Hanya saja, sayangnya, ayah saya jadi tidak bisa ke mana-mana karena waktu dan tenaganya habis untuk mengelola warung.Â
Pernah saya usulkan pada ayah saya untuk menutup warung agar beliau bisa sedikit menikmati hidup dengan berjalan-jalan, mengikuti arisan keluarga, berlibur, dan lain sebagainya. Namun ayah saya tidak mau.Â
Di kemudian hari saya tahu, motivasi ayah saya berusaha mengembangkan warung kami adalah karena tidak mau seperti teman-teman pensiunan lain, yang setiap bulan antri di bank untuk mengambil uang pensiunan untuk kebutuhan hidup.Â
Kenyataannya memang ayah saya sangat jarang mengambil uang pensiunannya. Ia hanya mengambil untuk keperluan-keperluan besar, seperti pesta pernikahan anak, uang kuliah anak, atau kondisi darurat seperti sakit. Itu pun, ayah saya cukup disiplin "mengembalikan" uang tabungan yang terpakai dari hasil warung.
Motivasi lain adalah agar dapat meninggalkan sesuatu untuk istri dan anak-anak yang belum menikah --yang pekerjaannya tidak terlalu banyak menghasilkan, jika kelak ayah saya harus pergi meninggalkan dunia.Â
Mengetahui motivasi itu, saya tidak lagi berusaha mempengaruhi ayah saya untuk berhenti bekerja dan menutup warung.Â
Namun saya mencari cara supaya warung itu tidak membuat pemiliknya terikat secara waktu sehingga tidak bisa ke mana-mana.Â
Entah itu dijadikan mini market dengan 2-3 karyawan yang membantu melayani pembeli, atau membuatkan sistem komputer agar semua transaksi dapat lebih mudah terpantau.Â
Namun, ayah saya yang merasa warung kami hanya warung kecil saja, tidak mudah untuk menerima ide-ide saya.Â
Maka saya mulai dengan mendaftarkan beberapa barang di warung kami untuk dijual secara online.Â
Dan ketika ada pembeli, saya bercerita kepada ayah saya, dengan harapan beliau juga bisa update dengan teknologi.