Mohon tunggu...
Wafiq Azizah Hasibuan
Wafiq Azizah Hasibuan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Halo! Saya adalah mahasiswa yang tengah mengeksplorasi dunia melalui tulisan. Berfokus pada isu-isu pendidikan,dinamika sosial, seni dan budaya saya percaya bahwa berbagi pemikiran adalah salah satu cara untuk belajar dan berkembang. Melalui Kompasiana, saya berharap dapat berkontribusi dalam menyebarkan ide-ide segar, berdiskusi dengan komunitas yang inspiratif, dan menggali wawasan baru. Mari berbagi cerita dan perspektif bersama!

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Tren FOMO di Kota Besar: Gaya Hidup atau Beban?

25 Desember 2024   17:59 Diperbarui: 25 Desember 2024   17:56 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis: Wafiq Azizah Hasibuan dan Vera Sardila

Tren FOMO di Kota Besar: Gaya Hidup atau Beban?

Fear of Missing Out (FOMO) yang telah menjadi fenomena yang sangat lekat dengan kehidupan masyarakat di kota besar. Istilah ini menggambarkan rasa takut ketinggalan pengalaman, informasi, atau tren yang dianggap penting. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan urban, FOMO sering kali muncul sebagai bentuk tekanan sosial yang mendorong seseorang untuk selalu terlibat dalam berbagai aktivitas. Namun, apakah FOMO adalah bagian dari gaya hidup modern, atau justru beban yang memperberat keseharian kita?

Media Sosial: Pemicu Utama FOMO

Kehadiran media sosial adalah salah satu faktor utama yang memperkuat FOMO. Platform seperti Instagram, TikTok, dan Facebook menjadi panggung utama di mana orang-orang menampilkan momen terbaik dalam hidup mereka. "Fomo yaitu ketakutan yang meluas (ketakutaan ketinggalan) bahwa orang lain mungkin memiliki pengalaman berharga saat ia tidak ada, salah satu pemicu fomo media sosial, keinginan untuk update melihat story, postingan, berita dan trend terkini " kata Dr. Hertha Christabelle Hambalie, seorang psikolog klinis. Dalam sebuah Youtube Bethsaida Hospital program Doctor's Talk.


Di kota besar, di mana kehidupan sering kali berputar di sekitar tren, FOMO menjadi lebih intens. Sebuah survei oleh Digital Life Research menunjukkan bahwa 75% penduduk perkotaan merasa terpengaruh oleh apa yang mereka lihat di media sosial, terutama dalam hal gaya hidup dan konsumsi. Tekanan ini menciptakan kebutuhan untuk terus terhubung dan mengikuti, meskipun hal tersebut tidak selalu sejalan dengan kebutuhan atau kebahagiaan individual mereka.

Gaya Hidup yang Tak Terhindarkan?

Bagi sebagian orang, FOMO telah menjadi bagian dari gaya hidup. Mereka merasa bahwa mengikuti tren adalah cara untuk tetap relevan dan diterima di lingkungan sosial. Misalnya, menghadiri kafe yang sedang viral atau membeli gadget terbaru menjadi hal yang dianggap penting untuk "eksistensi" di dunia maya.

Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Bandung, FOMO terlihat dalam berbagai bentuk, seperti keinginan untuk mencoba kafe atau restoran terbaru, menghadiri konser musisi terkenal, atau mengikuti tren mode terkini. Dengan ritme kehidupan yang cepat, masyarakat urban cenderung merasa perlu selalu “up-to-date” agar tetap relevan. Pernyataan ini mencerminkan bagaimana FOMO telah mengubah cara orang menjalani hidup di kota besar. Bukan hanya tentang mengikuti tren, tetapi juga tentang memenuhi ekspektasi sosial yang terus meningkat.

Namun, gaya hidup seperti ini sering kali datang dengan konsekuensi. Tekanan untuk terus mengikuti tren dapat menguras waktu, energi, dan keuangan. Tidak jarang orang menghabiskan lebih dari yang mereka mampu demi terlihat "in" di media sosial. Akibatnya, banyak yang merasa lelah secara emosional dan fisik karena mencoba menyeimbangkan tuntutan tersebut.

Beban yang Membebani

Di sisi lain, banyak yang merasakan dampak negatif dari FOMO. Dikarenakan pengaruh FOMO dapat menyebabkan stres kronis, kecemasan, dan bahkan depresi. Ketika seseorang terlalu fokus pada apa yang mereka lewatkan, mereka cenderung mengabaikan apa yang sudah mereka miliki, FOMO juga mempegaruhi hubungan interpersonal. Alih-alih menikmati waktu bersama keluarga atau teman dekat, banyak orang lebih sibuk mendokumentasikan pengalaman mereka untuk media sosial. Hal ini menciptakan jarak emosional yang dapat merusak hubungan dalam jangka panjang. Hubungan yang sehat membutuhkan kehadiran yang nyata, bukan hanya tampilan di dunia maya.

Selain itu, tekanan untuk selalu terlibat dalam tren juga dapat mengganggu fokus pada tujuan jangka panjang. Banyak yang lebih memilih untuk menghabiskan waktu dan uang pada hal-hal yang sifatnya sementara daripada berinvestasi pada hal-hal yang benar-benar bermakna bagi hidup mereka. Ini menimbulkan pertanyaan mendalam: apakah kita benar-benar menjalani hidup kita sendiri, atau hanya mengikuti skenario yang ditentukan oleh orang lain?

Mengatasi FOMO: Langkah untuk Hidup Lebih Tenang

FOMO bukanlah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Dengan kesadaran dan langkah-langkah yang tepat, kita bisa membebaskan diri dari tekanan ini. Berikut beberapa cara untuk mengatasi FOMO:

  1. Batasi Penggunaan Media Sosial Mengurangi waktu yang dihabiskan di media sosial dapat membantu mengurangi rasa takut tertinggal. Anda dapat menggunakan aplikasi untuk memantau waktu layar atau menjadwalkan waktu tertentu untuk membuka media sosial.
  2. Fokus pada Kehidupan Nyata Alih-alih mengejar tren, fokuslah pada hubungan dan pengalaman yang benar-benar penting bagi Anda. Cobalah untuk melibatkan diri dalam kegiatan yang memberikan kepuasan batin, seperti hobi atau kegiatan sosial.
  3. Latih Rasa Syukur Tuliskan hal-hal yang Anda syukuri setiap hari. Ini dapat membantu Anda menghargai apa yang sudah dimiliki. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang melatih rasa syukur cenderung merasa lebih bahagia dan puas dengan hidup mereka.
  4. Kenali Nilai Pribadi Anda Tentukan apa yang benar-benar penting bagi Anda, bukan berdasarkan apa yang diharapkan oleh lingkungan atau media sosial. Dengan memahami nilai-nilai ini, Anda dapat membuat keputusan yang lebih baik tentang bagaimana menghabiskan waktu dan sumber daya Anda.
  5. Belajar untuk Melepaskan Tidak semua tren atau pengalaman perlu diikuti. Belajarlah untuk merasa nyaman dengan melewatkan sesuatu. Seperti yang dikatakan oleh Mark Manson dalam bukunya, "The Subtle Art of Not Giving a F*ck"(Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat), melepaskan hal-hal yang tidak penting dapat membawa kedamaian dan kebebasan.

Gambar: BUKU Mark Manson
Gambar: BUKU Mark Manson "The Subtle Art of Not Giving a F*ck"

Penutup: Memilih Hidup yang Autentik

FOMO di kota besar memang sulit dihindari, tetapi bukan berarti kita harus terjebak di dalamnya. Dengan memilih untuk hidup secara autentik dan fokus pada apa yang benar-benar berarti, kita bisa membebaskan diri dari tekanan sosial yang tidak perlu. Seperti yang diungkapkan oleh penulis dan pembicara motivasi Brené Brown, "Kita tidak bisa menjalani kehidupan yang penuh makna jika kita terlalu sibuk membandingkan diri dengan orang lain."

Jadi, apakah FOMO adalah gaya hidup atau beban?  Jawabannya ada di tangan kita sendiri. Kita bisa memilih untuk mengikuti arus, atau menciptakan arus kita sendiri yang lebih tenang, lebih bahagia, dan lebih bermakna. Dengan begitu, kita dapat menjalani hidup yang tidak hanya terlihat indah di permukaan, tetapi juga memberikan kedamaian yang sejati di dalam hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun