Pertengkaran di kalangan remaja seringkali diawali dengan konflik antar individu atau kelompok kecil. Hal ini bisa disebabkan oleh perbedaan pendapat, persaingan, atau bahkan perasaan tidak suka  satu sama lain.
2. Pengelompokan berdasarkan identitas sosial:
Remaja cenderung membentuk kelompok berdasarkan faktor-faktor seperti sekolah, wilayah geografis, atau bahkan afiliasi agama atau etnis. Kelompok-kelompok tersebut dapat menjadi objek perjuangan, apalagi jika terjadi persaingan atau konflik di antara mereka.
3. Tekanan teman sebaya:
Dalam situasi ini, tekanan  teman sebaya dapat menyebabkan remaja berkelahi. Mereka mungkin merasa berkewajiban untuk melindungi atau mendukung teman-temannya, meskipun mereka tidak sepenuhnya setuju atau memahami alasan konflik tersebut.
4. Dampak peniruan dan identifikasi:
Remaja cenderung meniru perilaku teman atau orang yang dianggapnya sebagai panutan. Jika mereka melihat orang lain terlibat pertengkaran, mereka mungkin akan tertarik untuk ikut serta karena ingin merasa diikutsertakan atau mengikuti jejak orang yang dianggap "keren" atau berpengaruh.
5. Sikap dan Norma Sosial:
Dalam beberapa kasus, perkelahian antar remaja bisa saja terjadi karena budaya atau norma sosial di lingkungannya. Misalnya, jika agresi atau penyelesaian konflik dengan kekerasan dianggap sebagai cara yang dapat diterima untuk menunjukkan keberanian atau status sosial, kemungkinan remaja untuk terlibat dalam perkelahian akan lebih kecil.
6. Kondisi sosial dan ekonomi:
Faktor-faktor seperti kemiskinan, ketidakadilan sosial atau mengalami trauma juga dapat mempengaruhi terjadinya perkelahian pada masa remaja. Frustrasi atau ketidakpuasan terhadap kondisi sosialnya dapat menyebabkan mereka melakukan tindakan kekerasan.