"Lha Mas Hun dapet berapa penumpang?"
"Alhamdulillah, Nir. Aku penuh hari ini," timpalku mengacungkan jempol.
"Wah, memang bus keramat dan paten!" tunjuknya pada bus-ku yang tengah dicuci. Kami pun tertawa lepas. Karena merasa rezeki hari ini lebih, kuputuskan mentraktir dirinya. Tidak lama, semangkuk soto dan es jeruk sudah menggoda di depan Munir.
"Nir, menurutmu penampilan itu mencerminkan watak ndak sih?"
"Mmmm. Bisa saja, Mas! Lha ada apa?" tanyanya, sembari menatapku heran.
"Ohh, ndak apa-apa! Wis habiskan makananmu itu. Aku pulang dahulu" pamitku padanya, saat melihat bus-ku selesai di cuci.
***
Bebauan khas kota yang ramai dengan santapan kuliner, menyusup deras di hidungku. Lumayan lama kuputari beberapa titik mangkal, namun belum ada penumpang yang naik. Kini, dengan tenaga yang pas-pasan bus tua ini kuarahkan menuju area perkampusan di utara kota.
Belum lama menyusuri punggung aspal, dari kemudi kulihat sosok gadis yang menunggu di halte dekat Gang Wanito Ndalu. Wajah bersih itu, tampak bersinar diterpa mentari pagi. Sepertinya ia hendak menuju kampus.
"Biasa, Bang! Aku turun di halte perpustakaan daerah ya" tuturnya saat ia masuk bus.
"Lho, ndak ngampus, Mba? Tumben sekali."