Suatu hari, orang-orang berseragam rapi, nampak tampan dengan pakaian seragam berwarna biru terang dan beberapa menggunakan batik, dan khaki. Menunjukkan jika mereka orang-orang "dinas" yang sering terlihat dari balik kantor Dinas Pekerjaan Umum yang kantornya berada di dekat lingkungan tempat tinggal mereka.
Kiara melihat, orang-orang itu tengah melakukan pengukuran di tengah sawah. Kadang di hari-hari berikutnya, Kiara memperhatikan orang-orang itu bertamu dan mengobrol dengan kakek dan neneknya, entah membicarakan hal apa. Namun, suatu ketika Kiara mendengar kabar jika lahan sawah milik kakek di belakang rumah akan dijual kepada mereka.
Saat truk-truk berdatangan melewati jalanan sempit di sisi rumahnya, Kiara melihat dengan bahagia truk-truk itu membawwa pasir yang mengubur lahan sawahnya. Satu, dua, tiga, ..., puluhan, ratusan truk terus berdatangan dan menutup lahan hingga tak terlihat lagi penampakan sawah yang hijau itu. Lalu, buldoser berdatangan mengobrak-abrik gubuk kesayangannya, saat itu batu besar tempatnya bermain pun dihancurkan hingga rata dengan tanah.
"Kek, kenapa semua disama ratakan dengan tanah? Mengapa gubuk kakek dihancurkan?" tanya Kiara dengan air mata nyaris jatuh dari kelopaknya, dia menyaksikan semuanya. Hatinye sangat teriris saat kakek memberi penjelasan jika sawah itu akan dibuat terminal bayangan supaya bus-bus tidak berhenti di bahu jalan.
"Apa harus merusak gubuknya? Apa harus mengubur sawahnya, Kek?"Â
Kakek menunduk, menatap Kiara yang berdiri di sisinya. Tangan kakek yang semula di bahu Kiara, kini mengusap kepala gadis kecil itu. Diberikannya anggukan kepala dan belaian di kepala Kiara sebagai jawaban seolah mengatakan jika kita mau tidak mau harus menerimanya dan tidak bisa menyelamatkan lahan sawah itu.
Hingga Kiara merasa sesuatu telah hilang dari hidupnya, sawah yang hijau kini selamanya takkan pernah terlihat lagi hijaunya. Semua telah berubah menjadi lahan tak berumput sama sekali. Semilir angin yang dulu berembus sejuk, kini menjadi panas dan terik di sepanjang siang. Bertahun-tahun telah berlalu, bahkan setelah rampung melanjutkan studi sarjananya, ia kembali ke rumah masa kecilnya. Rumah yang dulu terletak di tengah pedesaan, kini berada di tepian jalan raya yang lebar. Kendaraan yang berlalu lalang, dan halaman rumah yang dulunya kebun mangga menjadi jalan raya yang padat dan selalu macet. Debu polusi menjadi pemandangan sehari-hari. Kiara berkeliling, menatap salah satu sudut dulunya di sana tempat berdiri sebuah gubuk, sekarang menjai toilet umum.Â
Di atas tanah yang sama, kini Kiara memandangi sekitar. Kenangannya berlarian di tepian pematang sawah; berpanen ria kala musim panen tiba; berburu jamur merang di tengah tumpukan jerami yang basah; berpetualang hingga senja mengundang. Kini lahan bertanah liat yang dulu menjadi tempat menghabiskan masa kecilnya itu sudah hilang wujudnya.Â
Batu besar di tengah sawah itu kini telah rata dengan tanah, masih terang di ingatannya seakan dia mempunyai hubungan dekat dengan batu besar yang telah menjadi saksi betapa bahagianya dia di masa kecillnya. Tidak ada lagi kehijauan yang menghampar luas. Semua menjadi rata dengan tanah, beberapa sudutnya telah menjadi rumah-rumah penduduk yang berjajaran. Padi-padi yang dulu tumbuh gemuk nan hijau menjulang dan batangnya yang semakin kemuning kala siap dipanen. Kini benar-benar tiada lagi wujudnya, berubah menjadi jalan beraspal yang lebar tempat bus-bus, truk, mobil, dan motor berjubal padat membuat kemacetan lagi-lagi yang dia lihat rumah-rumah warga berdiri ddi atas luas hamparan hijau yang masih dapat diingat jelas meski sudah lima belas tahun berlalu.Â
Semua yang tersisa hanya kenangan, sawah itu akan selalu ada dalam memori ingatannya walau kini sudah rata menjadi jalan beraspal.
Hai, Sob Kompasiana!