Kebijakan ERP dengan memungut biaya kemacetan (congestion charges) bukanlah kebijakan yang baru. Kebijakan ini dipraktikkan oleh sejumlah negara. Di antaranya Singapura dan Swedia, lebih tepatnya di kota Stockholm.
Singapura merupakan negara pertama yang menerapkan kebijakan ERP. Singapura memperkenalkan ERP pada September 1998 untuk menggantikan skema road pricing manual yang beroperasi sejak 1975.Â
Dalam praktiknya, ERP membebankan kendaraan untuk penggunaan jalan di tempat dan waktu tertentu yang menyebabkan kemacetan.Â
Menurut United States Departement of Transportation (2021), peraturan ERP Singapura berhasil menurunkan kemacetan sebanyak 24 persen dari 271 ribu kendaraan menjadi 206 ribu per hari. ERP berlaku pada hari kerja mulai pukul 07.00 sampai 17.30.Â
Namun, berdasarkan Development Asia (2022), kebijakan ini memiliki kelemahan. Jumlah mobil yang dimiliki masyarakat semakin meningkat, lantaran kepemilikan mobil dianggap sebagai simbol status di negara tersebut.
Selain Singapura, kebijakan ERP juga diterapkan di Stockholm. Kebijakan ini diperkenalkan mulai tahun 2006, dengan tujuh bulan percobaan. Kebijakan ini menimbulkan pro-kontra, pemerintah pun kembali meninjau bersama para ekonom transportasi dan perencana lalu lintas.Â
Melalui proses yang cukup panjang, termasuk sosialisasi dengan biaya sebesar 30 juta Euro atau sekitar Rp451 miliar, kebijakan ini pun semakin mendapat banyak dukungan dari masyarakat. Jumlah mobil yang melewati pusat kota menurun sekitar 20 persen sejak pelaksanaan kebijakan tersebut.
Sebuah kebijakan publik tentunya menuai beragam respons, baik positif maupun negatif dari masyarakat. Kesuksesan yang dialami Singapura, Stockholm, dan sejumlah negara lain dapat dijadikan pelajaran dan praktik terbaik (lessons learned and best practices), mengingat situasi, kondisi, dan kesiapan Jakarta. Singkatnya, kebijakan ERP selayaknya tidak hanya diadopsi, tetapi juga perlu diadaptasi.
Dalam praktiknya nanti, pengendara akan dipungut dengan kisaran biaya sekitar Rp5 ribu hingga Rp19 ribu, menyesuaikan kategori dan jenis kendaraan.Â
Raperda menyebutkan bahwa prinsip penerapan tarif, salah satunya berdasarkan jenis kendaraan, dan menerapkan pengecualian bagi sejumlah jenis kendaraan, di antaranya ambulans, pemadam kebakaran, dan sepeda listrik. Tarif tersebut masih akan dibahas dengan pemerintah pusat.
Raperda juga mencatat bahwa terdapat 25 ruas jalan yang akan dikenakan ERP, yaitu: Jalan Pintu Besar Selatan, Jalan Gajah Mada, Jalan Hayam Wuruk, Jalan Majapahit, Jalan Medan Merdeka Barat 6, Jalan Moh. Husni Thamrin, Jalan Jend. Sudirman, Jalan Sisingamangaraja 9, Jalan Panglima Polim, Jalan Fatmawati (Simpang Jalan Ketimun 1 - Simpang Jalan TB Simatupang), Jalan Suryopranoto, Jalan Balikpapan, Jalan Kyai Caringin, Jalan Tomang Raya 15, Jalan Jenderal S. Parman (Simpang Jalan Tomang Raya - Simpang Jalan Gatot Subroto), Jalan Gatot Subroto, Jalan M. T. Haryono, Jalan D. I. Panjaitan 19, Jalan Jenderal A. Yani (Simpang Jalan Bekasi Timur Raya - Simpang Jalan Perintis Kemerdekaan), Jalan Pramuka 21, Jalan Salemba Raya 22, Jalan Kramat Raya 23, Jalan Pasar Senen 24, dan Jalan Gunung Sahari, serta Jalan H. R. Rasuna Said.