulah sumber rujukannya.

Mungkin ada keraguan, mengapa Berdaulat dibidang politik dan BERDIKARI itu tidak dijabarkan saja langsung dari sila-sila yang ada didalam Pancasila seperti berikut :

Sila ke-2  +  Sila ke-3  +  Sila ke-4   =    Berdaulat dibidang politik

Sila ke-2  +  Sila ke-3  +  Sila ke-5   =    Berdikari 

Mengapa kita harus melalui sosio nasionalisme lebih dahulu baru ditemukan kemudian rumusan dua kalimat sakti tersebut. Dipersilahkan Anda mengkajinya !

Diatas kita baru menyentuh sosio nasionalisme lalu, bagaimana dengan yang satu lagi, yaitu sosio demokrasi. Apakah dengan sosio demokrasi itu tidak ada satupun produk yang bisa dihasilkannya?

Memang, ada !  Tetapi, rumusan produk yang dimaksud adalah suatu substansi yang cukup angstig (bhs. Belanda = menakutkan). Produknya itu Demokrasi Terpimpin, suatu sistem demokrasi yang paling dibenci oleh Soeharto pada masa Orde Baru (Orba) dahulu.

SOSIO DEMOKRASI  +  Sila ke-3 Pancasila     =   DEMOKRASI TERPIMPIN

SOSIO DEMOKRASI  +  Sila ke-2 Pancasila     =   SOSIAL DEMOKRATIS HUMANISME 

Memperhatikan rumusan diatas sepertinya kita tidak bisa mengelak dari pajangan Demokrasi Terpimpin tersebut karena memang ada didalam Pancasila dengan rumusan seperti yang sudah disampaikan diatas.

Mau tidak mau, sejarah akan menentukan, bahwa kita harus kembali pada sistem Demokrasi Terpimpin karena didalam sila ke-4 Pancasila itu ada kata-kata yang menyebutkan "dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan" yang memberikan suatu perangkat demokrasiyang sangat essensial sekali karena sudah menyangkut kepentingan rakyat Indonesia dalam rangka Persatuan Indonesia.

Boleh saja menolak Demokrasi Terpimpinitu tetapi dengan alasan yang kuat berdasarkan pandangan ilmiah namun, disini kalau referensinya diambil dari non-Pancasila sudah pasti pada ujungnya nanti tidak akan ada titik temunya.

Maka disini kita garis bawahi secara tegas bahwa Demokrasi Terpimpin itu tidak sejalan dengan Demokrasi Liberal yang kini dianut oleh semua para wakil rakyat yang duduk di lembaga-lembaga legislatif.

Mereka, baginda-baginda yang mulia itu, boleh saja membantah tetapi janganlah munafik kepada diri sendiri, apakah tidak sistem liberal yang kini dijalankan di rumah-rumah rakyat, lembaga-lembaga legislatif tersebut.

Janganlah berlindung dibalik lalang sehelai !  Akui saja, semenjak Orde Reformasi, apakah sudah pas sistem yang dipakai di dalam berdemokrasi sebagaimana yang dituntut oleh Pancasila.

Pertanyaan itu bukan buat Anda, baginda-baginda yang mulia saja, tetapi juga buat seluruh rakyat Indonesia untuk mengetuk hati nurani. Apakah tidak sebaiknya kita kembali saja kepada sistem Demokrasi Terpimpin.

Mengapa harus takut dengan sistem demokrasiitu, en toch, dengan demokrasi itu tidak akan melahirkan pemimpin yang diktator. Malah, Soeharto yang anti dengan Demokrasi Terpimpin tersebut dalam masa kekuasaannya telah menempatkan dirinya sebagai seorang diktator. Siapapun tidak bisa membantah akan hal ini.

Justeru Demokrasi Terpimpin yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan tidak akan melahirkan pemimpin-pemimpin keras kepala, pemimpin-pemimpin diktator, malah, akan melahirkan pemimpin-pemimpin berhati nurani. ***   

________________________________

Noer Wahid
Ketua Lembaga Pusaka Bangsa "PANCASILA"
Wakil Ketua Persatuan Perintis Kemerdekaan IndonesiaCabang Sumut

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun