Dengan segera aku beranjak dari tempat tidur dan melaksanakan salat subuh yang terlewat beberapa menit.
"Nur! Ibu tunggu di teras," sapa ibu saat kami berpapasan di dapur yang kubalas dengan anggukan.
Selesai melaksanakan salat, bergegas kuhampiri ibu yang sudah menunggu di kursi teras. Mulutnya sudah sibuk dengan tempe mendoan olahhanya. Di lihat dari wajahnya ia tampaknya sedang bahagia.
"Kamu mau tahu lanjutan cerita ayah? Penjelasan setelah ia marah-marah karena ibu jalan-jalan ke pasar Bantul?" celetuknya saat aku duduk di sebelahnya.
"Wahh! Boleh kah aku mengetahuinya?"
Ibu pun bercerita. Ternyata ayah tidak suka dengan Burhan. Ia mengira lelaki itu menyukai ibu. Sedangkan sebenarnya ibu paham kalau lelaki yang marah padanya itu menyukainya. Saat tiba di rumahnya di Kulonprogo, ia kaget dengan Gimin yang sudah berada di rumah. Lelaki itu telah melamarnya. Ayah ibu menjelaskan semuanya.
"Gimana Mimin? Kamu menerimanya?" tanya Mbah Tris, ayah ibu.
Karena sebenarnya menyimpan rasa yang sama, akhirnya ibu menerima lamaran Gimin yang berulang kali menerornya. Ia sering di beri mie instan, roti, dan terkadang buah-buahan. Ternyata semua itu adalah pernyataan cinta yang tidak terucap.
"Wah! Ayah hebat sekali ya, Bu!" balasku. Ibu tampak bahagia sekali. Namun, saat ia meminum teh nya, ia terbatuk keras dan tiba-tiba pingsan. Musnahlah raut kebahagiaan itu.
***
Ibu sudah dirawat oleh dokter. Satu jam lalu, dengan beringas kupacu mobil kijang inovaku menuju UGD, tidak jauh dari rumah. Kini aku menunggu di luar dengan gelisah. Rasa bersalah cukup keras menghantam dadaku.