Mendengar itu, kucermati perempuan tersebut dari spion tengah bus. Urusan dia apa? Aneh memang. Aku memilih diam. Â Sekonyong-konyong ia sudah asik bergosip dengan teman sejawatnya, menguliti perilaku muslimah tadi.
***
Terminal Jombor menjadi pemberhentian terakhir bus keramat yang sudah 30 tahun, menjamin nasi di keluargaku. Para penumpang segera turun. Tidak terkecuali penjual jamu itu. Dengan gendongan dan berbotol-botol jamu ia menghampiriku dan memberikan selembar uang.
"Ini, Mas. Jaman memang sudah edan! Wis ndak jelas mana yang putih dan mana yang hitam," ujarnya berlalu dari hadapanku.
Tangkas, segera aku melangkah menuju warung tempat biasa driver berkumpul. Hingar-bingar bus masuk dan para penumpang berjejal di netraku. Sebelum duduk, aku menyuruh kuli cuci di terminal untuk membersihkan armada yang kubawa.
"Yang di pojok itu ya, Mas?" tanyanya.
"Iya, Kang! Ini uangnya."
Selesai membereskan urusan bus, aku ikut bergabung dengan para sopir lain. Aroma kopi segera menusuk hidung. Lantas aku memesan sepiring nasi dan segelas kopi hitam pekat, pada penjaga warung yang terkenal genit di hadapanku. Tidak lama, pesanan pun datang.
"Terima kasih, Mbak!"
Sembari menyantap makanan, berbagai cerita bergulir dari teman sejawatku. Ada yang bercerita tentang masalah keluarga, penumpang yang sepi, dan tingkah pengamen yang sering mengganggu kenyamanan penumpang.
"Lha itu, Mas! Masak penumpangku dipukul, Cuma karena ndak ngasih uang ke pengamen di terminal tua. Yoo, aku ndak terima! Tak gaplok, teler dia," Cerita Munir padaku.