"Plakk!" tamparan Yusuf mengagetkanku.
"Sialan. Aku ngomong ngecipris, sampean malah melamun. Mikir apa tho Nur?" gerutunya.
Mendapat tamparan dari Yusuf aku tidak marah. Memang salahku. Mendapat pertanyaan darinya, aku memilih tersenyum. Menjelaskan tidak ada apa-apa. Aku beralasan sedang lelah saja.
"yaudah! Nanti berkas ini kamu baca lagi," pamitnya menyerahkan print out laporan.
"Oke!"
Malam yang kini sudah bertabur hujan membuatku malas untuk langsung membaca tumpukan kertas itu. Aku lebih penasaran sebenarnya apa alasan ayah marah dengan jalan-jalan ibu? Namun, saat hendak menghampiri ibu, kulihat dirinya tengah sibuk menatap lebatnya hujan dari balik jendela.
"Bu! Kenapa kok melamun?"
"Ohh. Kamu, Nur! Ibu ndak apa-apa. Cuma ndak sabar nunggu kepulangan ayahmu," jawab ibu.
Merasa ibu tidak mau di ganggu, aku memutuskan masuk kamar. Ruangan minimalis dengan laptop di meja kecil dekat ranjang menjadi pelampiasanku. Aku sendiri merasa aneh dengan sikap ibu beberapa waktu terakhir. Ia lebih cenderung diam dan sering bercerita mengenai manisnya kisah asmaranya dengan ayah. Tapi kenapa kok ia malah murung?
***
Matahari belum lama terbangun dari lelapnya. Aroma tempe mendoan dan uap kopi menguar jelas dari arah dapur. Bunyi sepatula yang beradu dengan wajan menyentak alam tidurku.