Mohon tunggu...
Wachid Hamdan
Wachid Hamdan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sejarah, Kadang Gemar Berimajinasi

Hanya orang biasa yang menekuni dan menikmati hidup dengan santai. Hobi menulis dan bermain musik. Menulis adalah melepaskan lelah dan penat, bermusik adalah pemanis saat menulis kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gadis Berkemul Malam

26 April 2023   22:20 Diperbarui: 26 April 2023   22:22 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

"Setop, Bang!" teriak gadis berkerudung dari bangku belakang bus yang kubawa.

***

Kendaraan berkelir emas, yang sudah tiga turunan di wariskan oleh pendahulu keluargaku, merapat halus di sebuah plang yang bertuliskan Wanito Ndalu. Sebuah jalan sempit, di pinggir kota, entah menuju ke mana. Kalau bisa di banggakan, aku sampai hafal tempat pemberhentian setiap penumpang. Termasuk si gadis ini.

"Okeh, Mbak! Hati-hati, ini kembaliannya," kuberikan uang itu, lantas si gadis memasuki gang tersebut.

Banyak cerita memang dari penumpang yang kubawa. Tetapi, perempuan yang berbusana tertutup itu sangat misterius bagiku. Duduk selalu di bangku belakang, diam, dan tidak pernah bersuara. Berbeda dengan penumpang lain yang selalu berisik.

"Ayoo! Pojok beteng, pojok beteng!" teriakku, lantas melajukan bus.

Gemerlap kota pelajar di depanku memang berbeda. Para mahasiswa berkeliaran menyerbu jantung kota, mengisi kepenatan setelah selesai ngampus. Pemandangan sekelompok orang dengan gitar dan sorai nyanyian menjadi bumbu kemeriahan kota gudek ini.

"Itu tadi perempuan dengan tampilan muslimah, kok malah masuk gang situ yaa?" tanya penjual jamu padaku.

"Sudahlah, mbak! Tidak penting membahas urusan orang."

"Lha tapi kan ndak pantas to, Mas! Masak berbusana tertutup kaya gitu, masuk gang yang sering dibuat jajan lelaki belang," nyinyirnya.

Mendengar itu, kucermati perempuan tersebut dari spion tengah bus. Urusan dia apa? Aneh memang. Aku memilih diam.  Sekonyong-konyong ia sudah asik bergosip dengan teman sejawatnya, menguliti perilaku muslimah tadi.

***

Terminal Jombor menjadi pemberhentian terakhir bus keramat yang sudah 30 tahun, menjamin nasi di keluargaku. Para penumpang segera turun. Tidak terkecuali penjual jamu itu. Dengan gendongan dan berbotol-botol jamu ia menghampiriku dan memberikan selembar uang.

"Ini, Mas. Jaman memang sudah edan! Wis ndak jelas mana yang putih dan mana yang hitam," ujarnya berlalu dari hadapanku.

Tangkas, segera aku melangkah menuju warung tempat biasa driver berkumpul. Hingar-bingar bus masuk dan para penumpang berjejal di netraku. Sebelum duduk, aku menyuruh kuli cuci di terminal untuk membersihkan armada yang kubawa.

"Yang di pojok itu ya, Mas?" tanyanya.

"Iya, Kang! Ini uangnya."

Selesai membereskan urusan bus, aku ikut bergabung dengan para sopir lain. Aroma kopi segera menusuk hidung. Lantas aku memesan sepiring nasi dan segelas kopi hitam pekat, pada penjaga warung yang terkenal genit di hadapanku. Tidak lama, pesanan pun datang.

"Terima kasih, Mbak!"

Sembari menyantap makanan, berbagai cerita bergulir dari teman sejawatku. Ada yang bercerita tentang masalah keluarga, penumpang yang sepi, dan tingkah pengamen yang sering mengganggu kenyamanan penumpang.

"Lha itu, Mas! Masak penumpangku dipukul, Cuma karena ndak ngasih uang ke pengamen di terminal tua. Yoo, aku ndak terima! Tak gaplok, teler dia," Cerita Munir padaku.

"Lha Mas Hun dapet berapa penumpang?"

"Alhamdulillah, Nir. Aku penuh hari ini," timpalku mengacungkan jempol.

"Wah, memang bus keramat dan paten!" tunjuknya pada bus-ku yang tengah dicuci. Kami pun tertawa lepas. Karena merasa rezeki hari ini lebih, kuputuskan mentraktir dirinya. Tidak lama, semangkuk soto dan es jeruk sudah menggoda di depan Munir.

"Nir, menurutmu penampilan itu mencerminkan watak ndak sih?"

"Mmmm. Bisa saja, Mas! Lha ada apa?" tanyanya, sembari menatapku heran.

"Ohh, ndak apa-apa! Wis habiskan makananmu itu. Aku pulang dahulu" pamitku padanya, saat melihat bus-ku selesai di cuci.

***

Bebauan khas kota yang ramai dengan santapan kuliner, menyusup deras di hidungku. Lumayan lama kuputari beberapa titik mangkal, namun belum ada penumpang yang naik. Kini, dengan tenaga yang pas-pasan bus tua ini kuarahkan menuju area perkampusan di utara kota.

Belum lama menyusuri punggung aspal, dari kemudi kulihat sosok gadis yang menunggu di halte dekat Gang Wanito Ndalu. Wajah bersih itu, tampak bersinar diterpa mentari pagi. Sepertinya ia hendak menuju kampus.

"Biasa, Bang! Aku turun di halte perpustakaan daerah ya" tuturnya saat ia masuk bus.

"Lho, ndak ngampus, Mba? Tumben sekali."

"Mau menyelesaikan tugas, Bang!"

Aku tidak bertanya lagi. Segera kujalankan kembali kendaraan ini. Lalu-lalang para pekerja kantoran membuat kemacetan yang ruwet. Setelah berjalan 15 menit, sebuah plang bertuliskan perpustakaan daerah terpampang di depan. Gadis itu tampak bersiap, lantas melangkah kedekat pintu. Ia menyerahkan ongkos kepadaku.

"Mbak, mbok ya kalau bisa itu akhlak di sesuaikan dengan pakaian yang digunakan! Masak perempuan tertutup kayak sampean sering ke Gang Wanito Ndalu," ceplosku, saat kaki kanan perempuan itu menyentuh trotoar jalan.

"Wah, ndak apa-apa, Mas! Lha gimana lagi? Di sana aku nyari tambahan uang," ujarnya sembari berjalan menjauhi pintu bus. Akal sehatku sejenak berpikir. Maksud mencari tambahan itu apa? Hmm bukan urusanku juga sih. Hingga, deru mesin disel segera mengembalikan kesadaranku.

***

Beberapa hari, jam, menit, dan berbagai kejadian penumpang yang aneh-aneh berlalu tidak terasa. Entah sudah berapa ribu meter, bus keramat ini menemaniku. Melewati bangunan klasik, gedung, persawahan, dan sering harus bersaing dengan armada muda, tidak sedikitpun membuat pikiranku untuk membeli unit baru. Bus ini terlalu banyak menyimpan kenangan.

Kejadian beberapa waktu lalu, kembali terulang. Saat menjelang petang, bus-ku kembali sesak dengan penumpang. Si penjual jamu, si gadis berkerudung, dan rute perjalanan yang sama.  Malam lalu, aku juga kembali berdiskusi dengan Munir, soal berpakaian yang mencerminkan akhlak. Ia menyarankan padaku, daripada suuzan terus, mending cek saja ke lokasi Wanito Ndalu. Munir sepertinya menangkap gelagatku yang aneh, karena terus membahas perempuan itu.

"Mas, kiri yaa!" seru beberapa suara perempuan. Saat kutolehkan pandangan, ternyata si penjual jamu dan si gadis yang turun.

"Lho..  Turun sini juga, Mbak?" herankku, pada penjual jamu.

Iya, Mas! Tadi dapat pesanan untuk orang sana" tunjuknya, pada jalan masuk Gang Wanito Ndalu.

Tepat roda berhenti, beberapa penumpang lain juga ikut turun. Gemerlap kota memang menjadi daya tarik tersendiri. Teriakan petugas parkir, orang bernyanyi, dan ringkik delman di sepanjang jalan; Sejenak mengalihkan pikiranku. Selesai menurukan penumpang, bus kembali meniti pekatnya aspal jalan.

Pikiranku terus mengelana. Yang nampak baik belum tentu baik, begitupun sebaliknya. Akhirnya, untuk memuaskan diri kuputuskan mengunjungi gang itu, selepas memarkirkan bus ini di garasi. Persetan dengan cap di kira lelaki belang. Dari pada hanya menduga-duga, kan?

***

Menaiki Honda CB 100 kelasik, kususuri nuansa kota dalam balutan malam. Pendar lampu dan aktivitas di dalamnya memanjakan pandangan. Tidak butuh waktu lama, motor antik ini sudah mendekati Gang Wanito Ndalu. Benar sesuai dugaanku! Kupu-kupu malam bertebaran dengan make up tebal, tersenyum pada setiap lelaki yang memandang mereka. Saat mulai dekat dengan pintu masuk, aku ditegur oleh salah satu dari mereka.

"Karaoke atau minum, Mas?" tanya perempuan berbaju merah menyala.

"Mau lihat-lihat dulu, Mbak"

"Ohh! Ya sudah. Silahkan parkir di sana" tunjuk si perempuan, pada salah satu pelataran yang juga banyak kendaraan motor.

Dengan langkah santai, kususuri gang sempit ini. Bau parfum dan kopi menyeruak di sekelilingku. Tampak olehku, beberapa bangunan seperti kost-kost-an yang berupa bilik-bilik. Para perempuan tampak bercengkrama di sana. Tidak luput, para lelaki yang minum juga menyertai di sekeliling mereka. Namun, tujuanku bukan itu. Aku mencari si gadis berkerudung.

"Lho, Mbak! Kok masih di sini? Tak kira hanya mengantar pesanan," tegurku pada penjual jamu, ternyata ia masih ada disini. Ia sibuk menyiapkan jamu, dengan para lelaki yang mengelilinginya. Yang disapa berlagak seolah tidak mengenal. Ia malah menawari jamu padaku.

"Ini, Mas! Jamu kuat. Tak jamin, nonstop semalam suntuk!" tawarnya, dengan wajah kikuk. Aku tersenyum dibuatnya. Ternyata, ia yang sering membahas perilaku si gadis berkerudung, eh ternyata tidak jauh berbeda.

"Mboten, Mbak! Silahkan dilanjut saja, itu masih banyak yang mengantre," tunjukku pada beberapa lelaki yang tadi mengitarinya.

Lama kususuri gang untuk mencari keberadaan si gadis berkerudung. Beberapa bangunan sudah kulalui. Namun, Tidak ada yang mirip dengan dirinya. Meski jika di sini ia tidak berkerudung, seharusnya ia bisa kukenali. Merasa sia-sia, aku memutuskan bertanya pada preman penjaga di depan pintu keluar.

"Mas! Sampean kenal dengan gadis berkerudung, yang setiap pagi keluar dari sini untuk ke kampus?" tanyaku, sembari menyodorkan rokok.

"Oalaah! Coba kamu cari di area sana," tunjuknya pada belokan gang, menuju  Gang Kusuma. Aku pun pamit berlalu menuju gang yang dimaksud.

***

Lima menit berjalan, kini pemandangan berubah drastis. Pemukiman warga tampak padat. Anak-anak yang berlarian, menghiasi netraku. Banyak kain putih tersampir di bambu-bambu yang di pancang depan rumah. Hingga, mataku menatap siluet tubuh yang khas.

"Loh! Kamu kerja di sini, Mbak?"

Merasa ada yang menyapa, perempuan itu menoleh dan terperanjat ketika melihatku. Tangannya yang sedari tadi tengah sibuk , kini beralih membenahi pujung kerudungnya.

"Ehh! Iya mas. Aku kerja sampingan di sini."

"Malam-malam begini kerja apa?"

Si gadis hanya tersenyum. Ia dengan lihai malah kembali melanjutkan perkerjaanya, "Seperti yang kamu lihat, mas! Aku tengah mempersiapkan lilin malam untuk membatik."

Sleman, 20 maret 2023.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun