Menjelang fajar netraku menatap lurus pada horizon timur. Bola merah tampak perlahan mulai memancarkan cahayanya. Diantara riak ombak masih jelas di benak; Â badai semalam yang berhasil menghancurkan kapal dagang Bos Nadhir. Entah para klasi terpencar kemana, aku sendiri berpegang pada tiang layar yang patah menjadi dua.
"Arrgh! Tolong aku!" serak sebuah suara tak jauh dari tempatku mengapung.
Mendengar itu, aku terhenyak dari lamunanku pada semburat oranye di timur. Kuedarkan pandangan keseluruh penjuru semampu cakupan mataku. Laut yang masih agak gelap sedikit menyusahkan. Hingga sebuah titik putih memacu jantungku.
"Bertahan Bos Nadhir!" teriaku sembari berusaha berenang menghampiri tubuh timbul tenggelam itu.
***
Desaku merupakan wilayah pesisir di pantai utara. Bau asin dan tambak garam bertebaran di mana-mana. Dari tempatku duduk, lalu-lalang kapal dagang VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie ) tampak angkuh membelah laut utara.Â
Tahun 1720-an memang sangat ramai monopoli dari orang putih itu. Aku terus membatin, "Kapan negri ini lepas dari perbudakan?". Ditengah lamunan, aku dikagetkan teriakan nyaring dari seseorang yang sangat kuhapal tipikal nylenehnya.
"Woooi, Tono Petruk! Ojo ngelamun saja. Nanti kesambet jin laut tahu rasa," lengking suara itu, disertai langkah memasuki pekaranganku.
Sosok pemuda berbaju putih dengan peci miring, tanpa dosa menyeruput kopi dihadapanku. Dengan cuek, ia menyerobot Klobot ditanganku dan sejuruhs kemudian matanya terpejam dengan kepulan asap tebal keluar dari mulutnya.
"Tampaknya tembakau punyamu ini sudah tengik, Tono! Mesti kowe simpan seperti Petruk di katok bolongnya," oceh Bos Nadhir mengembalikan klobotku.
"Ealah Bos! Sudah minta kok komentar. Ini ya namanya tembakau murahan," jawabku ketus.
Bos Nadhir spontan menolehkan wajahnya kearahku. Tak lama kemudian tawanya lepas sambil menggebrak meja dengan keras.
"Halah! Tembakau tengik saja dibeli Tono. Hahahah,"
Tubuh gembul itu mendadak berdiri. Ia melangkah ke ujung pagar rumah. Dengan mata berkilat, ditatapnya kapal dagang VOC yang baru saja lewat lagi.
"Dasar londo gendeng! Kapan kalian itu mau sadar kalau sudah banyak tindakan kalian yang menyusahkan rakyat," teriaknya lantang sambil memukul tiang rumah.
Setelah puas mencaci londo yang untung saja tidak dengar, ia berjalan mendekatiku dan menjabarkan pelayaran kali ini. Ia mengungkapkan ada barang yang harus diantar ke Pulau Sumatra. Matahari tampak remang saat Bos Nadhir pamit untuk menyiapkan kapal. Ia menyuruhku untuk mengajak Sudiro, Warno, dan Sulaiman untuk menjadi ABK pelayaran.
***
Dengan wajah yang sudah banjir keringat , aku, Sudiro, Warno, dan Sulaiman, tanpa lelah mengangkat peti-peti rempah ke atas kapal. Rasa pegal di punggung berubah menjadi kebas,  Akibat  beban yang sangat berat. Dari sini, rembulan sedikit lagi akan menyamai umbun-umbun.
"Kang Tono!" panggil Sudiro. Aku pun sejenak menghentikan aktifitas mengikat peti dan mengarahkan wajah ke bawah dimana ia berada.
"apa tidak berbahayajika lewat laut utara? Kapal Voc sekarang cukup menguasai medan ini. Belum lagi jika mereka merasa terganggu, bisa dimeriam kita." Mendengar penuturan karibku itu, benakku penuh dengan kekhawatiran. Benar juga! Â Tapi perencanaan sudah dilaksanakan matang.
"Iya, aku juga khawatir. Tapi Bos Nadhir pasti sudah memikirkan jalan keluarnya," ucapku. Melihat Sudiro yang tampak termenung, segera kembali kuikat beberapa peti yang tersisa. Lantas turun bergabung dengan klasi yang lain.
"Gimana kang tono? Sudah selesai mengikatnya?" tanya Sulaiman. Mendapat pertanyaan itu aku hanya menganggukan kepala dan segera menerima uluran Jahe hangat darinya.
"Okeee! Layar sudah Siap Bos Nadhir!" Teriak Warno. Mendengar hal itu, Bos Nadhir sejenak memastikan kembali persiapan yang sudah dilakukan. Merasa cukup, ia segera mengajak kami berdoa dan bergegas menuju ruang kemudi.
***
Sudah hampir 4 jam kapal kami mengarungi laut. Warno yang bertugas mengawasi layar sudah bergabung dengan kami di geladak kapal. Bos Nadhir menyuruh kami untuk mengawasi pergerakan disekitar kapal; Berjaga dari gangguan kapal Voc.
"perjalanan sepertinya aman kang" celetuk Sulaiman yang tampak sekali sudah lelah. Akupun mengamini hal tersebut. Tak tampak dari tadi bayangan kapal atau sejenisnya.
Saat hendak menuju ruang istirahat dan menyuruh Warno dan Sudiro berjaga, tiba-tiba kapal meliuk tajam ke kanan. Sejurus kemudian ledakan keras terjadi, di susul rubuhnya tiang utama layar dengan bola meriam yang menggelinding di lantai kapal. Ternyata, dari balik bukit cadas, muncul kapal kecil Belanda yang sudah mengarahkan moncong meriam; bersiap melanjutkan tembakan.
"Cepat tiarap!" teriak Bos Nadhir.
"Segera kenbangkan layar besar Warno! Kita Kudu cepet mlayu dari hantaman londo gendeng," perintahnya. Dengan tangkas, Warno segera lompat ke arah tiang yang tersisa dan menarik beberapa simpul tali. Tak selang lama bersamaan dengan ledakan susulan, kapal kami melesat cepat ke timur.
***
Akhirnya kapal kami berhasil menghindari kejaran kapal Voc. Sekarang entah sampai mana kapal kami berlayar. Cukup jauh kami keluar dari jalur utama.
"Alhamdulillah!" Â Belum selesai Bos Nadhir berujar, awan mendung segera mengungkung sekitar kapal. Dalam sekejap badai pun terjadi.
"Cepaaat ikat diri di tiang!" teriak kami bersamaan.
Tidak lama, gelegar petir dibarengi hujan lebat mengurung kapal kami. Ombak setinggi 5 meter berulang kali menghajar lambung kapal. Dengan cermat Bos nadhir berusaha meniti pinggir arus. Hingga ombak besar dari arah depan berhasil membalikan kapal kami.
***
Aku dan Bos Nadhir berhasil mencapai daratan. Tak berselang lama, Abk lain menyusul. Kami sudah biasa dengan badai seperti itu. Tapi kerugian yang ada tak bisa kami bayangkan.
"Sudahlah kang! Mungkin itu rahmat dari Gusti Allah. Kita masih diberi selamat dari kejaran tentara VOC," tutur Bos Nadhir. Kami hanya terdiam dan mengangguk setuju.
Dengan kelapangan dada, kami segera menjalankan shalat subuh yang tertunda. Selesai berdoa, dari kejauhan kami melihat kotak peti barang mengapung. Dengan cepat, kami berlari ke arah pantai, dalam hati berharap semoga itu adalah peti kapal kami yang masih utuh.
Bersama, kami gotong peti itu ke daratan yang tidak terkena air. Pohon kelapa tampak melambai-lambai di atas kami. Susah payah kami coba buka isi peti. Dilihat daribentuknya , sepertinya ini bukan peti dari kapal kami.
"Aah, Kang! Jangan di buka" teriak Sulaiman.
"Ada apa?" balas Bos Nadhir. Sulaiman tidak menjawab. Dia hanya menunjuk sebuah lambang.
"Eeh, minggir! " seru kami serentak.
Di antara kami yang loncat, hanya Bos Nadhir yang tampak cuek dengan peti itu. Dirinya masih terus berusaha. Lambang VOC dan sebuah simbol Bom tidak di acuhkanya.
"Bos, lekas pergi" teriakku. Namun dia sudah berhasil membuka penutup.
"Tiaraaaap!" seru kami lagi. Lama menunggu, kok tidak ada ledakan batinku. Saat mendongak, kulihat Bos Nadhir tersenyum.
"Ada apa, Bos" Tanpa perlu menjawab, pria gemuk itu menunjukkan beberapa kitab-kitab Berbahasa Arab, yang di pegangnya. Kami pun hanya diam. Melihat tidak ada reaksi dari kami, tangan gempalnya kembali mengaduk isi peti.
"Ini harta karun, ciah gendeeng!" serunya sembari mengangkat batangan emas dari dalam peti tersebut.
Sleman, April 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H