Andreas Harsono, seorang jurnalis kawakan Indonesia, memberikan pandangan yang mendalam mengenai jurnalisme sebagai fondasi dalam kehidupannya.
Dalam tulisannya, Harsono menyatakan bahwa jurnalisme bukan sekadar profesi, melainkan sesuatu yang sangat fundamental, menyerupai keyakinan spiritual.Â
"Agamaku adalah jurnalisme" adalah ungkapan yang merangkum keyakinannya akan nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kebebasan berekspresi, yang menjadi inti dari tugas seorang jurnalis.
Bagi Harsono, jurnalisme adalah perjalanan mencari kebenaran. Ia menekankan bahwa tugas utama seorang jurnalis adalah menyampaikan fakta yang objektif dan akurat.
Dalam masyarakat yang sering kali terpolarisasi oleh isu-isu politik, agama, dan ekonomi, jurnalis memiliki tanggung jawab besar untuk menghadirkan informasi yang tidak memihak.Â
Harsono percaya bahwa kebenaran adalah pondasi dari keadilan sosial, dan tugas jurnalis adalah untuk mengungkap kebenaran ini tanpa kompromi.
Dalam pandangannya, proses jurnalistik adalah seperti "ibadah" yang harus dilakukan dengan penuh integritas.
Seorang jurnalis harus berani mengambil risiko untuk membongkar ketidakadilan atau penyimpangan kekuasaan.
Hal ini menuntut keberanian moral dan komitmen yang tinggi, karena konsekuensi dari tugas ini bisa sangat besar, mulai dari ancaman fisik hingga tekanan politik.
Harsono menegaskan pentingnya etika dalam jurnalisme.
Baginya, prinsip-prinsip seperti independensi, akurasi, dan transparansi adalah nilai-nilai sakral yang harus dijunjung tinggi.
Tanpa etika, jurnalisme bisa berubah menjadi alat propaganda atau manipulasi, yang justru merusak tujuan utamanya.
Ia juga menyoroti bagaimana konflik kepentingan dapat merusak kredibilitas seorang jurnalis.
Menurut Harsono, seorang jurnalis tidak boleh terlibat dalam hubungan yang dapat memengaruhi objektivitas mereka, baik itu dengan kekuasaan politik maupun ekonomi.
Dengan menjaga integritas, jurnalis dapat memastikan bahwa karya mereka tetap menjadi suara kebenaran bagi masyarakat.
Dalam era digital, jurnalisme menghadapi tantangan baru yang tidak pernah ada sebelumnya.
Media sosial telah mengubah cara masyarakat mengonsumsi berita.
Informasi dapat menyebar dengan sangat cepat, tetapi akurasi sering kali menjadi korban dalam proses ini.
Harsono mengingatkan bahwa di tengah banjir informasi, tugas jurnalis menjadi semakin penting: untuk memverifikasi fakta dan memberikan konteks yang jelas.
Selain itu, ia juga menyoroti ancaman terhadap kebebasan pers di banyak negara, termasuk Indonesia.
Tekanan dari pihak pemerintah, kelompok tertentu, atau bahkan ancaman fisik terhadap jurnalis adalah realitas yang harus dihadapi.
Harsono sendiri pernah mengalami tekanan semacam ini, tetapi ia tetap teguh pada keyakinannya bahwa jurnalisme adalah jalan untuk memperjuangkan demokrasi dan kebebasan.
Harsono menceritakan berbagai pengalaman pribadinya selama menjadi jurnalis. Ia telah meliput konflik, bencana alam, dan isu-isu hak asasi manusia di berbagai belahan dunia.
Dari pengalaman-pengalaman ini, ia belajar bahwa jurnalisme adalah alat yang kuat untuk membawa perubahan.
Salah satu kisah yang sering ia ceritakan adalah bagaimana liputan mendalam tentang pelanggaran hak asasi manusia dapat memberikan tekanan kepada pihak-pihak yang berkuasa untuk mengambil tindakan.
Namun, ia juga tidak menutup mata terhadap risiko yang dihadapi para jurnalis.
Ia mengenang rekan-rekannya yang harus kehilangan nyawa atau kebebasan karena memberitakan kebenaran.
Bagi Harsono, pengorbanan ini adalah bukti betapa pentingnya peran jurnalisme dalam menjaga keadilan sosial.
Harsono juga aktif dalam pendidikan jurnalistik. Ia percaya bahwa generasi jurnalis berikutnya harus dibekali dengan keterampilan dan etika yang kuat.
Dalam berbagai pelatihannya, ia selalu menekankan pentingnya kerja keras dan dedikasi dalam profesi ini. Menurutnya, seorang jurnalis bukan hanya seorang pengumpul berita, tetapi juga seorang pendidik masyarakat.
Ia mengajak para jurnalis muda untuk tidak hanya mengejar popularitas atau keuntungan finansial, tetapi juga untuk mengutamakan dampak positif yang bisa mereka bawa melalui karya jurnalistik mereka. "Jurnalisme yang baik adalah jurnalisme yang memanusiakan," ujarnya dalam salah satu wawancara.
Meskipun banyak yang meragukan relevansi jurnalisme di era digital, Harsono tetap optimis. Ia percaya bahwa kebutuhan akan informasi yang akurat dan dapat dipercaya tidak akan pernah hilang.
Dalam situasi di mana berita palsu dan disinformasi semakin merajalela, masyarakat membutuhkan jurnalis yang berdedikasi untuk menyampaikan kebenaran.
Jurnalisme, bagi Harsono, bukan hanya sebuah profesi, tetapi juga panggilan hidup.
Ia melihatnya sebagai cara untuk melayani masyarakat dan memperjuangkan nilai-nilai universal.
Dengan semangat ini, ia berharap jurnalisme akan terus menjadi pilar penting dalam demokrasi.
"Agamaku adalah jurnalisme" bukan hanya pernyataan pribadi Andreas Harsono, tetapi juga sebuah ajakan kepada semua jurnalis untuk menjalankan profesinya dengan penuh integritas dan dedikasi.
Dalam dunia yang terus berubah, jurnalisme tetap menjadi alat yang paling kuat untuk menyuarakan kebenaran dan memperjuangkan keadilan.
Seperti halnya agama yang menjadi panduan moral bagi pemeluknya, jurnalisme adalah panduan bagi mereka yang berkomitmen untuk menyampaikan kebenaran kepada dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H