Kalau boleh saya menyimpulkan secara pribadi, Bapak Paus merasa "setara" dengan orang-orang yang dia jumpai.
Mudahkah untuk mengambil sikap seperti itu? Saya yakin tidak!
Menurut saya, orang-orang yang berani dan pada akhirnya mampu melihat semua orang setara dengan dirinya tanpa rasa takut bahwa dirinya "akan" disetarakan, Â artinya orang itu sudah sampai pada level yang lebih tinggi dibanding orang kebanyakan. Seseorang yang sudah berhasil mengalahkan egonya sendiri.
Sebagai manusia yang sama dengan Bapak Paus yang juga manusia, pasti kita tahu peperangan apa yang ada dalam diri ketika kita harus berdiri bersama dan setara dengan sesama yang sering tidak kita sadari memang dari sananya sama dan setara dengan kita sendiri.Â
Sebagai seorang Katolik, saya dapat mengatakan bahwa itu adalah implementasi bahwa kita melihat setiap orang sebagai "Kristus". Sesuatu yang saya yakin tidak mudah.Â
Kalau untuk sesekali saja dalam rangka bakti sosial mungkin mudah, tetapi untuk tetap bertahan dalam sikap sepeti itu dalam setiap tarikan nafas kita, tentu tidak mudah.Â
Jika kita dapat melihat Kristus dalam diri setiap orang, tidak akan ada keinginan untuk pamer, untuk merasa berhak memandang diri lebih tinggi daripada orang lain, atau bahkan untuk merasa takut berada di dekat masyarakat dari kalangan mana pun.Â
Apalagi seorang kepala negara seperti Paus. Terbersit dalam pikiran saya, apakah tidak ada rasa takut kalau tiba-tiba ada sabotase yang mengancam keamanan dirinya?
Saya rasa beliau benar-benar berserah pada Tuhan sang penyelenggara kehidupan, makanya dapat dengan santai membuka jendela mobil dan bersalaman dengan orang-orang yang mendekat. Bahkan memanggil beberapa orang yang dapat dipanggil untuk mendekat dan memberkati mereka.
Berserah pada Tuhan atas hidup mati kita bukan berarti menjalani hidup sembarangan. Kita adalah penguasa atas nafsu dan keinginan yang ada dalam diri kita sendiri.Â
Namun bukan berarti bisa seenaknya. Seperti sudah saya sebutkan di atas, salah satu bentuk kesederhanaan adalah taat pada peraturan. Selain itu juga menghormati orang lain. Apa jadinya jika saking sederhananya, Bapak Paus memutuskan naik motor dengan alasan mencegah kemacetan. Tentu itu akan menyusahkan para staf  kedutaan Vatikan dan orang-orang yang bertanggung jawab atas keselamatan dan kesehatan Bapak Paus. Apalagi kita lihat Bapak Paus menggunakan kursi roda. Bukan karena tidak dapat berjalan, tetapi kemungkinan karena usia yang sudah tidak muda lagi sehingga gerak beliau menjadi terbatas. Jika sudah menyusahkan banyak orang, saya rasa itu bukan lagi kesederhanaan.