"Ya Pak, Bapak benar. Itu kan makanya Bapak selalu bersedia menampung saudara-saudara kita dari kampung sampai mereka bisa mengusahakan tempat tinggalnya sendiri?", itulah yang kami pikir kalau bapak sudah bicara seperti itu. Tapi kami tidak berani mengatakannya di depan bapak. Paling sembunyi-sembunyi menggerutu sendiri karena rumah yang berasa kecil karena penghuninya banyak.
Bapak memang kelewatan baiknya. Padahal bapak sendiri bukan orang yang berkelebihan. Tapi itulah bapak.
***
Desember adalah waktunya cuti panjang untuk pulang. Senang bisa pulang, bertemu dengan bapak dan ibu. Biasanya Andin akan lebih banyak mengobservasi rumah, mencari apa kira-kira yang bisa diperbaiki agar bapak dan ibu nyaman di rumah itu. Mereka sudah tua, dan Andin ingin mereka aman di rumah. Andin juga meluangkan waktu untuk ngobrol dengan bapak dan ibu. Berbeda dengan waktu masih tinggal bersama, Andin yang lebih banyak berbagi cerita. Sekarang Andin yang lebih banyak bertanya kabar bapak, ibu, dan saudara lainnya.
Hingga di suatu malam di bulan Desember yang lain, ketika Andin pulang untuk merayakan Natal, bapak berkeluh kesah saat ngobrol berdua saja dengan Andin. Saat itu ibu sudah cepat lupa hal-hal yang barusan dibicarakan.
"Bapak seperti memelihara ular. Ular yang akhirnya mematok Bapak sendiri", kata bapak dengan nada lelah.
Andin hanya diam mendengarkan Bapak yang merasa bodoh karena dulu-dulu sering menampung orang di rumah. Tapi sekarang, orang-orang itu membuat bapak kesal, sedih, dan merasa dihianati.
"Gak ada gunanya menolong orang lain", kata bapak lagi. Pelan, sambil menyeruput kopi hitam kesukaannya.
Andin tahu, bapak sedang kesal. Kenyataannya dia tidak pernah sanggup menolak orang yang datang meminta bantuan dalam hal apapun. Bahkan yang pernah menipu pun masih diterimanya dengan tangan terbuka.
"Bapak sudah gagal mendidik anak", kata bapak lagi. Kali ini terdengar nada sedihnya. Seperti menahan tangis.
Andin mulai tidak sabar. Dia tidak pernah bisa menerima perkataan bapak tentang yang satu ini.