Dapatkah tingkat keberhasilan jasa influencer untuk "mengangkat" suatu brand dari yang tadinya tidak terkenal menjadi terkenal diukur? Jika ya, berdasarkan apakah mengukurnya? Apakah dari tingkat ketenaran sang influencer, banyaknya follower media sosial mereka, atau portfolio keberhasilan pekerjaan mereka sebelum-sebelumnya?
Saya tidak terlalu suka "berteman" dengan orang yang tidak saya kenal sekalipun itu hanya di medsos, maka biasanya, jika ada orang yang tak saya kenal meminta pertemanan dengan saya di medsos, akan  saya chat dulu untuk sekedar berkenalan.
Ada satu orang yang akhirnya saya follow karena responnya cukup baik ketika saya ajak berkenalan, dan kebetulan selain saudara sebangsa dan setanah air, juga sesuku! Â :D
Teman ini selalu rajin me-like setiap postingan saya. Dan suatu hari dia mengirimkan direct message, meminta untuk dipromosikan kepada teman-teman saya. Maka saya tanya, "Memangnya pekerjaanmu apa?" Karena sejujurnya saya bingung apa yang harus saya promosikan. Mungkin saya kuper dalam hal ini he..he..he.. tetapi bolak-balik saya cari tahu tentang dia, dia adalah seorang blogger. Tetapi itu juga tulisan terakhirnya sudah lama sekali dan lebih banyak menulis tentang hal pribadi. Â
Dan dia tidak menjawab pertanyaan saya sampai sekarang. Kalau dilihat, followernya ada ribuan, dan setiap postingan dia selalu mendapat ratusan "like". Karena saya pikir orang ini cuma sekedar mengumpulkan follower, minat saya menjadi berkurang. Buat apa juga berteman dengan orang yang tidak kita kenal dan tidak ingin dikenal.Â
Baru-baru ini saya intip lagi medsosnya, gara-gara topik pilihan Kompasiana tentang influencer. Entah dulu saya tidak memperhatikan entah memang baru diganti keterangan profilenya, kali ini saya melihat kalimat: Untuk endorse silahkan hubungi nomor sekian. Oh kemungkinan besar dia influencer.
Lain waktu ada lagi seseorang yang follow saya, saudara sebangsa setanah air juga. Saya DM, mengajak berkenalan dan beberapa pertanyaan dasar layaknya orang baru berkenalan. Eh jawabnya, "Memangnya kenapa ya?" Saya jadi bingung, maka saya jawab lagi, "Mba follow saya kan? Boleh perkenalkan diri dulu, biar enak". Dan dia tidak pernah menjawab.Â
Maka saya remove dia sebagai follower saya. Kalau dilihat, followernya juga ribuan orang. Berarti kemungkinan "pengumpul" follower juga kali ya :D
Kalau influencer untuk suatu bisnis adalah artis terkenal yang sedang naik daun dan belum ada tanda-tanda akan turun daun dalam waktu dekat, mungkin lebih bisa diandalkan sebagai influencer, brand ambassador, atau yang sejenisnya. Tapi kalau yang tidak dikenal, ya musti ada jaminan dulu dong mengenai persentase keberhasilannya. Jaminan ini bisa berupa portfolio hasil kerja sebelum-sebelumnya, video-video yang membuat brand yang dia bawa naik daun dan menjadi terkenal, atau hal terkait lainnya. Kalau cuma sekedar follower banyak, rasanya tidak bisa menjadi jaminan bahwa brand yang dia bawa akan menjadi terkenal.
Daripada menggunakan jasa influencer yang tak jelas prediksi hasil atau  outputnya,  ada baiknya melirik layanan seperti salah satu sponsor Kompasianival tempo hari: Infomo.
Saya belum pernah menggunakan layanan Infomo, namun dari penjelasan yang saya tangkap, layanan ini berbasis Machine Learning dan Artificial Intelligence.Â
Pemilik bisnis diarahkan untuk beriklan di "area" yang tepat menurut hasil pembelajaran mesin. Jadi mesinnya sudah dicekoki data-data untuk mempelajari pola kebiasaan orang-orang. Data-data yang dipelajari bisa saja dalam hal berbelanja online, data-data pribadi seperti jenis pekerjaan, lokasi kantor atau tempat tinggal, hobi, dll.
Kalau mengutip istilah yang dipakai oleh Kompasioner Andini Gunadi, kebiasaan orang-orang itu mungkin bisa digolongkan kedalam Internet of Behaviours (IOB), yaitu kebiasaan manusia dalam menggunakan Internet. Karena yang bisa dipelajari datanya hanya data digital saja.Â
Data tulisan di atas kertas tidak bisa dipelajari. Kenapa Internet? Ya karena data-data yang dapat dibaca adalah yang seliweran di Internet. Tidak mungkin data di komputer pribadi tiba-tiba dapat dibaca orang lain dan dipakai oleh teknologi machine learning untuk dipelajari.
Menurut techopedia.com, Internet of Behaviours (IOB) adalah area research & development (R&D) atau penelitian dan pembangunan untuk mengerti mengenai bagaimana, kapan, dan mengapa manusia menggunakan teknologi dalam memutuskan untuk melakukan pembelian. Teknologi yang dimaksud adalah teknologi Internet.
Platform IOB dirancang untuk mengumpulkan, mengelompokan (aggregate), dan menganalisa data yang didapat dari berbagai sumber. Data yang dipakai mungkin tadinya adalah data per pribadi, tetapi perlu dimengerti bahwa data yang dipakai dalam teknologi semacam ini tidak lagi dikaitkan dengan data perorangan tetapi sudah di-aggregate atau dikelompokan. Â Jadi jangan membayangkan data pribadi Anda ada disitu. Kalaupun ada, sudah tidak diketahui atas nama siapa datanya.Â
Teknologi ini hanya ingin mencari tahu mengenai bagaimana "pada umumnya" Â orang membuat keputusan untuk membeli sesuatu. Jika sudah didapat pengertiannya (oleh mesin), maka secara teknologi AI, sudah dapat dipasangkan antara sejenis produk dengan para calon pembelinya.Â
Sebagai contoh, produk Mie Baso Daging Sapi lebih cocok diiklankan kepada kelompok orang-orang yang "kira-kira" menyukai jajanan khas Indonesia, dan tidak perlu diiklankan di kelompok orang-orang yang kira-kira sudah harus mengurangi konsumsi daging olahan seperti baso. Biasanya orang-orang dengan usia senior.
Maka, layanan seperti Infomo, akan menyarankan pebisnis untuk beriklan di tempat yang "tepat". Misal untuk produk mie baso sapi tadi, akan lebih baik diiklankan di Instagram daripada di Facebook. Karena setelah dipelajari berdasarkan sejumlah data, pengguna Instagram itu lebih banyak orang muda yang masih bebas makan apa saja. Sedangkan Facebook, penggunanya lebih banyak usia 50 tahun ke atas, yang pola makannya pun sudah tidak boleh sembarangan  (Ini hanya pemisalan lho :D), sementara di Twitter, orang lebih banyak bicara tentang politik daripada tentang makanan.
Lebih terarah bukan? Walaupun sama saja tidak ada kepastian, tetapi tingkat keberhasilan penggunaan teknologi AI dalam hal mempromosikan suatu produk, Â lebih terukur daripada mengunakan jasa influencer. Influencer tidak mengarahkan hasil kerjanya kepada para calon pembeli secara khusus. Dia hanya memberikan review produk, dan melemparkan hasil akhir kepada audience secara umum. Tidak dapat diukur berapa persen kira-kira yang akan tertarik dan berapa persen yang tidak peduli. Hasilnya? Bisa saja jadi buang-buang uang percuma karena tiada hasil.
Mungkin itu juga penyebab beberapa pemilik bisnis hanya ditawari, produknya dibayar menggunakan exposure. Bukan secara professional, influencer menawarkan kerjasama dan dibayar sesuai dengan keahliannya.
Ada baiknya, seorang influencer, selain tahu bagaimana membawa sebuah brand menjadi terkenal melalui review yang menarik, video shooting yang membuat orang langsung akan check and recheck mengenai produk atau brand yang dipromosikan, juga tahu secara lebih spesifik audiencenya. Jika target pengunjung ke sebuah restaurant baru,  adalah 1000 orang /hari, maka percuma saja influencer memamerkan video dengan shooting terbaiknya, yang membuat orang yang melihat langsung ngeces dan segera merencanakan untuk datang langsung mencicipi makanan di resto tersebut, tetapi hanya dapat menarik sekitar  50 orang saja/hari.
Padahal dia sudah memamerkan kepada followernya yang berjumlah 10.000 orang.  Bukankah akan lebih baik jika dia mengenal para followernya dan mengetahui minat mereka, sehingga dia pun dapat mengambil kesimpulan mengenai apa yang paling banyak disukai followernya dan  memilih jenis produk apa yang paling cocok dipromosikan kepada para follower tersebut. (VRGultom)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H