Tidak lama, gelegar petir dibarengi hujan lebat mengurung kapal kami. Ombak setinggi 5 meter berulang kali menghajar lambung kapal. Dengan cermat Bos nadhir berusaha meniti pinggir arus. Hingga ombak besar dari arah depan berhasil membalikan kapal kami.
***
Aku dan Bos Nadhir berhasil mencapai daratan. Tak berselang lama, Abk lain menyusul. Kami sudah biasa dengan badai seperti itu. Tapi kerugian yang ada tak bisa kami bayangkan.
"Sudahlah kang! Mungkin itu rahmat dari Gusti Allah. Kita masih diberi selamat dari kejaran tentara VOC," tutur Bos Nadhir. Kami hanya terdiam dan mengangguk setuju.
Dengan kelapangan dada, kami segera menjalankan shalat subuh yang tertunda. Selesai berdoa, dari kejauhan kami melihat kotak peti barang mengapung. Dengan cepat, kami berlari ke arah pantai, dalam hati berharap semoga itu adalah peti kapal kami yang masih utuh.
Bersama, kami gotong peti itu ke daratan yang tidak terkena air. Pohon kelapa tampak melambai-lambai di atas kami. Susah payah kami coba buka isi peti. Dilihat daribentuknya , sepertinya ini bukan peti dari kapal kami.
"Aah, Kang! Jangan di buka" teriak Sulaiman.
"Ada apa?" balas Bos Nadhir. Sulaiman tidak menjawab. Dia hanya menunjuk sebuah lambang.
"Eeh, minggir! " seru kami serentak.
Di antara kami yang loncat, hanya Bos Nadhir yang tampak cuek dengan peti itu. Dirinya masih terus berusaha. Lambang VOC dan sebuah simbol Bom tidak di acuhkanya.
"Bos, lekas pergi" teriakku. Namun dia sudah berhasil membuka penutup.