Mohon tunggu...
Veronika Gultom
Veronika Gultom Mohon Tunggu... Administrasi - https://vrgultom.wordpress.com

IT - Data Modeler | Teknologi untuk semua orang, maka semua orang perlu melek teknologi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Benarkah Lebih Bahagia Menjadi Bujangan?

20 Desember 2022   16:55 Diperbarui: 21 Desember 2022   01:51 1379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika sudah didapat apa saja penyebab turunya angka kelahiran, barulah pemerintah dapat merencanakan program yang sesuai. Misalkan jika penyebabnya adalah karena pasangan tidak mau repot, faktor biaya hidup yang tinggi, mungkin peran pemuka agama diperlukan dalam hal ini untuk memberikan pemahaman yang benar mengenai pernikahan. Karena pernikahan itu bukan tentang hitung-hitungan biaya atau untung rugi membesarkan anak. 

Pernikahan dan membesarkan anak adalah masalah panggilan hidup dan pelayanan. Bisa juga dengan memberikan insentif untuk setiap bayi yang lahir. Misalnya biaya sekolah ditanggung pemerintah, biaya melahirkan digratiskan, dst. 

Jika penyebabnya adalah kurangnya waktu untuk bersosialisasi, bisa saja pemerintah memberlakukan aturan jam kerja kantor yang lebih baik agar kaum muda memiliki lebih banyak waktu untuk bersosialisasi. 

Karena pada dasarnya, orang perlu untuk saling mengenal terlebih dahulu sebelum memutuskan menikah dan membangun keluarga. Tentunya perlu mengalokasikan waktu yang cukup untuk membangun saling ketertarikan dan memutuskan untuk menikah.

Suatu saat bapak pendiri negara Singapura, Alm. Lee Kuan Yew, berbicara didepan para mahasiswa PHd. Dalam kesempatan itu dia memberikan nasihat kepada generasi muda, dengan menghitung berapa usia sekarang, kapan akan lulus Phd, dan apakah sudah memiliki calon untuk menikah. 

Jadi jika usia sekarang adalah 27 tahun dan akan lulus Phd 2 tahun lagi, maka saat lulus usianya 29 tahun. Jika saat ini mereka belum memiliki calon untuk menikah, di usia berapa mereka akan menikah? 

Pertanyaan itu disambut gelak tawa para mahasiswa. Mr. Lee Kuan Yew pun melanjutkan dengan memberikan gambaran bahwa wanita yang melahirkan di usia setelah 35 tahun, risiko melahirkan seorang anak dengan down syndrome semakin meningkat. 

Beliau pun menasihati untuk jangan buang waktu, karena dalam kehidupan, menikah lebih penting dan merupakan pencapaian yang lebih memuaskan daripada lulus Phd. Beliaupun menutup nasehatnya dengan mendoakan agar mereka lulus Phd sekaligus mendapatkan calon pendamping untuk menikah.

Saya kira nasihat Lee Kuan Yew itu pun bisa berlaku untuk para generasi muda Indonesia yang sibuk membangun karier atau menghabiskan waktu untuk mempersiapkan karir yang gemilang dan sekaligus menunda pernikahan. Kecuali jika memang panggilan hidupnya bukan untuk menikah. 

Tanyakanlah pada diri masing-masing apa tujuan hidupmu agar tidak buang-buang waktu mengejar hal-hal yang bukan tujuan hidupmu. Jika ingin menjadi pemain bola, berlatihlah bermain bola. 

Jika ingin menikah, persiapkanlah jika sudah waktunya. Menjadi pemain bola bukan berarti sepanjang hari harus latihan main bola, tanpa melakukan hal yang lain-lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun