Daripada menggunakan jasa influencer yang tak jelas prediksi hasil atau  outputnya,  ada baiknya melirik layanan seperti salah satu sponsor Kompasianival tempo hari: Infomo.
Saya belum pernah menggunakan layanan Infomo, namun dari penjelasan yang saya tangkap, layanan ini berbasis Machine Learning dan Artificial Intelligence.Â
Pemilik bisnis diarahkan untuk beriklan di "area" yang tepat menurut hasil pembelajaran mesin. Jadi mesinnya sudah dicekoki data-data untuk mempelajari pola kebiasaan orang-orang. Data-data yang dipelajari bisa saja dalam hal berbelanja online, data-data pribadi seperti jenis pekerjaan, lokasi kantor atau tempat tinggal, hobi, dll.
Kalau mengutip istilah yang dipakai oleh Kompasioner Andini Gunadi, kebiasaan orang-orang itu mungkin bisa digolongkan kedalam Internet of Behaviours (IOB), yaitu kebiasaan manusia dalam menggunakan Internet. Karena yang bisa dipelajari datanya hanya data digital saja.Â
Data tulisan di atas kertas tidak bisa dipelajari. Kenapa Internet? Ya karena data-data yang dapat dibaca adalah yang seliweran di Internet. Tidak mungkin data di komputer pribadi tiba-tiba dapat dibaca orang lain dan dipakai oleh teknologi machine learning untuk dipelajari.
Menurut techopedia.com, Internet of Behaviours (IOB) adalah area research & development (R&D) atau penelitian dan pembangunan untuk mengerti mengenai bagaimana, kapan, dan mengapa manusia menggunakan teknologi dalam memutuskan untuk melakukan pembelian. Teknologi yang dimaksud adalah teknologi Internet.
Platform IOB dirancang untuk mengumpulkan, mengelompokan (aggregate), dan menganalisa data yang didapat dari berbagai sumber. Data yang dipakai mungkin tadinya adalah data per pribadi, tetapi perlu dimengerti bahwa data yang dipakai dalam teknologi semacam ini tidak lagi dikaitkan dengan data perorangan tetapi sudah di-aggregate atau dikelompokan. Â Jadi jangan membayangkan data pribadi Anda ada disitu. Kalaupun ada, sudah tidak diketahui atas nama siapa datanya.Â
Teknologi ini hanya ingin mencari tahu mengenai bagaimana "pada umumnya" Â orang membuat keputusan untuk membeli sesuatu. Jika sudah didapat pengertiannya (oleh mesin), maka secara teknologi AI, sudah dapat dipasangkan antara sejenis produk dengan para calon pembelinya.Â
Sebagai contoh, produk Mie Baso Daging Sapi lebih cocok diiklankan kepada kelompok orang-orang yang "kira-kira" menyukai jajanan khas Indonesia, dan tidak perlu diiklankan di kelompok orang-orang yang kira-kira sudah harus mengurangi konsumsi daging olahan seperti baso. Biasanya orang-orang dengan usia senior.
Maka, layanan seperti Infomo, akan menyarankan pebisnis untuk beriklan di tempat yang "tepat". Misal untuk produk mie baso sapi tadi, akan lebih baik diiklankan di Instagram daripada di Facebook. Karena setelah dipelajari berdasarkan sejumlah data, pengguna Instagram itu lebih banyak orang muda yang masih bebas makan apa saja. Sedangkan Facebook, penggunanya lebih banyak usia 50 tahun ke atas, yang pola makannya pun sudah tidak boleh sembarangan  (Ini hanya pemisalan lho :D), sementara di Twitter, orang lebih banyak bicara tentang politik daripada tentang makanan.
Lebih terarah bukan? Walaupun sama saja tidak ada kepastian, tetapi tingkat keberhasilan penggunaan teknologi AI dalam hal mempromosikan suatu produk, Â lebih terukur daripada mengunakan jasa influencer. Influencer tidak mengarahkan hasil kerjanya kepada para calon pembeli secara khusus. Dia hanya memberikan review produk, dan melemparkan hasil akhir kepada audience secara umum. Tidak dapat diukur berapa persen kira-kira yang akan tertarik dan berapa persen yang tidak peduli. Hasilnya? Bisa saja jadi buang-buang uang percuma karena tiada hasil.