Sore yang di temani senandung gerimis langit samarkan air mata ibu. Perempuan kuat itu, tampak tenang menceritakan manis cintanya saat awal bertemu dengan ayah. Tetapi air matanya seolah mengungkapkan hal lain. Misterius, dalam, dan tidak bisa kupahami sebagai seorang anak---tentang air matanya---entah bahagia atau justru sebaliknya.
"Ayahmu itu lelaki yang sangat mencintai ibu, Nak. Awal saat bertemu dengannya, ia seolah sudah menitikkan separuh hatinya. Meski itu belum diucapkan ayahmu."
Selepas menutup kisah itu ibu lantas pamit ke belakang. Langit di atas sana mulai kian meredup, di gantikan ratusan gemintang yang mulai bermunculan menyapa bumi. Sudah waktunya ia menyiapkan makan malam. Kisah ini adalah cerita yang sama dari sekian cerita yang ia sampaikan. Entah, mungkin aku sudah mendengarnya ratusan kali pengulangan dari kisah asmara itu. Dalam, tidak bertepi, dan hanya pujiannya saja yang berbeda.
Kursi kayu yang diduduki ibu, kini lengang. Hanya ada rasa hangat bila kusentuh bantalan kursi itu. Kehangatan yang menyimpan kedamaian. Meski aku kini tidak pernah  merasakan hangat rengkuhannya , karena aku telah dewasa. Anganku selalu melayang, saat ibu menggambarkan ketampanan ayahku itu menurun padaku. Lelaki yang selalu menggunakan Jas hitam berbalut kaus putih, dengan bawahan sarung putih yang menjadi pakaian utama ayahh semasa masih di pondok kini muncul dalam benakku.
"Nur! ngapain kamu? Ngelamun aja," sapa Yusuf yang kebetulan lewat teras rumah.
"Ahh. Ndak apa-apa, Suf! Biasa mikir konten buat artikelku," Jawabku bohong. Sudah menjadi jadwal rutin Yusuf untuk mengunjungi rumah. Setiap sore sambil menunggu maghrib, ia akan melaporkan omset dari usaha bersama kami dalam bidang bibit ikan emas.
***
Pak Gimin itulah namanya, Sosok lelaki pujaan ibu. Seorang lulusan pesantren Kerakitan, Tempel, Yogyakarta itu selalu di kenal masyarakat sebagai sosok yang alim. Figur yang selalu menjadi andalan dalam event desa; rujukan untuk berdoa; menjadi pewakil atur ngendiko dalam sowan di event syawalan desa; ketua di salah satu jamaah selawat dan mujahadah di perkumpulannya, menjadikan dirinya sosok terhormat. Baik di keluarga maupun masyarakat.
"Ayahmu itu selalu menjadi kebanggaan teman-teman. Ia selalu menjadi imam yasinan di asrama pondok," tutur ibu.
Dalam cerita ibu, mereka bertemu saat ibu  mendaftar dan mengikuti program pendidikan di salah satu pondok  daerah Bantul. Tempat yang mengakomodasi orang-orang yang ingin memiliki skill untuk berkerja. Ada yang belajar reparasi alat elektronik, cara membuat alat bersih-bersih rumah tangga, dan ada juga yang belajar teknik bekam. Ibu kenal ayah saat ia menjadi siswa baru  dan  mendapatkan kesempatan untuk berkenalan di depan kelas.
"Saya Mimin! Dari Kulonprogo," tutup ibu pada perkenalanya. Kelas yang tadinya sepi, sontak ramai. Ada yang saling menyebut nama, namun ada juga yang bertanya lebih lanjut.
"Min! ini ada titipan dari siswa putra," ujar Sari sambil menyerahkan bingkisan, setibanya ibu di kamar asrama.
"Siapa?"
Sari menjelaskan titipan yang dibawanya merupakan amanah dari sosok santri lulusan Ponpes Krakitan. Ia cukup terkenal di asrama tempat mereka sekarang belajar. Sosok yang karismatik katanya. Melihat Mimin yang hanya melongo, ia akhirnya memperjelas keteranganya dengan menyebutkan identitas sang pengirim.
"itu dari pentolan asrama sebelah. Si Gimin kakak kelasmu," ujar Sari.Â
Karena merasa tidak kenal lelaki itu, ibu memilih membagi-bagi bingkisan berupa makanan itu pada kawan sekamarnya. Sontak, kondisi kamar menjadi riuh.
***
Disuatu hari, ibu pergi dengan kawan-kawannya ke pasar Bantul. Di sana ia berangkat bersama Sari, Novi, dan Burhan. Kepergiannya kali ini hendak membeli seragam dan sejenak berlibur sembari jajan Mie Ayam yang melegenda dekat pasar. Namun aneh ketika sampai asrama putri, dengan tergopoh-gopoh salah satu teman kamarnya memberi surat pada ibu.
"Min! kamu lekas pulang ke desa. Kalau tidak, Burhan temanmu itu akan kuhajar."
Saat membaca dari siapa surat itu berasal, ibu hanya mampu menghela napas. Si Gimin pentolan ternyata mengancamnya. Namun, dari pada ricuh, ia memutuskan pulang ke desa. Lekaslah ia berkemas di temani tatapan heran dari Sari.
"Aku pulang dulu, ya. Dari pada jadi masalah," pamit ibu.
***
"Plakk!" tamparan Yusuf mengagetkanku.
"Sialan. Aku ngomong ngecipris, sampean malah melamun. Mikir apa tho Nur?" gerutunya.
Mendapat tamparan dari Yusuf aku tidak marah. Memang salahku. Mendapat pertanyaan darinya, aku memilih tersenyum. Menjelaskan tidak ada apa-apa. Aku beralasan sedang lelah saja.
"yaudah! Nanti berkas ini kamu baca lagi," pamitnya menyerahkan print out laporan.
"Oke!"
Malam yang kini sudah bertabur hujan membuatku malas untuk langsung membaca tumpukan kertas itu. Aku lebih penasaran sebenarnya apa alasan ayah marah dengan jalan-jalan ibu? Namun, saat hendak menghampiri ibu, kulihat dirinya tengah sibuk menatap lebatnya hujan dari balik jendela.
"Bu! Kenapa kok melamun?"
"Ohh. Kamu, Nur! Ibu ndak apa-apa. Cuma ndak sabar nunggu kepulangan ayahmu," jawab ibu.
Merasa ibu tidak mau di ganggu, aku memutuskan masuk kamar. Ruangan minimalis dengan laptop di meja kecil dekat ranjang menjadi pelampiasanku. Aku sendiri merasa aneh dengan sikap ibu beberapa waktu terakhir. Ia lebih cenderung diam dan sering bercerita mengenai manisnya kisah asmaranya dengan ayah. Tapi kenapa kok ia malah murung?
***
Matahari belum lama terbangun dari lelapnya. Aroma tempe mendoan dan uap kopi menguar jelas dari arah dapur. Bunyi sepatula yang beradu dengan wajan menyentak alam tidurku.
Dengan segera aku beranjak dari tempat tidur dan melaksanakan salat subuh yang terlewat beberapa menit.
"Nur! Ibu tunggu di teras," sapa ibu saat kami berpapasan di dapur yang kubalas dengan anggukan.
Selesai melaksanakan salat, bergegas kuhampiri ibu yang sudah menunggu di kursi teras. Mulutnya sudah sibuk dengan tempe mendoan olahhanya. Di lihat dari wajahnya ia tampaknya sedang bahagia.
"Kamu mau tahu lanjutan cerita ayah? Penjelasan setelah ia marah-marah karena ibu jalan-jalan ke pasar Bantul?" celetuknya saat aku duduk di sebelahnya.
"Wahh! Boleh kah aku mengetahuinya?"
Ibu pun bercerita. Ternyata ayah tidak suka dengan Burhan. Ia mengira lelaki itu menyukai ibu. Sedangkan sebenarnya ibu paham kalau lelaki yang marah padanya itu menyukainya. Saat tiba di rumahnya di Kulonprogo, ia kaget dengan Gimin yang sudah berada di rumah. Lelaki itu telah melamarnya. Ayah ibu menjelaskan semuanya.
"Gimana Mimin? Kamu menerimanya?" tanya Mbah Tris, ayah ibu.
Karena sebenarnya menyimpan rasa yang sama, akhirnya ibu menerima lamaran Gimin yang berulang kali menerornya. Ia sering di beri mie instan, roti, dan terkadang buah-buahan. Ternyata semua itu adalah pernyataan cinta yang tidak terucap.
"Wah! Ayah hebat sekali ya, Bu!" balasku. Ibu tampak bahagia sekali. Namun, saat ia meminum teh nya, ia terbatuk keras dan tiba-tiba pingsan. Musnahlah raut kebahagiaan itu.
***
Ibu sudah dirawat oleh dokter. Satu jam lalu, dengan beringas kupacu mobil kijang inovaku menuju UGD, tidak jauh dari rumah. Kini aku menunggu di luar dengan gelisah. Rasa bersalah cukup keras menghantam dadaku.
Aroma obat-obatan mengungkung pekat di sekitarku. Orang-orang dengan seragam medis yang hilir mudik di depanku, kini seperti menghantuiku. Jeritan anak yang di suntik, suara sirine ambulan, dan teriakan-teriakan petugas parkir di depan semakin menambah kekalutan pikiranku.
"Bapak Nur!" panggil dokter yang menyentak kesadaranku.
"Iya, Dok. Bagaimana kondisi ibu?" tanyaku kawatir.
Dokter pun menjelaskan, ibu mengalami kondisi gawat. Akibat terlalu stres, darah tingginya kambuh. Kini penyakit itu berubah menjadi kronis. Aku menyesal mengetahui semua itu. Kondisi ibu seperti itu memang salahku.
Setelah dokter pergi, aku menghampiri ranjang tempat ibu berada. Akulah lelaki yang ada dalam ceritanya. Semua ini terjadi akibat kelakuanku yang ingin memadunya. Rumah tangga kami kacau; anakku Nur Bagas bunuh diri; Â karena keributan kami yang terus-menerus.
Semenjak itu istriku menjadi terganggu mentalnya. Kuakui wajahku sangat mirip dengan anak kami. Sering ia berceloteh kisah asmara kami. Saat berpapasan denganku, ia sering menganggapku sebagai anaknya.
"Maafkan suami yang selalu kau banggakan dalam ceritamu, ibu!" bisikku ke telinga istriku. Biarlah ia mengira aku anak kesayanganya. Semoga Nur Bagus juga memaafkanku. Keheningan ruang rawat ibu, menambah penyesalanku. Langit-langit putih dengan AC dingin lumayan menambah suasana kesedihan.
"Pak Gimin Nur Hadi! Silahkan tanda tangan di sini, untuk surat opname istri anda!" tegur perawat mengagetkanku.
Gabahan, Sleman, April 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H