Mohon tunggu...
Voni Anggraeni
Voni Anggraeni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Negeri Semarang

Mahasiswa Prodi Sarjana Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Negeri Semarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita Gadis Desa: Dari Rumah Ke Tempat Pemungutan Suara

28 November 2024   11:28 Diperbarui: 28 November 2024   11:48 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber foto: id.pinterest.com/jpradarbali)

Cerita Gadis Desa.

Ini kali kedua baginya menggunakan hak pilihnya, sebelumnya sekitar sembilan bulan lalu kala pemilu presiden. Tak sekali pun ia mangkang dari perasaan mengemban "tugas dan kewajiban" sebagai warga negara yang baik itu. Jauh-jauh ia pulang dari kota rantauan hanya demi "pesta demokrasi", kapan pun ada pemilu atau pilkada di daerahnya, ia akan pulang ke kampung halaman.

Memang setiap orang ada "hak" untuk menjadi pemilih aktif atau pun pasif, artinya bebas untuk memilih atau pun menjadi golongan putih. Akan tetapi, pemilihan umum baginya terasa seperti suatu kewajiban untuk menyumbangkan satu suaranya.

Hak pilih bagi sebagian orang mungkin tidak begitu penting. Ada yang beranggapan bahwa suara dari satu orang tidak akan berpengaruh jika terdapat ratusan ribu orang  lain yang mempunyai hak yang sama dengannya. Namun baginya, itu sebuah kesempatan yang tidak boleh terlewatkan karena kesempatan menentukan hanya didapatkan setiap 5 tahun sekali. Sayang kalau dilewatkan tanpa bersuara.

Entah siapa yang akan menjadi pemimpin daerahnya, entah itu sesuai dengan pilihannya atau bukan. Itu ia serahkan sepenuhnya berdasar hasil perhitungan suara. Dia tidak berkewajiban menyerukan secara terang siapa pilihannya, ia berhak menolak keberpihakan entah dengan iming-iming uang dan barang, bujukan, atau bahkan serangan fajar, semua murni tentang siapa yang menjadi pemenang di hatinya. Pun tidak mengharuskan pilihannya menjadi pemenang. Dengannya yang menggunakan hak suaranya, itu ia anggap sudah selesai dengan urusan siapa yang berhak mendapat suara hatinya.

Pagi itu cuacanya terik, ia menyusuri gang sempit rumahnya untuk sampai di jalan raya. Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang memuat daftar dirinya berlokasi cukup jauh dari tempat tinggalnya, ia sekeluarga harus menggunakan kendaraan untuk sampai di TPS itu.

Tak ada kendaraan pribadi yang dapat menampung orang sekeluarga, mereka putuskan untuk menggunakan angkutan pedesaan yang sering ulang-alik di jalan raya. Cukup membayar ongkos tiga ribu rupiah per orangnya, tidak lebih dari sembilan ribu rupiah untuk bisa sampai di tempat pemungutan suara. Dengan sabar, hampir sejam lamanya mereka menunggu angkutan dengan jurusan yang sesuai. Memang zaman sekarang angkutan umum sudah jarang beroperasi hanya tersisa beberapa angkutan umum yang berbentuk semacam mikrolet yang sudah usang penampakannya, belum lagi supir yang mengendarai. Tidak lain ialah seorang pria paruh baya yang kepalanya sudah penuh dengan uban dan seharusnya supir seusia mereka sudah pensiun dari pekerjaannya masa mudanya.

Barangkali mungkin, kegiatannya menjadi supir angkutan hanya sebagai selingan mengisi masa tuanya daripada berdiam diri di rumah yang menjadikan diri sakit-sakitan karena tidak terbiasa untuk tidak banyak bergerak. Syukurlah, angkutan yang ditunggu-tunggu datang. 

Di setengah perjalanan, mobil berhenti di pasar, menanti apakah ada orang yang hendak pulang setelah berjualan atau pembeli yang sudah selesai membeli keperluan. Lantas, dua tiga orang masuk ke dalam angkutan. Salah satunya seorang pria yang duduk di kursi depan sisi supir. Suatu perbincangan pun terjadi antara penunmpang itu dan sang supir, sedikit cerita dari supir tua itu yang mengatakan jika menyupir memang kegemarannya, profesi menjadi supir sudah ia lakoni sejak puluhan tahun yang lalu, sejak usianya dua puluhan tahun.

Supir mulai bercerita. Ya, bisa buat cari angin dan syukur-syukur ada pemasukkan walau tak seberapa sehingga bisa untuk beli lauk makan tidak harus menunggu kiriman uang dari anak yang biaanya sudah habis untuk keperluan token listrik, air, dan keperluan rumah. Belum lagi kalau sudah akhir bulan, biasanya yang sudah habis duluan sebelum datang tanggal muda bulan berikutnya. Kadang sedih kalau menunggu jatah bulanan dari anak yang telat karena terlupa atau belum tiba waktu gajian, pernah di satu waktu menagih seolah anak mempunyai kewajiban membelikan orang tuanya makan padahah mereka sudah berkeluarga, tanggungnnya sudah banyak juga, rasanya tidak tahu diri kalau oarng tua masih membebani mereka untuk urusan makan, sedangkan keperluan lain kami sudah tidak memikirkan. Kalau di rumah ada beras, mereka sudah bersyukur bisa untuk makan sendiri sama istri.

Memang kegigihannya patut diacungi jempol. Si gadis mendengarkan sambil menikmati pemandangan di luar jendela angkutan. Sedikit perjalanan yang sebentar itu, ia sudah mendapatkan pelajaran hidup dari kisah sederhana seorang supir angkutan yang tidak mau bergantung pada orang lain, yang tidak menjadikan usia sebagai kelemahannya dalam menafkahi keluarga kecil yang tersisa. Di rumahnya hanya tersisa istrinya sebagai anggota, anak-anaknya telah berkehidupan sendiri di kota besar.

"Sudah nyoblos, Pak?" tanya pria muda itu.

"Ya, sudah, Mas. Tadi mampir sebentar ke pondokan sebelum narik," jawab sang supir.

"Wah semangat demokrasi, ya, Pak?"

"Iya. Ya satu suara sangat berarti bagi mereka, Mas. Saya sudah beberapa kali melewati hal-hal seperti ini, pemilihan legislatip, bupati, gubernur, presiden."

"Apa yang beda, gak, Pak, dari pilkada yang lalu? Harapannya apa sih, Pak, kepada pemimpin daerah yang terpilih nanti?"

Sang supir terbatuk sebentar, sekali-kali ia sering terbatuk karena penyakit tuanya.

"Ya, saya gak berharap muluk-muluk. Cukup jadi pemimpin yang amanah, tidak korupsi, bikin tenteram masyarakatnya, itu sudah cukup. Selebihnya, pembangunan infrastruktur seperlunya, yang penting pembenahan. Jalan-jalan berlubang itu kan perlu diperhatikan. Itu terutama yang di daerah plosok, pedesaan, gini, Mas. Atau di daerah gunung itu sama pesisir, Mas, saya lihat masih belum semaju di daerah pusat. Kalau ditanya apa keluhan masyarakat, ya, pasti banyak, tapi kan pertahap. Pemimpin harusnya tahu mana prioritas, tahu apa saja yang paling bermanfaat bagi masyarakat. Itu pemimpin yang diharapkan rakyat," jelas pak supir.

Meski pun seorang supir, tetapi pengalaman menjadi bukti dan saksi kelangsungan beberapa masa kepemimpinan telah dia lewati dan banyak yang dipelajari.

Tidak terasa angkutan sampai di tempat lokasi, sekeluarga itu memasukki halaman TPS dan mendaftarkan diri dan menunggu setiap nama dipanggil untuk bergantian memasukki bilik suara pencoblosan.

Satu per satu pun anggota keluarga itu dipanggil berurutan, satu per satu menempatkan diri di balik bilik suara yang berjarak semeter dari bilik suara lainnya. Kartu suara mulai dibuka, paku ditancapkan hingga membuat lubang pada kolom paslon yang dikehendaki dapat menjadi pemimpin daerahnya.

Kartu suara dilipat kembali sesuai dengan bentuk semula, berjalan memasukki kotak suara untuk dimasukkan ke dalam kotak yang sesuai dengan warna kartu. Biru untuk kotak suara bupati, merah marun untuk kartu suara gubernur.

Prosesnya tidak lama, tidak ada sepuluh menit untuk semua anggota keluarga memberikan hak suaranya. Di perjalanan pulang, pertemuan dengan seorang dokter desa dan keluarganya kembali menggugah hubungan kemasyarakatan yang sejak lama sudah tidak terlaksana. Kedekatan teman lama yang dulunya pernah menjadi tetangga, namun karena kepindahan tempat tinggal lantas tercipta jarak berbeda desa, bertahun-tahun lamanya. Lantas, persuaan tidak terduga dengan para tetangga dan kerabat lama lainnya. Saling bertanya kabar, dan menceritakan sedikit perkembangan hidup masing-masing dengan keluarganya. Ada yang telah berhasil menduduki kursi dewan, menyekolahkan putra-putrinya hingga tamat SMA, ada yang sudah ke luar negeri, sukses membangun usahanya, dan banyak cerita menarik lain yang tentu enak didengar saat perjumpaan tak terduga seperti reuni dadakan di TPS.

Gadis muda usia awal dua puluhan tahun itu mengangguk-angguk. Betapa dia mendengarkan keriangan cerita para orang tua yang berhasil dalam kehidupannya setelah beberapa tahun yang lalu mereka belum seberkembang ini dalam kehidupan di pedesaan yang dulu. Dan betapa gadis itu dapat menyadari jika bergulirnya masa telah membawa kehidupan warga desa menuju kemajuan pemikiran yang lebih baik lagi menuruti berkembangnya zaman.

Di balik perjalanan singkat dari rumah menuju tempat pencoblosan, tetapi banyak hikmah yang didapatkan. Itu sebanding dengan menyempatkan waktu pulang dari rantauan yang terbayar oleh sejuta cerita singkat yang menghidupkan semangat di usianya yang muda. Cerita soal pengalaman, perjuangan, kegigihan, kesuksesan yang tidak mudah didapat secara instan, melainkan harus ditempuh bertahun-tahun untuk dapat dilihat perbedaan hasilnya hingga gadis itu mampu membuka mata jika hidupnya masih terasa awal padahal waktu terus berjalan dan orang-orang terus berlarian, bahwa hidup terus berkelanjutan dan berkembang mengikuti zaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun