Mesin tidak dapat belajar secara independen atas kemauan sendiri. Maka kita, manusia, tidak dapat belajar dari mesin.
Namun demikian, kecanggihan teknologi berupa mesin atau robot "pintar" dengan penggunaan teknologi AI, dapat membantu mempermudah hidup.
Dulu, yang menjadi referensi kita hanyalah buku, guru, dosen, serta para ahli lain yang jumlahnya tidak terlalu banyak.Â
Kemudian teknologi internet berkembang, sehingga mesin pencari seperti google, menjadi referensi tidak langsung yang dapat menghubungkan kita kepada referensi sebenarnya, yang dapat kita pilih mana yang mau kita ambil. Informasi begitu melimpah sehingga kadang waktu malah habis untuk mencari informasi yang paling valid.
Sekarang, dengan berkembangnya teknologi AI, mendapatkan informasi bisa lebih mudah lagi. Contoh, dengan adanya mesin penjawab seperti ChatGPT, kita tidak perlu lagi memilih link mana yang mau kita buka dan baca untuk dijadikan sumber referensi.Â
Karena chatGPT ini, menurut beberapa sumber, dapat menjawab seperti manusia (guru, dosen, ahli) yang memiliki kompetensi untuk menjawab hal yang ditanyakan.
Saya sendiri belum mencoba ChatGPT, karena ketika mendaftar, mereka meminta untuk menunggu dan masih belum bisa dipakai hingga sekarang. Namun dari keterangan dan dokumentasi yang ada, serta beberapa sumber yang saya baca dan dengar, rasanya ChatGPT ini akan membantu mempermudah hidup, yang dulu dianggap sudah mudah dengan adanya mesin pencari seperti google.
Ternyata sekarang bisa lebih mudah lagi. Bahkan "jawaban" dari ChatGPT lebih langsung dan tepat karena tidak bertele-tele. Jika kita bertanya pada orang, akan tergantung pada kemampuan dan kemauan orang tersebut untuk menjelaskan.
Ada orang yang mau berbagi ilmu tetapi tidak memiliki skill untuk mengkomunikasikannya dengan baik. Ada yang punya skill dan mampu berkomunikasi dengan baik, namun pelit informasi. Ada yang pinter ngomong tetapi tong kosong nyaring bunyinya.
ChatGPT, seperti juga teknologi lainnya, buat saya, sifatnya hanya membantu.
Benar, bahwa dengan perkembangan teknologi, beberapa profesi terkait seolah terancam. Misalnya blogger, yang bisa langsung menulis, begitu ide tiba-tiba datang. Tidak perlu menulis panjang-panjang, tulisan pendek pun jadi. Penggunaan bahasanya pun bisa bebas merdeka, bahkan kadang-kadang masih salah ketik, salah penempatan tanda baca, dll.Â
Ternyata, teknologi AI dapat melakukan hal yang sama, dengan hasil yang lebih baik, karena sudah menerapkan aturan penggunaan tata bahasa, tanda baca, dsj. Semua itu bisa di-program sehingga menghasilkan tulisan sejenis yang lebih baik dari segi aturan tata bahasa.
Tetapi dari segi ide?
Saya yakin manusia lebih baik daripada mesin. Mencari ide-ide baru tidak dapat dilakukan oleh mesin. Karena mereka tidak mempunyai kemampuan berpikir secara independen. Mereka bekerja tergantung program yang ditanam.
Benar, bahwa teknologi AI dikombinasikan dengan machine learning, data science, dan dan ilmu lainnya, bisa memprediksi masa depan. Tetapi mesin tidak dapat mengambil keputusan yang akan berpengaruh kepada masa depan.
Dengan prediksi masa depan yang dapat dibantu oleh teknologi AI, justru seharusnya kita dapat mengambil keputusan yang lebih baik untuk mencegah sesuatu yang buruk terjadi. Itulah salah satu kelebihan kita, manusia.Â
Mengambil keputusan dan siap mengambil risiko, mengubah cara pandang begitu sadar ada sesuatu yang salah dengan cara berpikir kita, mempelajari sesuatu secara independen, dst.Â
Teknologi sifatnya membantu agar pekerjaan-pekerjaan kita menjadi lebih ringan. Bayangkan jika semuanya harus kita kerjakan secara manual, progress pekerjaan kita pasti lambat. Dan itu artinya sebuah kemunduran.Â
Contoh lain, mungkin ChatGPT dapat membantu para dokter-dokter muda yang belum berpengalaman sehingga belum hafal jenis-jenis penyakit sesuai dengan diagnosanya, sehingga kesulitan juga menentukan obat apa yang harus diberikan.
Saya punya pengalaman salah obat yang diberikan oleh seorang dokter muda. Saat itu saya hanya mengalami diare dan menemui dokter untuk mendapatkan obat yang cocok sekaligus surat keterangan sakit untuk diteruskan ke tempat kerja, sebagai bukti bahwa saya benar-benar sedang sakit dan tidak dapat masuk kerja. Jika tidak butuh surat keterangan sakit, sebenarnya saya merasa tidak perlu bertemu dokter.
Ternyata setelah meminum obat dari dokter muda itu, malamnya perut serasa ditusuk-tusuk, sakit sekali, hingga tidak dapat tidur sampai subuh. Besoknya saya langsung menuju rumah sakit dengan membawa obat dari dokter muda tersebut, karena saya yakin ada yang salah dengan obat ini.Â
Dan ternyata menurut dokter yang saya ditemui di rumah sakit, obat yang saya minum cukup berbahaya karena mengakibatkan tidak dapat BAB. Beliau melarang untuk melanjutkan minum obat tersebut. Walah...
Mungkin hal-hal seperti ini tidak perlu terjadi jika ChatGPT dapat membantu memberikan solusi dalam waktu cepat, tanpa membuat pasien menunggu. Tentu hal ini sangat membantu. Jauh lebih baik daripada membuka buku dihadapan pasien, dan membuat pasien menunggu dokter menemukan jenis obat yang cocok.
Namun bukan berarti, pada akhirnya skill dokter tidak diperlukan. Mesin mungkin dapat menentukan obat-obatan yang harus diberikan kepada pasien setelah diberitahu (input) mengenai gejala-gejala suatu penyakit, dan berdasarkan logika yang sudah ditanam, maka pasien harus diberi obat A dengan dosis sekian.Â
Kenyataannya, dokter manusia lebih mengerti kondisi pasiennya karena dialah yang berinteraksi langsung dengan pasien. Dokter yang dapat mengambil keputusan apakah dosis obat diberikan sesuai teori, atau sesuai kondisi pasien.
Mahasiswa bikin makalah tinggal bertanya ke ChatGPT? Ya bagus dong. Biaya lebih murah, waktu lebih cepat. Tetapi tentunya harus bertanggung jawab juga, ketika diuji tentang pengertian mereka terhadap makalah tersebut.Â
Jika tidak bisa menjawab, sebagus apapun makalahnya, mana bisa lulus? Ada bagusnya juga jika mereka ditantang untuk mengimplementasikan teori yang mereka paparkan dalam makalah, di metaverse.Â
Tujuannya untuk meyakinkan diri bahwa mahasiswa akan dapat mengimplementasikannya dengan baik di dunia nyata kelak. Jadi, pada akhirnya, sudah tidak perlu lagi memusingkan apakah makalah dibuat dengan menggunakan ChatGPT atau teknologi sejenis, atau dibuatkan orang lain, dst.Â
Sama saja dengan ujian open book. Boleh buka buku ketika ujian berlangsung, karena ujiannya bukan hafalan.
Saat ini, mungkin dunia belum siap menghadapi fenomena penggunaan chatGPT. Dikabarkan universitas di Perancis, Jum'at lalu, melarang mahasiswanya untuk menggunakan ChatGPT untuk menyelesaikan tugas.Â
Yah mungkin saat ini ChatGPT masih 'kaku' jadi kelihatan sekali kalau hasil generate mesin dan mungkin hasilnya belum terlalu benar. Tetapi pada akhirnya saya rasa penggunaan ChatGPT tidak akan dapat dibendung. Apalagi kalau selamanya gratis dan hasilnya makin bagus. Saat ini, mungkin hasilnya masih dianggap selevel hasil kerja google translate yang kurang ok untuk menterjemahkan kalimat.
ChatGPT, sebaiknya hanya dijadikan sebagai alat bantu, sebagus apapun pengembanganya nanti. Betul, bahwa dia dapat menghasilkan "sesuatu" dari hasil interaksi dengan manusia. Jika dia tidak punya jawaban atas pertanyaan kita, dia akan balik bertanya, pertanyaan yang mengarahkan.
Misalkan saya bertanya, "Siapa nama anak Pak RT yang baru lahir semalam?" ChatGPT pasti tidak akan dapat menjawab, tetapi dia dapat bertanya, "Di mana lokasi kamu tinggal? Berapa kode posnya?". Lebih lanjut dia akan bertanya,"Siapa nama Pak RT mu? Kamu tinggal di RT mana?"Â
Jika dia beruntung menemukan data yang cocok dengan alamat dan nama Pak RT, maka jawaban akan ditampilkan. Jika tidak, dia akan memberikan saran dengan data yang lebih detail sesuai yang dia dapat dari interaksi tersebut. Terkesan "pintar" bukan? Padahal itu adalah salah satu bentuk pengetahuan yang dinamakan "Sistem Pakar" atau Expert System, yang diterapkan dalam teknologi.
Semoga ChatGPT dapat terus di-upgrade agar mendekati kebutuhan kita, sehingga kita punya waktu meningkatkan diri.Â
Kita tidak belajar dari mesin atau robot pintar, tetapi kita dapat menjadikan mesin atau robot itu sebagai asisten atau alat bantu untuk mempermudah hidup. Mesin dibuat oleh manusia, jadi seharusnya kita tidak belajar 'lagi' pada mesin (teknologi).Â
Jadikanlah teknologi sebagai alat bantu dalam hidup. Let's welcome this "new" technology, walau dasar ilmunya gak baru-baru banget juga, tetapi idenya, menurut saya, cukup brilian (VRGultom)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H