Mohon tunggu...
Noer Wahid
Noer Wahid Mohon Tunggu... Penulis lepas di usia senja - Wakil Ketua Persatuan Perintis Kemerdekaan Indonesia Cabang Sumut - Ketua Lembaga Pusaka Bangsa -

Seorang sepuh yang menikmati usia senja dengan aksara. E-mail ; nurwahid1940@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seberapa Besar Perhatian Kita Pada Pancasila?

17 Oktober 2017   23:28 Diperbarui: 18 Oktober 2017   00:46 1210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (islamalternatif.com)

Jangankan perhatian, menyebut namanya saja hampir tak pernah terdengar. Begitulah sikap masyarakat kita terhadap Pancasila.Maka perlu dipahamkan, seberapa jauh masyarakat kita membuat jarak dengan Pancasila maka sejauh itu pula perhatiannya terhadap ideologitersebut.

Bagi yang tak ada kepeduliannya, tak masuk dalam rujukan tersebut. Kita dapat menempatkan yang antipada Pancasiladalam kategoriini. Barulah diluar itu diangkat dalam pembicaraan karena itulah yang menjadi sentuhan dalam topikini. Namun, tak ada perkiraan yang pasti, semuanya berdasarkan estimasi. 

Yang masih mempunyai kepedulian yang sangat tinggi sekarang ini tidak lebih hanya  disekitar 5 % saja lagi. Selebihnya memperlihatkan ratingkepedulian dalam skala yang rendah.   

Dengan data itu apakah Pancasila akan tenggelam, suatu pertanyaan yang sangat mengusik perhatian. Disitu terbayang, apa jadinya bagi bangsa ini kelak jika Pancasila tidak lagi menjadi way of life. Mampukah bangsa ini bertahan sebagai suatu bangsa yang merdeka di masa akan datang.

Kekhawatiran itu tentu berdasar tetapi entah dari mana kita melihatnya. Alih pandangan itulah kunci persoalannya. Bobot perhatian masyarakat lebih berat kearah paham materialismeketimbang kehidupan spiritualisme. Di segmen terakhir itulah Pancasila ditempatkan tetapi sepi dari sentuhan.  

Masih beruntung Pancasila masih tercatat dalam lambang Negara tetapi dalam kancah kehidupan sudah tersingkir sama sekali. Masyarakat tidak melihat lagi kajian konsumtifsehingga tidak berdampak jika Pancasilaitu dilupakan.

Pancasila dan paham materialismeberbeda dalam meminta perhatian, yang pertama itu menyita batiniah dan yang kedua itu menguras pikiran. Sekalipun berbeda tetapi tetap saja paham materialismeitu didekati karena disitu terdapat kepuasan nafsu, yang tidak ada sama sekali pada Pancasila.

Karena itulah paham materialisme telah mampu membuat masyarakat itu berjarak dengan Pancasila. Akhirnya masyarakat tak membutuhkan lagi Pancasila karena dianggap bukan ideologiyang menjanjikan. Akibatnya tak ada perhitungan laba ruginya lagi kalau Pancasilaitu sampai dilupakan. 

Dengan dasar itu sudah jelas bangsa ini menjadi bangsa yang rapuh, suatu bangsa yang dalam perjalanannya tidak lagi dituntun oleh pandangan hidupatau way of life. Nyasar sudah pasti tetapi tidak sebatas itu saja bahayanya.

Paham materialisme mendorong kelancaran kepuasan nafsu menggeluti kehidupan hedonisme. Yang belakangan ini masih dapat lagi berubah menjadi chaos life style, kehidupan a la koboidi alam modern materialismeatau istilah kerennya neo materialisme.

Sekarang saja gejala-gejala kearah hal itu sudah mulai terasa karena bakat brutalismeada pada bangsa kita. Protes tidak ada bagi yang tidak setuju dengan asumsiitu sebab, mereka hanya melihat dari kekinian. Padahal, karakteritu dapat berubah mengikuti perjalanan empirisbangsa.

Kecemasan boleh saja ada tetapi tanpa mencegah gejalanya sama saja menempatkan kita pada frustrasiberkepanjangan. Agar tidak demikian perhatian kita pada Pancasilaperlu dikentalkan pemahamannya.

Kalau seluruh bangsa ini sudah kental Pancasila-nya rasanya tak ada lagi persoalan denga perubahan karakteritu. Tetapi, kenyataannya tidaklah demikian, kedangkalan ideologibangsa ini telah menjadi satu ancamanbuat bangsa tersebut.

Untuk membawa bangsa ini ke jantungnya Pancasila rasanya tak mungkin sama sekali karena jantungnya bangsa ini sudah terlalu amat kotor. Karenanya harus ada perubahan yang merupakan deviasiagar nantinya tidak tersandung.

Lebih dahulu harus dibangun wawasan tentang Pancasilaitu karena disitu masih ada tempatnya sentuhan-sentuhan praktisdalam membangun penjajagan konspirasikejiwaan dari bangsa itu sendiri.

Pancasila tak pernah mengenal kutukan, yang ada hanyalah ajakan atau appeal.Sila yang pertama itulah yang melandasinya dan dari sana jugalah kita mulai berangkat. Tetapi, siapakah yang bisa memformulasikannyasehingga ketika diterapkan tak ada sentuhan-sentuhan lain yang stagnan.  

Ingatlah ! Ketuhanan Yang Maha Esaitu sila pertama yang berdiri sendiri dan semua sila yang lainnya "bersujud" kepadanya. Kebencian pada Pancasilaberarti kebencian pada Tuhan Yang Maha Esa. Antipada Pancasilasama saja antipada Tuhan Yang Maha Esa. Kafir hukumnya !

Membuat jarak dengan Pancasila sama saja membuat jarak dengan Tuhan Yang Maha Esa. Kalau sudah begitu munafikjatuhnya. Memang, Pancasila bukan agama, semi agama pun tidak, dan tidak pula kompromidengan agama.

Tetapi, dengan adanya Tuhan Yang Maha Esa didalam Pancasilaberarti merupakan terjemahandari agama dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Maka pada akhirnya ada missiagama didalam Pancasila sehingga menjadikan Pancasila itu sebuah ideologiyang sakral.

Terserah pada masyarakat, mau menerima atau menolak thesistersebut. Namun, kita tetap bertolak dari argumen-argumenyang ada didalam thesistadi untuk membuka wacana baru, apakah sebenarnya Pancasila itu.

Semua sepakat Pancasila adalah sebuah ideologi.Tetapi, ideologiyang ada didalam Pancasila itu baru sebatas dasar-dasarnyasaja, mulai dari sila yang pertama sampai dengan sila yang kelima. Ibaratnya sebuah tulisan hanya sekedar judulnya saja. Lebih kurang begitulah !

Meskipun demikian sila-sila yang dipersonifikasikansebagai judul-judul tersebut perlu diterjemahkan kedalam bentuk aksidan interpretasi yang kompilasinyamerupakan manifestasipenjabaran yang kongkrit untuk mendapatkan gambaran yang pasti tentang makna dari sila-sila itu.

Pada dasarnya semua sila-sila yang ada didalam Pancasila itu sasarannya adalah untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali. Tak ada satu sila pun dibuat secara khusus hanya untuk kepentingan satu golongan saja, artinya tidak ada monopolisatu pihak saja.

Kita mencoba berangkat dari sila yang paling tengah didalam Pancasila, yaitu sila ke-3 Persatuan Indonesiauntuk membenarkan pendapat itu.  

Dengan kata persatuansemua orang sudah tahu apa maknanya. Namun, untuk tema Persatuan Indonesia itu banyak orang menterjemahkannya sebagai perekatmempersatukan suku-suku bangsa yang ada di Indonesia ini.

Kalau sebatas itu pemahamannya rasanya tak perlu lagi dengan Pancasila, cukuplah sudah dengan NKRI(Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang dipakai sebagai dasar lalu, di-back uppula oleh Bhinneka Tunggal Ika (Berbeda-beda tetapi satu). Selesai !

Sila Persatuan Indonesiaitu bukan sekedar normatifsaja tetapi padanya terdapat pula interpretasiyang luas maknanya. Sila yang ke-3 ini adalah sila yang aktifdalam implementasinya, baik secara maknawi maupun secara aktualisasi.Karena disitulah seluruh kehidupan bangsa dikendalikan.   

Karena itu sila ke-3 ini pantas mendapat kedudukan ditengah-tengah dalam Pancasila. Sebab, dia akan menjaga keseimbangan ketika menterapkan sila-sila lainnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Karena itu pula sila ke-3 ini harus mempunyai ruhyang kuat agar tetap mapan, baik dalam posisinyasebagai penyeimbang maupun sebagai pengontrol.Ruh itu ialah kebangsaan atau nasionalisme.

Pertanyaannya sekarang, apakah kebangsaanitu sudah ada atau masih dalam tahap prosespembenahan, atau boleh jadi prosesitu sendiri mengalami stagnan.Jawabannya, diantara prosespembenahan dan stagnan. 

Mengapa bisa begitu ? Nasionalisme atau kebangsaankita masih dalam tahap prosespembenahan karena selama ini harga diri bangsakita sudah lama hilang sejak ditelan oleh penjajahan kolonialismeBelanda tempo dulu. Dimasa itulah hilangnya harga diri bangsaitu.  

Sebenarnya sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 harga diri bangsaitu sudah mulai dipulihkan tetapi sampai saat ini pemulihan tersebut stagnan, belum sepenuhnya berhasil. Penghambatnya ada pada diri bangsa itu sendiri karena membelakangi Pancasila sebagai ideologiyang arif. 

Kalaulah bangsa ini jiwanya terisi sepenuhnya dengan harga diri bangsaitu besar kemungkinan bangsa ini mempunyai ketahanan mentalyang kuat dan setiap perilakunya akan bisa menjadikan rujukan. Bangsa ini tidak akan keruh dalam kehidupannya karena semuanya dinetralisiroleh harga diri bangsayang sudah mapan itu serta tinggi kualitasnya.***

Noerwahid

Ketua Lembaga Pusaka Bangsa "PANCASILA"

Medan -- Sumatera Utara

           

                           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun