kebijakan Electronic Road Pricing (ERP) atau Jalan Berbayar Elektonik, kini semakin menguat untuk diterapkan di Jakarta. Kebijakan ini sudah terdengar sejak tahun 2006 di era Gubernur Sutiyoso.Â
WacanaKebijakan manajemen lalu lintas ini akan memungut biaya transportasi dari pengendara yang melintas di kawasan ERP. Kemacetan lalu lintas yang semakin parah, disertai dengan berbagai dampak negatifnya, menjadi alasan utama penerapan ERP di Jakarta.Â
Berdasarkan laporan Bank Dunia tahun 2019, kemacetan di Indonesia telah menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Hasil proyeksi kemacetan yang terjadi di kota-kota besar Indonesia menimbulkan kerugian paling sedikit sekitar Rp56 triliun. Jumlah itu setara dengan 0,5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Total kerugian akibat macet di Jakarta saja mencapai Rp36 triliun. Asumsi kerugian tersebut dihitung dari aspek waktu perjalanan dan konsumsi bahan bakar.
Sebelumnya, pada tahun 2018, Tim Studi Proyek Integrasi Kebijakan Transportasi Perkotaan Jabodetabek Tahap 2, yang merupakan proyek kerja sama antara Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian dan Japan International Cooperation Agency (JICA), melaporkan bahwa estimasi kerugian akibat macet di wilayah Jabodetabek mencapai sebesar Rp100 triliun.Â
Perhitungan ini menyimpulkan bahwa setiap orang di Jabodetabek kehilangan Rp3 juta per tahun akibat kemacetan. Kondisi ini tidak boleh dibiarkan terus berlanjut.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 133 telah membuka jalan diberlakukannya ERP. Secara lebih spesifik, menyebutkan bahwa pembatasan Lalu Lintas Kendaraan perseorangan pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan jalan tertentu, dapat dilakukan dengan pengenaan retribusi pengendalian Lalu Lintas.Â
Retribusi ini akan diperuntukkan bagi peningkatan kinerja lalu lintas dan peningkatan pelayanan angkutan umum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta, Syafrin Liputo (2022) menjelaskan bahwa regulasi terkait ERP telah masuk dalam program pembentukan peraturan daerah (propemperda), dengan judul Rancangan Peraturan Daerah/Raperda Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik (PPLE). Dengan kata lain, ERP menjadi prioritas untuk dikerjakan.
Focus Group Discussion (FGD) tentang pembahasan ERP juga telah dilaksanakan. Salah satu hasilnya adalah kewajiban menyelesaikan Perda sebelum melakukan tender kepada pihak ketiga.Â
Sebagaimana diketahui, di era Gubernur Anies Baswedan, proyek ERP tertunda karena dua peserta lelang, yaitu Q Free ASA dan Kapsch TrafficCom AB mengundurkan diri, dan hanya menyisakan satu vendor, yaitu PT Bali Towerindo Sentra. Keberadaan Perda akan menjadi landasan hukum yang kuat dalam praktik penerapan ERP di Jakarta.
Praktik Kebijakan ERP di Singapura dan Stockholm
Kebijakan ERP dengan memungut biaya kemacetan (congestion charges) bukanlah kebijakan yang baru. Kebijakan ini dipraktikkan oleh sejumlah negara. Di antaranya Singapura dan Swedia, lebih tepatnya di kota Stockholm.
Singapura merupakan negara pertama yang menerapkan kebijakan ERP. Singapura memperkenalkan ERP pada September 1998 untuk menggantikan skema road pricing manual yang beroperasi sejak 1975.Â
Dalam praktiknya, ERP membebankan kendaraan untuk penggunaan jalan di tempat dan waktu tertentu yang menyebabkan kemacetan.Â
Menurut United States Departement of Transportation (2021), peraturan ERP Singapura berhasil menurunkan kemacetan sebanyak 24 persen dari 271 ribu kendaraan menjadi 206 ribu per hari. ERP berlaku pada hari kerja mulai pukul 07.00 sampai 17.30.Â
Namun, berdasarkan Development Asia (2022), kebijakan ini memiliki kelemahan. Jumlah mobil yang dimiliki masyarakat semakin meningkat, lantaran kepemilikan mobil dianggap sebagai simbol status di negara tersebut.
Selain Singapura, kebijakan ERP juga diterapkan di Stockholm. Kebijakan ini diperkenalkan mulai tahun 2006, dengan tujuh bulan percobaan. Kebijakan ini menimbulkan pro-kontra, pemerintah pun kembali meninjau bersama para ekonom transportasi dan perencana lalu lintas.Â
Melalui proses yang cukup panjang, termasuk sosialisasi dengan biaya sebesar 30 juta Euro atau sekitar Rp451 miliar, kebijakan ini pun semakin mendapat banyak dukungan dari masyarakat. Jumlah mobil yang melewati pusat kota menurun sekitar 20 persen sejak pelaksanaan kebijakan tersebut.
Sebuah kebijakan publik tentunya menuai beragam respons, baik positif maupun negatif dari masyarakat. Kesuksesan yang dialami Singapura, Stockholm, dan sejumlah negara lain dapat dijadikan pelajaran dan praktik terbaik (lessons learned and best practices), mengingat situasi, kondisi, dan kesiapan Jakarta. Singkatnya, kebijakan ERP selayaknya tidak hanya diadopsi, tetapi juga perlu diadaptasi.
Dalam praktiknya nanti, pengendara akan dipungut dengan kisaran biaya sekitar Rp5 ribu hingga Rp19 ribu, menyesuaikan kategori dan jenis kendaraan.Â
Raperda menyebutkan bahwa prinsip penerapan tarif, salah satunya berdasarkan jenis kendaraan, dan menerapkan pengecualian bagi sejumlah jenis kendaraan, di antaranya ambulans, pemadam kebakaran, dan sepeda listrik. Tarif tersebut masih akan dibahas dengan pemerintah pusat.
Raperda juga mencatat bahwa terdapat 25 ruas jalan yang akan dikenakan ERP, yaitu: Jalan Pintu Besar Selatan, Jalan Gajah Mada, Jalan Hayam Wuruk, Jalan Majapahit, Jalan Medan Merdeka Barat 6, Jalan Moh. Husni Thamrin, Jalan Jend. Sudirman, Jalan Sisingamangaraja 9, Jalan Panglima Polim, Jalan Fatmawati (Simpang Jalan Ketimun 1 - Simpang Jalan TB Simatupang), Jalan Suryopranoto, Jalan Balikpapan, Jalan Kyai Caringin, Jalan Tomang Raya 15, Jalan Jenderal S. Parman (Simpang Jalan Tomang Raya - Simpang Jalan Gatot Subroto), Jalan Gatot Subroto, Jalan M. T. Haryono, Jalan D. I. Panjaitan 19, Jalan Jenderal A. Yani (Simpang Jalan Bekasi Timur Raya - Simpang Jalan Perintis Kemerdekaan), Jalan Pramuka 21, Jalan Salemba Raya 22, Jalan Kramat Raya 23, Jalan Pasar Senen 24, dan Jalan Gunung Sahari, serta Jalan H. R. Rasuna Said.
Sejumlah Langkah Strategis
Uji coba pada sejumlah kawasan akan dilakukan untuk melihat sejauh mana efektivitas kebijakan tersebut. Uji coba ini perlu disiapkan, dievaluasi, dan ditindaklanjuti dengan sebaik-baiknya, sebab akan menjadi gambaran implementasi ERP yang masih sangat baru di Jakarta.Â
Survei kesediaan membayar (willingness to pay) sebaiknya juga dilakukan kembali pada saat uji coba berlangsung.Â
Langkah pemerintah untuk menuntaskan terlebih dahulu landasan hukum ERP, yaitu Perda juga menjadi langkah yang tepat. Perda berikut peraturan turunannya berupa Peraturan Gubernur, hingga proses bisnis yang akan diterapkan, akan menjadi acuan bersama kebijakan ERP.Â
Dalam prosesnya nanti, pemerintah perlu berkoordinasi dan berkolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan, mengenai kesiapan kebijakan ERP. Misalnya saja, terkait dengan ketersediaan dan kualitas transportasi publik yang perlu diperbaiki atau ditingkatkan di kawasan ERP, juga manajeman parkirnya.
Bagaimanapun, kemacetan juga disebabkan semakin banyaknya penggunaan kendaraan pribadi. Upaya berkelanjutan, untuk menyediakan transportasi publik yang memadai dan terintegrasi perlu terus dilakukan.Â
Penerapan ERP juga diharapkan dapat meningkatkan jumlah pengendara untuk berganti ke transportasi publik. Untuk mendukung hal itu, manajemen parkir yang aman dan nyaman, khususnya di sekitar kawasan ERP perlu disiapkan dengan matang.
Sosialisasi ERP juga perlu diprioritaskan. Upaya ini dapat dilakukan dengan mengenalkan kebijakan ERP melalui situs-situs web dan media sosial milik pemerintah.Â
Sebagaimana dilakukan oleh pemerintah kota Stockholm, adanya sosialisasi kebijakan ERP yang efektif akan mendorong masyarakat untuk mendukung keberhasilan kebijakan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H