Mohon tunggu...
Veronika Gultom
Veronika Gultom Mohon Tunggu... Programmer/IT Consultant - https://vrgultom.wordpress.com

IT - Data Modeler; Financial Planner

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Benarkah Lebih Bahagia Menjadi Bujangan?

20 Desember 2022   16:55 Diperbarui: 21 Desember 2022   01:51 1379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sendiri artinya bebas merdeka. Benarkah begitu? Bisa jadi benar. Setidaknya itu yang tersirat dari lagu "Bujangan" ciptaan Murry, yang dipopulerkan oleh Koes Plus

Begini nasib jadi bujangan
Ke mana mana asalkan suka
Tiada orang yang melarang

Hati senang walaupun tak punya uang
Hati senang walaupun tak punya uang

Apa susahnya hidup bujangan
Setiap hari hanya bernyanyi
Tak pernah hatinya bersedih

Mau kerja atau gak, asal ada duit buat makan sendiri bisa jadi sudah cukup. Mau jalan ke manapun, bebas pilih moda transportasi. Mau jalan kaki, naik sepeda, naik motor, naik mobil, atau naik pesawat, diri sendiri yang menentukan. 

Beda dengan orang yang berkeluarga, baik wanita maupun pria, pasti was-was kalau tidak ada uang untuk kebutuhan seluruh keluarga. Biaya untuk bujangan, yang sendirian, dengan biaya orang yang berstatus menikah pasti beda. 

Meskipun belum ada anak, minimal masing-masing akan memikirkan kebahagiaan pasangannya dan memastikan kebutuhan pasangannya terpenuhi. Apalagi kalau yang pasangannya kurang fleksibel dengan kehidupan, sehingga kurang bisa menerima kondisi yang berbeda dari biasanya. 

Padahal menurut kata-kata mutiara yang beredar, hidup itu kadang di bawah kadang di atas, yang artinya roda kehidupan berputar. Kadang banyak duit, kadang gak ada duit.

Mari kita coba lihat dari sisi yang lain. Ternyata biaya bujangan pun bisa lebih besar dibandingkan dengan orang-orang yang memilih hidup berkeluarga. Orang yang berkeluarga, hiburannya bisa di rumah saja bercengkrama dengan keluarga. 

Sementara bujangan, butuh duit buat menghibur diri di luar rumah, karena di dalam rumah sendirian tidak ada hiburan. 

Setidaknya perlu hangout bersama teman-teman ke cafe, untuk sekadar bersosialisasi dan melepaskan diri dari stress akibat pekerjaan atau hal lain. Jalan-jalan keliling dunia untuk menjaga kesehatan hati, jiwa, dan raga. Dan juga menjaga status sebagai jomblo keren dan bahagia. 

Masa sudah jomblo, hidupnya cuma sekitaran rumah, kantor, dan tempat belanja kebutuhan sehari-hari doang?!

Uang memang bukan segalanya. Tetapi bagaimana pun, hidup perlu uang.

Negara tetangga sebelah, Singapura, pernah membatasi jumlah angka kelahiran dengan tujuan untuk memperlambat dan membalikan angka ledakan kelahiran yang terjadi setelah Perang Dunia II. 

Pada tahun 1970, sebagai bagian dari program keluarga berencana national lima tahun kedua, pemerintah Singapura mulai mendorong penduduknya untuk memiliki maksimal dua anak saja. 

Program ini diresmikan pada tahun 1972, pada peluncuran kampanye keluarga berencana nasional. Sebagai bagian dari kebijaksanaan dua-anak, pemerintah memberlakukan penghilangan insentif berkaitan dengan biaya kelahiran, pajak penghasilan, cuti melahirkan dan prioritas alokasi perumahan. 

Di sisi lain pemerintah juga aktif berkampanye mengenai dua anak cukup, diantaranya kampanye yang membawa pesan:

"Small families, brighter future, two is enough" dan 

"The more you have, the less you get.-Two is enough" 

Yang kira-kira terjemahannya dalam konteks keluarga berencana:

"Keluarga kecil, masa depan lebih cerah, dua anak saja cukup"

"Punya anak lebih banyak, makin sedikit yang Anda dapat-Dua saja cukup"

Sama dengan program keluarga berencana di Indonesia,"Dua anak cukup!"

Jika melihat kondisi sekarang, saya kira kampanye itu sukses menurunkan jumlah angka kelahiran di Singapura. Rata-rata orang-orang tua seumuran orangtua saya, cuma punya anak dua, bahkan banyak juga yang cuma punya satu anak. 

Menurut saya, hal ini cocok dengan luas negara Singapura yang kecil. Rumah-rumah di sana, kebanyakan tidak sebesar rumah-rumah di Indonesia. Kalau di Indonesia, punya anak 10, meski kadang kamarnya tidak nyampe 11 atau 10, biasanya halaman rumahnya luas sehingga kelak, bisa dibangun kamar-kamar setelah anak-anaknya beranjak dewasa.

Namun ternyata, program keluarga berencana dengan cukup dua anak saja itu terlalu sukses, hingga saat ini pemerintah Singapura pun menawarkan insentif agar pasangan-pasangan menikah di negara itu mau memiliki anak. Hal ini adalah upaya untuk menyeimbangkan jumlah penduduk usia produktif dengan usia tua yang sudah tidak produktif. 

Sayangnya, saat ini banyak penduduk Singapura yang memilih untuk tidak menikah atau menikah tetapi memilih untuk tidak memiliki anak. Kalaupun punya anak, paling hanya satu. Kabarnya orang Indonesia yang menetap di sana, cukup menyumbang jumlah angka kelahiran bayi.

Salah seorang kenalan saya, yang asli penduduk Singapura, menikah namun memilih untuk tidak memiliki anak, beralasan bahwa mengurus anak susah. Dari kecil sampai remaja diurus dan dibiayai, setelah besar susah diatur. Benarkah begitu? 

Pemikiran yang lain adalah biaya hidup semakin lama semakin tinggi sehingga ada kekhawatiran mereka tidak dapat memenuhinya jika berkeluarga dan punya anak.

Alasan harga susu bayi mahal, biaya mengurus anak mahal, menjadi alasan untuk memilih tidak berkeluarga atau tidak memiliki anak. Rupanya pola pikir seperti itu pun ada di kalangan orang muda Indonesia sekarang. Pola pikir orang memang beda-beda. Dan sah-sah saja memiliki pemikiran yang berbeda.

Sebenarnya apa yang dimaksud dengan resesi seks?

Disimpulkan dari theatlantic.com, resesi seks mengacu pada berkurangnya aktivitas seksual generasi muda. 

Dalam konteks budaya Indonesia, aktivitas seksual mengacu pada pasangan yang menikah. Meskipun menikah pun belum tentu tujuannya untuk memiliki keturunan (artinya menyumbang angka kelahiran).

Seperti contoh kasus di Singapura, banyak pasangan menikah yang memutuskan tidak memiliki anak, karena pertimbangan biaya, tidak mau repot, atau pertimbangan-pertimbangan lain.

Dengan menurunnya angka kelahiran, jika terus-menerus terjadi, dan penurunannya diprediksi dalam waktu tidak lama akan membuat jumlah penduduk usia senior lebih besar daripada jumlah penduduk usia muda, maka pemerintah harus mengambil tindakan agar kondisi itu tidak terjadi.

Karena dalam konteks budaya Indonesia, hubungan seksual itu mengacu pada pasangan menikah, sebaiknya dicari penyebab mengapa banyak anak muda cukup usia yang masih belum menikah? 

Apakah karena gambaran pernikahan yang mereka miliki itu berarti biaya hidup keluarga yang mahal, perasaan tidak merdeka karena ada individu lain yang selalu harus dipertimbangkan, atau ada alasan lain. 

Misalnya juga karena tuntutan karier, sulit mendapatkan pasangan yang cocok, kurangnya waktu untuk bersosialisasi, tuntutan hidup yang tinggi sehingga mengharuskan generasi muda membangun kualitas diri terus-menerus sehingga tidak punya waktu bersantai, dst.

Sementara untuk pasangan menikah, dengan kasus sengaja tidak ingin memiliki keturunan, harus dilihat juga apa penyebabnya. Juga jika angka penduduk mandul terus meningkat, tentu harus dicari penyebabnya, karena sebelumnya kondisi seperti itu tidak ada.

Jika sudah didapat apa saja penyebab turunya angka kelahiran, barulah pemerintah dapat merencanakan program yang sesuai. Misalkan jika penyebabnya adalah karena pasangan tidak mau repot, faktor biaya hidup yang tinggi, mungkin peran pemuka agama diperlukan dalam hal ini untuk memberikan pemahaman yang benar mengenai pernikahan. Karena pernikahan itu bukan tentang hitung-hitungan biaya atau untung rugi membesarkan anak. 

Pernikahan dan membesarkan anak adalah masalah panggilan hidup dan pelayanan. Bisa juga dengan memberikan insentif untuk setiap bayi yang lahir. Misalnya biaya sekolah ditanggung pemerintah, biaya melahirkan digratiskan, dst. 

Jika penyebabnya adalah kurangnya waktu untuk bersosialisasi, bisa saja pemerintah memberlakukan aturan jam kerja kantor yang lebih baik agar kaum muda memiliki lebih banyak waktu untuk bersosialisasi. 

Karena pada dasarnya, orang perlu untuk saling mengenal terlebih dahulu sebelum memutuskan menikah dan membangun keluarga. Tentunya perlu mengalokasikan waktu yang cukup untuk membangun saling ketertarikan dan memutuskan untuk menikah.

Suatu saat bapak pendiri negara Singapura, Alm. Lee Kuan Yew, berbicara didepan para mahasiswa PHd. Dalam kesempatan itu dia memberikan nasihat kepada generasi muda, dengan menghitung berapa usia sekarang, kapan akan lulus Phd, dan apakah sudah memiliki calon untuk menikah. 

Jadi jika usia sekarang adalah 27 tahun dan akan lulus Phd 2 tahun lagi, maka saat lulus usianya 29 tahun. Jika saat ini mereka belum memiliki calon untuk menikah, di usia berapa mereka akan menikah? 

Pertanyaan itu disambut gelak tawa para mahasiswa. Mr. Lee Kuan Yew pun melanjutkan dengan memberikan gambaran bahwa wanita yang melahirkan di usia setelah 35 tahun, risiko melahirkan seorang anak dengan down syndrome semakin meningkat. 

Beliau pun menasihati untuk jangan buang waktu, karena dalam kehidupan, menikah lebih penting dan merupakan pencapaian yang lebih memuaskan daripada lulus Phd. Beliaupun menutup nasehatnya dengan mendoakan agar mereka lulus Phd sekaligus mendapatkan calon pendamping untuk menikah.

Saya kira nasihat Lee Kuan Yew itu pun bisa berlaku untuk para generasi muda Indonesia yang sibuk membangun karier atau menghabiskan waktu untuk mempersiapkan karir yang gemilang dan sekaligus menunda pernikahan. Kecuali jika memang panggilan hidupnya bukan untuk menikah. 

Tanyakanlah pada diri masing-masing apa tujuan hidupmu agar tidak buang-buang waktu mengejar hal-hal yang bukan tujuan hidupmu. Jika ingin menjadi pemain bola, berlatihlah bermain bola. 

Jika ingin menikah, persiapkanlah jika sudah waktunya. Menjadi pemain bola bukan berarti sepanjang hari harus latihan main bola, tanpa melakukan hal yang lain-lain. 

Mempersiapkan pernikahan juga bukan berarti setiap detik mencari calon dan mempersiapkan pernikahan. Semuanya bisa disambi tanpa mengorbankan tujuan hidup yang utama (VRGultom).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun