Kaget, tidak percaya, dan ragu-ragu, Joy berusaha meyakinkan diri. Igels kah? Tapi....ngapain dia di sini?!!!
"Apa kabar, Joy?!", tanya orang itu lagi, pelan, seolah tidak ingin merusak kesyahduan  malam Natal ini. Sambil mengulurkan tangannya, orang itu mengajak bersalaman.
Joy agak ragu menyambut uluran tangan itu. Siapa dia?! Sepintas nampak seperti Igels, cuma sedikit terlihat lebih gemuk, dan sedikit lebih tua, namun raut mukanya terlihat bercahaya, dengan senyum lebar yang menyejukan hati.
Igels, seorang yang tidak percaya Tuhan, dan sering mendebat dan mengejeknya dulu tentang aktifitasnya di gereja, tentang buku-buku yang Joy baca, yang mayoritas buku-buku rohani.
Suatu hari Igels pernah bertanya dengan nada mengejek,"Ngapain sih lama-lama di gereja, mau jadi biarawati ya?!"
Pertanyaan yang membuat Joy kesal, dan mulai ingin tahu tentang kepercayaan Igels kepada Tuhan. Mereka memang cukup dekat dalam lingkaran pertemanan yang sama. Hampir setiap weekend ada saja aktivitas yang dilakukan bersama, layaknya perantau yang jauh dari keluarga. Bahkan terkadang di luar waktu libur dan weekend pun mereka sering bertemu, untuk sekedar makan bersama sambil ngobrol, atau membahas dan memberi dukungan atas permasalahan hidup yang terjadi pada salah seorang dari mereka.
Joy sendiri aktif dalam beberapa komunitas di Gereja, namun merasa tetap harus bergaul dengan orang-orang di luar gereja. Itulah yang membuat Joy bertemu dan berteman akrab dengan Igels dan beberapa teman lainnya dari berbagai latar belakang kepercayaan. Malah, pada akhirnya Joy merasa lebih dekat dengan lingkaran pertemanannya yang ini. Karena mereka tidak melulu bicara tentang kerohanian dan segala teorinya. Namun mereka saling peduli satu sama lain, saling mengerti satu sama lain, dan saling menghormati. Semuanya terjadi secara alami, mengalir begitu saja. Tanpa teori-teori dan tanpa pemberitahuan di awal. Semakin hari, kami saling mengenal satu sama lain. Tahu keantikan dan keanehan sifat masing-masing.
Dan cuma Igels yang berani mendebat Joy masalah kepercayaan. Saat itu Joy mulai menyadari, ternyata selama ini mereka berdua lebih dekat dibandingkan dengan teman lainnya dalam kelompok yang sama. Tapi itu tidak berarti Igels boleh ikut campur dalam hal keimanannya. Biasanya, mereka berdua, akan saling jawab menjawab tak jelas kalau Igels mulai protes dan mengejeknya.
Dalam sebuah obrolan yang terjadi tidak sengaja ketika mereka hanya berdua saja, akhirnya Joy melihat, Igels kelihatan emosi ketika berbicara tentang Tuhan. Seperti orang yang punya sakit hati dengan Tuhan.
Sejak awal Joy, sudah tahu Igels bukan seorang Kristiani seperti dirinya, atau seorang Muslim seperti Syahrul, salah seorang teman mereka. Awalnya, Joy mengira dia adalah seorang free thinker, orang yang percaya adanya Tuhan tetapi tidak memilih agama apapun. Joy tidak menyangka bahwa pemikirannya senegatif itu tentang Tuhan.
Dalam obrolan itu, Joy akhirnya melihat dengan cukup jelas, Igels bukan seorang yang percaya pada Tuhan. Atau  mungkin pernah ada sesuatu yang membuat dia marah pada Tuhan. Sampai di sini Joy mulai bisa mengerti kenapa Igels selalu melontarkan ejekan setiap kali mengajak Joy keluar, tetapi Joy dengan tegas menolak karena waktunya bentrok dengan jadwal kegiatan di gereja. Berarti, tidak ada gunanya menjawab ejekan-ejekan Igels.