Gereja yang megah itu mulai dipenuhi umat yang hendak melangsungkan misa Natal. Tidak terlalu mengherankan, karena setiap minggu biasa pun gedung-gedung gereja yang luas di kota ini selalu dipenuhi umat.
Bedanya, hari ini lebih meriah. Umat yang datang, berpakaian lebih rapih dibandingkan biasanya. Dulu, ketika terdampar pertama kali di negara ini, Joy agak terkaget-kaget menyaksikan  pemandangan umat yang berpakaian seperti mau ke pantai. Ada yg berjalan masuk sambil makan cemilan pula. Hal yang rasanya kurang pantas dilakukan di dalam gereja, apalagi menjelang misa. Bukankah di setiap gereja selalu ada tulisan yang mengingatkan untuk menjaga keheningan?! Buat Joy, keheningan itu tidak selalu tentang diam tidak ribut. Tetapi juga tentang berlaku sepantasnya.
Begitulah Joy melihat ketidak sesuaian umat dan aktivitas ibadah yang akan dijalani di dalam gedung gereja, di negara yang mayoritas penduduknya beragama Katolik ini.
Namun malam ini terlihat wajah-wajah yang sumringah ditambah musik dan lagu-lagu Natal yang dibawakan sekelompok muda-mudi di halaman gereja, menambah ceria suasana malam itu. Apalagi dilengkapi lampu-lampu Natal yang berkelap kelip.
Joy, baru saja hendak masuk ke dalam gedung gereja, ketika tiba-tiba terdengar seseorang memanggil namanya.
"Joy!"
Joy sedikit kaget, karena rasanya tidak mungkin ada orang yang mengenalnya di sini. Di kota ini. Joy memang pernah akrab dengan hampir setiap sudut kota ini, dulu. Tetapi itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Dan sengaja Joy memilih Gereja ini untuk misa malam Natal. Gereja yang berada di lokasi yang agak kumuh, namun gedung gereja tua ini terlihat begitu kokoh dan megah dengan arsitektur kuno yang artistik. Tipikal gedung gereja tua yang usianya sudah berabad-abad. Gereja ini memang salah satu gereja tertua di Manila.
Joy tidak pernah berharap akan ada yang mengenalnya. Apalagi kenalannya di sini hanya orang-orang yang pernah bekerja bersama dalam satu proyek, yang bisa dihitung dengan jari 1 tangan. Oh ya, ditambah beberapa orang teman jalan- jalan yang pernah bersama-sama meng-explore kota asing ini. Tapi tetap saja, rasanya tidak mungkin mereka ada di sini. Beberapa yang cukup dekat, sudah ia kabari kalau Joy akan singgah sebentar di kota mereka, sebelum melanjutkan perjalanan pulang ke Indonesia. Namun, mereka semua menyatakan hendak merayakan Natal bersama keluarga di daerah mereka masing-masing, jauh dari kota ini.
Hal yang tidak mengurangi niat Joy untuk singgah di kota ini. Tujuan utamanya hanya ingin benar-benar menikmati misa malam Natal bersama Tuhan Yesus, di negara yang mayoritas penduduknya beragama Katolik.
Tiba-tiba suara itu makin dekat. "Joy, apa kabar?", tanya suara itu. Joy merasakan tepukan di pundaknya. Siapa pula orang Indonesia yang ada di sini?? Tapi suara itu...suara yang terasa sangat akrab di telinga Joy. Tapi siapa?!! Ragu-ragu, Joy mengarahkan muka perlahan-lahan ke arah suara itu.
Kaget, tidak percaya, dan ragu-ragu, Joy berusaha meyakinkan diri. Igels kah? Tapi....ngapain dia di sini?!!!
"Apa kabar, Joy?!", tanya orang itu lagi, pelan, seolah tidak ingin merusak kesyahduan  malam Natal ini. Sambil mengulurkan tangannya, orang itu mengajak bersalaman.
Joy agak ragu menyambut uluran tangan itu. Siapa dia?! Sepintas nampak seperti Igels, cuma sedikit terlihat lebih gemuk, dan sedikit lebih tua, namun raut mukanya terlihat bercahaya, dengan senyum lebar yang menyejukan hati.
Igels, seorang yang tidak percaya Tuhan, dan sering mendebat dan mengejeknya dulu tentang aktifitasnya di gereja, tentang buku-buku yang Joy baca, yang mayoritas buku-buku rohani.
Suatu hari Igels pernah bertanya dengan nada mengejek,"Ngapain sih lama-lama di gereja, mau jadi biarawati ya?!"
Pertanyaan yang membuat Joy kesal, dan mulai ingin tahu tentang kepercayaan Igels kepada Tuhan. Mereka memang cukup dekat dalam lingkaran pertemanan yang sama. Hampir setiap weekend ada saja aktivitas yang dilakukan bersama, layaknya perantau yang jauh dari keluarga. Bahkan terkadang di luar waktu libur dan weekend pun mereka sering bertemu, untuk sekedar makan bersama sambil ngobrol, atau membahas dan memberi dukungan atas permasalahan hidup yang terjadi pada salah seorang dari mereka.
Joy sendiri aktif dalam beberapa komunitas di Gereja, namun merasa tetap harus bergaul dengan orang-orang di luar gereja. Itulah yang membuat Joy bertemu dan berteman akrab dengan Igels dan beberapa teman lainnya dari berbagai latar belakang kepercayaan. Malah, pada akhirnya Joy merasa lebih dekat dengan lingkaran pertemanannya yang ini. Karena mereka tidak melulu bicara tentang kerohanian dan segala teorinya. Namun mereka saling peduli satu sama lain, saling mengerti satu sama lain, dan saling menghormati. Semuanya terjadi secara alami, mengalir begitu saja. Tanpa teori-teori dan tanpa pemberitahuan di awal. Semakin hari, kami saling mengenal satu sama lain. Tahu keantikan dan keanehan sifat masing-masing.
Dan cuma Igels yang berani mendebat Joy masalah kepercayaan. Saat itu Joy mulai menyadari, ternyata selama ini mereka berdua lebih dekat dibandingkan dengan teman lainnya dalam kelompok yang sama. Tapi itu tidak berarti Igels boleh ikut campur dalam hal keimanannya. Biasanya, mereka berdua, akan saling jawab menjawab tak jelas kalau Igels mulai protes dan mengejeknya.
Dalam sebuah obrolan yang terjadi tidak sengaja ketika mereka hanya berdua saja, akhirnya Joy melihat, Igels kelihatan emosi ketika berbicara tentang Tuhan. Seperti orang yang punya sakit hati dengan Tuhan.
Sejak awal Joy, sudah tahu Igels bukan seorang Kristiani seperti dirinya, atau seorang Muslim seperti Syahrul, salah seorang teman mereka. Awalnya, Joy mengira dia adalah seorang free thinker, orang yang percaya adanya Tuhan tetapi tidak memilih agama apapun. Joy tidak menyangka bahwa pemikirannya senegatif itu tentang Tuhan.
Dalam obrolan itu, Joy akhirnya melihat dengan cukup jelas, Igels bukan seorang yang percaya pada Tuhan. Atau  mungkin pernah ada sesuatu yang membuat dia marah pada Tuhan. Sampai di sini Joy mulai bisa mengerti kenapa Igels selalu melontarkan ejekan setiap kali mengajak Joy keluar, tetapi Joy dengan tegas menolak karena waktunya bentrok dengan jadwal kegiatan di gereja. Berarti, tidak ada gunanya menjawab ejekan-ejekan Igels.
Waktu pun berjalan, dan Joy harus pindah ke kota ini karena pekerjaan. Awalnya, Â mereka masih saling terhubung lewat group WA. Janjian makan bareng kalau pas semuanya sedang pulang ke Jakarta. Dan Joy tahu, pertemanan dengan Igels mulai berjarak, tak lagi sedekat dulu, walau masih dalam kelompok pertemanan yang sama. Kadang malah berasa saling menghindar. Tak apalah, berteman memang tidak bisa dipaksakan. Tapi Joy tetap mengingat, Igels adalah salah seorang teman terbaik yang pernah mampir, melengkapi hari-harinya, dan menemaninya di perantauan.
"Kamu masih bekerja di sini, Joy?", tanya orang itu lagi. Ya, orang itu memang Igels. Tidak salah lagi. Joy pun mengulurkan tangannya, "Igels, ya?"
Orang itu tersenyum,"Ya, ini aku. Lama sekali kita tidak bertemu ya. Kamu masih bekerja di sini, Joy?"
"Aku di Jakarta, Gels. Cuma ini kebetulan sedang singgah saja. Kamu sendiri ngapain di sini?", jawab Joy sambil tersenyum ramah. Tidak dipungkiri, ada rasa senang bertemu lagi dengan teman lama.
"Aku sementara ini di sini, sedang pendidikan calon imam", jawab Igels. Jawaban yang membuat Joy cukup kaget.
"Oh, ya??!", cuma itu yang bisa keluar dari mulut Joy. Mengapa pula dari tadi Joy tidak sadar, kalau malam itu Igels menggunakan jubah putih yang khas.
Performance lagu-lagu Natal di halaman gereja mulai berhenti, pertanda misa akan segera dimulai. Igels pamit untuk bergabung dengan rekan-rekannya, dan Joy beranjak mencari tempat duduk di dalam gereja.Â
Selalu ada kejutan di malam Natal!Â
Benar kata injil, "Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yg memilih kamu"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H