Andin teringat kata-kata Sandy yang mengingatkannya, ketika Andin memberitahu bahwa ia akan berangkat ke Singapura untuk bekerja di sana.
"Hati-hati di sana. Orang sana dikit-dikit ke pengadilan lho!", begitu kata Sandy
Karena percaya dengan omongan Sandy, Andin pun berusaha untuk tidak terlalu banyak omong.
"Oh, maaf!", kata Andin sambil melepaskan alas kakinya dan menyimpanya di rak sepatu.
Ibu itu menunjukan kamar Andin.
"Astaga, kecil amat!", Andin sedikit kaget tetapi berusaha menutupi rasa kagetnya.
Padahal harga sewanya cukup mahal.
"Tapi ini kebangetan kecilnya", kata Andin dalam hati. Hanya ada tempat tidur, dan jarak antara tempat tidur ke pintu cuma selangkah. Tidak ada lemari tempat menyimpan baju. Meja tulis pun tidak ada. Otomatis Andin hanya dapat duduk di atas tempat tidur saja selama di dalam kamar.
Bahkan, kamar di rumah bapak, di mana Andin merasa kurang merdeka karena harus berbagi berempat dengan saudara-saudara perempuannya, masih lebih besar. Padahal, kami merasa kamar itu terlalu kecil. Terlalu kecil karena diisi berempat dengan hanya satu tempat tidur bertingkat, satu meja tulis, dan satu lemari baju. Baru berasa agak lega ketika ketiga saudara Andin pindah karena menikah. Kamar ini, yang harga per malamnya cukup mahal, luasnya cuma sekitar 2X1 meter persegi saja.
OMG!Â
Andin merasa bersalah karena tidak mensyukuri fasilitas di rumah bapak. Orang lain malah ada yang gak punya rumah. Begitu kata bapak kalau kami bertengkar karena berebut meja tulis waktu sekolah dulu. Atau, saat berdesak-desakan di kamar ketika pagi hari hendak memulai aktivitas masing-masing. Atau, ketika antri kamar mandi yang cuma satu.