Negara tetangga sebelah, Singapura, pernah membatasi jumlah angka kelahiran dengan tujuan untuk memperlambat dan membalikan angka ledakan kelahiran yang terjadi setelah Perang Dunia II.Â
Pada tahun 1970, sebagai bagian dari program keluarga berencana national lima tahun kedua, pemerintah Singapura mulai mendorong penduduknya untuk memiliki maksimal dua anak saja.Â
Program ini diresmikan pada tahun 1972, pada peluncuran kampanye keluarga berencana nasional. Sebagai bagian dari kebijaksanaan dua-anak, pemerintah memberlakukan penghilangan insentif berkaitan dengan biaya kelahiran, pajak penghasilan, cuti melahirkan dan prioritas alokasi perumahan.Â
Di sisi lain pemerintah juga aktif berkampanye mengenai dua anak cukup, diantaranya kampanye yang membawa pesan:
"Small families, brighter future, two is enough" danÂ
"The more you have, the less you get.-Two is enough"Â
Yang kira-kira terjemahannya dalam konteks keluarga berencana:
"Keluarga kecil, masa depan lebih cerah, dua anak saja cukup"
"Punya anak lebih banyak, makin sedikit yang Anda dapat-Dua saja cukup"
Sama dengan program keluarga berencana di Indonesia,"Dua anak cukup!"
Jika melihat kondisi sekarang, saya kira kampanye itu sukses menurunkan jumlah angka kelahiran di Singapura. Rata-rata orang-orang tua seumuran orangtua saya, cuma punya anak dua, bahkan banyak juga yang cuma punya satu anak.Â
Menurut saya, hal ini cocok dengan luas negara Singapura yang kecil. Rumah-rumah di sana, kebanyakan tidak sebesar rumah-rumah di Indonesia. Kalau di Indonesia, punya anak 10, meski kadang kamarnya tidak nyampe 11 atau 10, biasanya halaman rumahnya luas sehingga kelak, bisa dibangun kamar-kamar setelah anak-anaknya beranjak dewasa.
Namun ternyata, program keluarga berencana dengan cukup dua anak saja itu terlalu sukses, hingga saat ini pemerintah Singapura pun menawarkan insentif agar pasangan-pasangan menikah di negara itu mau memiliki anak. Hal ini adalah upaya untuk menyeimbangkan jumlah penduduk usia produktif dengan usia tua yang sudah tidak produktif.Â
Sayangnya, saat ini banyak penduduk Singapura yang memilih untuk tidak menikah atau menikah tetapi memilih untuk tidak memiliki anak. Kalaupun punya anak, paling hanya satu. Kabarnya orang Indonesia yang menetap di sana, cukup menyumbang jumlah angka kelahiran bayi.
Salah seorang kenalan saya, yang asli penduduk Singapura, menikah namun memilih untuk tidak memiliki anak, beralasan bahwa mengurus anak susah. Dari kecil sampai remaja diurus dan dibiayai, setelah besar susah diatur. Benarkah begitu?Â